A.
Pendahuluan
Pesan
para pahlawan kepada penerus bangsa Indonesia saat ini adalah untuk senantiasa
membangun jiwa dan badan dengan nilai-nilai semangat perjuangan untuk selalu
menjaga keutuhan negara Indonesia dari segala sesuatu yang dapat merusaknya.
Pesan tersebut tertuang dalam lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, yang sedikit
penulis kutip potongan liriknya “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk
Indonesia Raya”. Mengapa bangunlah jiwanya terlebih dahulu baru badannya? Ini
sudah menjadi suatu kenyataan karena jika jiwa telah terbangun atas dasar
nilai-nilai semangat perjuangan maka badan akan terbawa suasana semangat jiwa.
Melihat
situasi dan kondisi penerus bangsa Indonesia saat ini sangat memprihatinkan,
jauh dari harapan para pahlawan yang telah disebutkan di atas. Saat ini wajah
bangsa Indonesia tercoreng dengan berbagai peristiwa, seperti kasus korupsi,
tawuran antar pelajar, kondisi alam yang kian lesu dan pucat akibat penebangan
hutan dan pencemaran lingkungan, penguasa yang tidak memberikan perilaku
tauladan yang baik, penggunaan obat-obat terlarang, free sex, dan kasus
kriminal yang sangat jelas terlihat (Salahudin, 2013:30).
Data
statistik Badan Narkotika Nasional (BNN), pengguna narkoba pada
bulan November tahun 2015 sebanyak 5.9 Juta orang pengguna (Kompas,
13/11/2017). Parahnya 22 persen dari pengguna tersebut berasal dari kalangan
pelajar dan mahasiswa (Netralnews, 13/11/2017). Belum lagi ditambah dengan
kasus penyalahgunaan lem fox, yang penggunanya juga dari kalangan anak-anak
hingga remaja. Dan hal ini bukan lagi menjadi rahasia pribadi melainkan rahasia
publik.
Data
lain misalnya, kasus yang baru-baru ini terjadi, yaitu pada tanggal 2 Februari
2018 di SMA 1 Tojun, Sampang, Madura, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh
murid kepada gurunya sendiri. Prilaku ini sungguh sangat memprihatinkan.
Selain
itu, ada yang lebih memprihatinkan lagi, yaitu adanya orang-orang yang membela Lesbian,
Gay, Biseksual dan Transgender yang sering disingkat
dengan kata LGBT. Hal ini terlihat ketika acara di televisi pada tanggal 23
Januari 2018, Tv One, dalam acara Indonesia Lawyers Club yang menayangkan
sebuah diskusi permasalahan “RUU KUHP: LGBT dipidana atau dilegalkan?”
Melihat
kenyataan yang terjadi di atas, sungguh tepat apa yang disampaikan presiden
Indonesia saat ini, yakni Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2014 silam ketika
masih menjadi bakal calon presiden. Bahwa Indonesia saat ini perlu “Revolusi
Mental dari Negativisme ke Positifisme”, yaitu merubah mental anak bangsa dari
mental yang negatif (tidak baik) ke arah yang positif (lebih baik) (Kompas.com,
17/2/2018).
Fenomena
yang terjadi di atas adalah akibat kurangnya perhatian pada dunia pendidikan,
baik dalam ranah keluarga, lembaga pendidikan umum dan lingkungan. Maka dari
itu, revolusi mental Indonesia untuk mengubah sifat-sifat yang negatif ke arah
yang positif –ibarat pistol- perlu amunisi yang “pas” untuk menghancurkan
sifat-sifat negatif yang saat ini melekat dalam mental bangsa Indonesia, yaitu dengan
amunisi pendidikan karakter.
Pendidikan
karakter yang penulis angkat dalam tulisan ini bersumber dari nilai-nilai yang
terkandung dalam Alquran surah Al-Isra ayat 23, Al-Jumuah ayat 9-10 dan An-Nahl
ayat 90.
Sebelum
melangkah lebih jauh membahas mengenai pendidikan karakter sebagai amunisi revolusi
mental yang mengambil nilai-nilainya dari ayat Alquran di atas, maka sudah
menjadi suatu keniscayaan untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan pendidikan karakter tersebut.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Pendidikan Karakter
Istilah pendidikan karakter terdiri dari dua kata, yakni pendidikan
dan karakter.
Pada hakikatnya pendidikan adalah upaya keluarga, masyarakat dan
pemerintah, bahkan semua yang peduli terhadap pendidikan untuk menjamin
kelangsungan hidup warga masyarakat tersebut beserta generasi penerusnya, agar
mampu menghadapi masa depan yang senantiasa berubah dan harus terjalin dalam
kaitan konteks budaya, bangsa dan negara dan hubungan internasionalnya (Malisi,
2007:1).
Menurut
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pasal 1 butir 1,
pendidikan adalah: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Salahudin, 2013:41).
Menurut Hamdani Hamid (2013:2), dalam Pendidikan Karakter
Perspektif Islam:
Pendidikan adalah proses pembinaan dan bimbingan, yang dilakukan
seseorang secara terus-menerus kepada anak didik hingga tercapai tujuan
pendidikannya.
Ada juga yang mendefinisikan bahwa pendidikan adalah proses pertumbuhan
dan perkembangan manusia dengan semua potensinya melalui pengajaran (teaching)
dan pembelajaran (learning) untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan
serta mengembangkan tingkah laku yang baik agar bisa bermanfaat bagi kehidupan
dirinya, masyarakat dan lingkungannya (Aziz, 2012:71)
Menurut Ahmad
D. Marimba mengartikan bahwa pendidikan adalah bimbingan jasmani dan rohani
untuk membentuk kepribadian utama, membimbing keterampilan jasmaniah dan
rohaniah sebagai perilaku konkret yang memberi manfaat pada kehidupan siswa di
masyarakat (Hamid, 2013:3).
Hamdani Hamid (2013:4), dalam Pendidikan Karakter Perspektif
Islam:
Bahwa menurut Azyumardi Azra, pendidikan merupakan proses penyiapan
generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara
lebih efektif dan efisien.
Dari berbagai definisi tentang pendidikan di atas, penulis lebih
cenderung kepada definisi yang diberikan oleh Azyumardi Azra, bahwa pendidikan
merupakan proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi
tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan pendapat
ini cenderung lebih mudah dipahami dan telah mampu mewakili seluruh definisi
yang dijelaskan di atas.
Sedangkan
karakter adalah nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh
aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama
manusia, maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya
dan adat istiadat (Suyadi, 2013:5-6).
Karakter juga dikatakan adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir,
bersikap, dan bertindak (Sahlan, 2012:13).
Menurut Salahudin (2013:44), dalam Pendidikan Karakter:
Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa:
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri
khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Gunawan (2012:3), dalam Pendidikan Karakter: Konsep dan
Implementasi:
Karakter adalah keadaan asli yang ada dalam diri individu seseorang
yang membedakan antara dirinya dengan orang lain.
Menurut Hornby dan Parnwell karakter adalah kualitas mental atau
moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Tidak hanya itu, Hermawan Kartajaya
juga ikut mendefinisikan karakter, yakni ciri khas yang dimiliki oleh individu
(manusia). Berbeda halnya dengan mereka berdua, Winnie memandang bahwa istilah
karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana
seseorang bertingkah laku. Apabila perilaku buruk maka itu adalah karakter
buruk, begitu pula sebaliknya. Kedua, karakter erat kaitannya dengan
kepribadian seseorang (Gunawan, 2012:2-3)
Dari berbagai penjelasan karakter di atas, dapat dipahami bahwa
karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh seseorang berupa kepribadian,
akhlak, yang membedakannya dengan yang
lain.
Maka dari itu, dari penjelasan pendidikan dan karakter di atas,
dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah segala
proses yang dilakukan oleh pendidik untuk menanamkan nilai-nilai positif dalam
diri seseorang, yang membuatnya menjadi generasi penerus yang mampu menjalankan
kehidupannya dan mengetahui tujuan hidupnya.
2.
Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Surah Al-Isra:23, Al-Jumuah:9-10,
dan An-Nahl:90
Banyak ayat dalam Alquran yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang
dapat membentuk karakter (akhlak dalam Islam) seorang manusia, sehingga mampu
memiliki karakter yang mulia. Kendati demikian, penulis dalam tulisan ini hanya
mengungkapkan nilai-nilai pendidikan karakter yang penulis batasi hanya pada
surah Al-Isra ayat 23, Al-Jumuah ayat 9-10 dan An-Nahl ayat 90.
a.
Al-Isra ayat 23
23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
Quraish Shihab, seorang tokof
mufasir terkemuka asal Indonesia menafsirkan ayat tersebut bahwa ayat tersebut
menegaskan ketetapan yang merupakan perintah Allah untuk mengesakan-Nya dalam
beribadah, mengikhlaskan diri, dan tidak mempersekutukan-Nya, disusul dengan
perintah berbakti kepada kedua orangtua (Shihab, 2012:225).
Muhammad Ali Ash-Shabuni pun juga menafsirkan ayat tersebut, bahwa
dalam ayat tersebut Allah memutuskan dan menyuruh agar kalian tidak menyembah
tuhan selain Dia. Mujahid berkata: yakni Allah berwasiat untuk menyembah-Nya
dan mengesakan-Nya. Allah juga memerintahkan kalian agar berbuat baik kepada
kedua orangtua dengan sebenarnya. Ulama tafsir berkata: Allah menyebutkan
secara bersamaan antara menyembah-Nya dan berbuat baik kepada kedua orangtua
untuk menjelaskan besarnya hak orangtua pada anak, sebab mereka adalah penyebab
lahir dan adanya anak (Ash-Shabuni, 2011:206).
Meng-Esakan Allah, percaya
kepada-Nya dan tidak menyembah selain Dia adalah hal yang paling penting dalam
ajaran Islam. Sebab, tanda Islamnya seseorang adalah keyakinannya pada Allah
SWT.
Selain itu, dengan meng-Esakan Allah
dan percaya kepada-Nya akan membuat kita sadar akan kodrat kita sebagai
manusia. Kodrat kita diciptakan sebagai laki-laki maupun perempuan, yang
mempunyai perbedaan masing-masing. Misalnya, perbedaan dalam ranah biologis
yang mempengaruhi dalam hidup bersosial.
Selain itu, dengan meng-Esakan Allah
maka kita akan sadar bahwa makhluk Allah diciptakan dengan berpasang-pasangan.
Manusia, tumbuh-tumbuhanan, hewan berpasangan. Yakni perempuan dengan
laki-laki, jantan dan betina dan lain sebagainya.
Sekarang, ada orang yang menyukai
sesama jenis yang biasa disebut gay atau lesbian, merupakan
pertanda bahwa ketidaktaatan kepada Allah. Akibat ketidaktaatan kepada Allah
itu maka mereka lupa dengan kodrat mereka diciptakan.
Kasus pembunuhan yang terjadi di
Madura, yeng telah penulis sebutkan di atas, menunjukkan ketidaktaatan kepada
Allah SWT. Dia lupa kodrat dia sebagai manusia yang saling memiliki hak untuk
hidup. Dan status dia sebagai murid yang seharusnya menghormati seorang guru,
bukan membunuhnya. Serta kasus-kasus lainnya yang telah penulis sebutkan di
atas yang semuanya bersumber dari ketidaktaatan kepada Allah SWT.
Mengapa dakwah Rasulullah menghadapi
kaum-kaum Jahiliyyah diawali dengan tauhid (mengEsakan Allah SWT)? ini sudah
menjadi suatu kenyataan bahwa pondasi yang perlu diperbaiki adalah tentang
keyakinan pada Allah SWT.
Jika pendidikan jauh dari akidah
Islam (Tauhid), lepas dari ajaran religius dan tidak berhubungan dengan Allah,
maka tidak diragukan lagi bahwa anak didik akan tumbuh dewasa di atas
penyimpangan, kesesatan, dan kekafiran.
Dari sini jelaslah bahwa yang
menjadi dasar utama yang harus terbina adalah prinsip tauhid. Prinsip tauhid
adalah pintu pembuka dalam melaksanakan disiplin ilmu lainnya.
Dalam ayat ini, setelah Allah SWT
memerintahkan untuk tidak menyembah selain Dia, Allah menyuruh agar berbuat
baik kepada orang tua. Serta setelah mereka berumur lanjut jangan sekali-kali
untuk mengeluarkan kata-kata yang kasar. Allah menyuruh untuk mengucapkan perkataan
yang mulia.
Seorang anak tentunya tidak akan
berbuat berbaik kepada orang tua dan mengucapkan perkataan yang mulia jika
orang tua tidak pernah berbuat baik kepada anak dan mengucapkan perkataan yang
mulia padanya ketika masih kecil.
Oleh karena itu, tentunya sebagai
orang tua harus mendidik anak dengan yang baik-baik. Berbuat baik kepada anak,
mencontohkan perilaku yang baik, serta tidak membentak anak. Ucapkanlah
kata-kata yang mulia, yang baik, sehingga anak merasakan kasih sayang dari
orang tuanya.
b.
Al-Jumuah ayat 9-10
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
10. Apabila
telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ash-Shabuni
dalam tafsirnya menjelaskan, hai orang-orang yang beriman, jika kalian
mendengar muadzin mengumandangkan adzan sholat jum’at, maka segeralah
mendengarkan khutbah jum’at dan menunaikan sholat dan tinggalkanlah jual beli.
Berjalan menuju ridha Allah dan meninggalkan jual beli itu lebih baik bagi
kalian dan lebih bermanfaat daripada perdagangan dunia. Itu disebabkan akhirat
lebih besar dan lebih agung. Jika kalian termasuk pemilik ilmu yang lurus dan
pengertian yang besar. Apabila telah ditunaikan sholat jum’at, maka menyebarlah
kalian di bumi untuk berdagang dan melakukan kemaslahatan kalian. Carilah
nikmat dan anugerah Allah, sebab rezeki di tangan-Nya, Dia-lah yang memberi,
Dia tidak menyia-nyiakan perbuatan seseorang dan tidak merugikan permintaan
pendoa. Dan juga ingatlah tuhan kalian banyak-banyak dengan lisan dan hati,
bukan hanya ketika sholat. Agar kalian beruntung, meraih kebahagian dunia dan
akhirat. Said bin Jubair berkata bahwa ingat Allah adalah dengan taat
kepada-Nya (Ash-Shabuni, 2011:350).
Selanjutnya
Quraish Shihab juga menjelaskan apabila kamu telah menunaikan sholat, jika kamu
mau, maka bertebaranlah di muka bumi untuk tujuan apa pun yang dibenarkan Allah
dan carilah dengan bersungguh-sungguh sebagian dari karunia-Nya, karena karunia
Allah sangat banyak dan tidak mungkin kamu dapat mengambil seluruhnya. Ingatlah
Allah banyak-banyak, jangan sampai kesungguhan kamu mencari karunia-Nya
melengahkan kamu. Berzikirlah dari saat ke saat dan di setiap tempat dengan
hati atau bersama lidah kamu supaya kamu beruntung memperoleh apa yang kamu
dambakan (Shihab, 2012:268).
Setelah
ayat sebelumnya membahas tentang tauhid, taat kepada Allah SWT, maka dalam ayat
ini membahas tentang keseimbangan.
Pada
ayat ini, dapat kita ambil pelajaran bahwa ketika kita bekerja untuk mencari
rezeki harus diiringi dengan beribadah kepada-Nya. Jangan sampai pekerjaan kita
membuat kita lupa untuk beribadah kepada-Nya. Karena sejatinya kita yakin bahwa
Allah adalah sumber rezeki. InsyaAllah, pekerjaan yang diiringi dengan ibadah
(ketakwaan) kepada Allah akan mendapatkan keberkahan rezeki dalam hidupnya.
Sayyid
Quthb dalam kitab tafsirnya menjelaskan keuntungan orang yang bertakwa pada
ayat 2-3 surah Ath-Thalaq, bahwa takwa akan memberikan seseorang itu jalan
keluar dari kesempitan dan kesulitan di dunia dan akhirat. Juga diberikan
rezeki yang tidak pernah dibayangkan dan dinantikannya (Quthb, 2013:317).
Keseimbangan
ini perlu menjadi karakter pemuda Indonesia yang berdiri atas nilai-nilai agama.
Keseimbangan dalam bekerja mencari karunia Allah serta beribadah kepada-Nya
akan berdampak kepada karakter syukur (berupa ucapan dan perbuatan) atas apa
yang ia peroleh.
Syukur
akan membawa manusia selalu merasa cukup dengan rezeki yang ia peroleh dalam
bekerja, tidak pernah merasa kurang. Kasus maraknya korupsi sejatinya karena
tidak pernah merasa cukup dengan rezeki yang ada pada dirinya.
Seseorang
tidak akan merasa syukur jika ia tidak melakukan keseimbangan dalam bekerja dan
beribadah kepada Allah, serta mengingat-Nya. Selanjutnya seseorang tidak akan
bisa melakukan keseimbangan jika tidak ada dalam dirinya prinsip tauhid kepada
Allah SWT. Oleh karena itu prinsip tauhid yang penulis sebutkan pada ayat
sebelumnya memiliki hubungan dengan ayat ini.
c.
An-Nahl ayat 90
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.
Ayat 90 ini dikemukakan sekelumit yang dapat menggambarkan
kesimpulan petunjuk Alquran. Ayat tersebut menyatakan bahwa sungguh Allah
secara terus-menerus memerintahkan siapa pun di antara hamba-hamba-Nya untuk
berlaku adil dalam sikap, ucapan, dan tindakan, walau terhadap diri sendiri.
Juga menganjurkan berbuat ihsan, yakni yang lebih utama daripada keadilan dan
juga pemberian apa pun yang dibutuhkan dan sepanjang kemampuan, lagi dengan
tulus kepada kaum kerabat. Di sisi lain, Allah melarang segala macam dosa,
lebih-lebih perbuatan keji yang amat dicela oleh agama dan akal sehat, seperti
zina dan homoseksual. Demikian juga kemungkaran, yakni hal-hal yang
bertentangan dengan adat istiadat yang sesuai dengan nilai-nilai agama, dan
melarang juga penganiayaan, yakni segala sesuatu yang melampaui batas
kewajaran. Demikian Allah memberi pengajaran dan bimbingan menyangkut segala
aspek kebajikan agar manusia selalu ingat dan mengambil pelajaran yang berharga
(Shihab, 2012:187).
Allah memerintahkan kemuliaan akhlak dengan berbuat adil di antara
manusia dan berbuat baik kepada seluruh makhluk. Membantu kaum kerabat. Kerabat
secara khusus disebutkan agar mereka lebih diperhatikan. Allah melarang tiap
hal yang buruk, baik ucapan, perbuatan maupun amal. Perbuatan keji adalah
segala hal yang terlalu buruk, seperti zina dan syirik, mungkar adalah segala
hal yang diingkari oleh fitrah, permusuhan adalah kezhaliman dan melewati batas
kebenaran serta keadilan. Allah mengajari kalian adab berupa syariat-Nya, yaitu
larangan dan perintah, agar kalian memperolah perlajaran dari firman Allah
(Ash-Shabuni, 2011:160).
Asy-Syanqithi
dalam kitab tafsirnya adhwa’ul bayan, bahwa pada ayat yang mulia ini
diterangkan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil, ihsan
dan menyantuni kaum kerabat. Allah juga melarang dari perbuatan durhaka, keji
dan munkar, maka hendaklah mereka mengambil pelajaran dari perintah dan
larangan Allah dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya (Asy-Syanqithi, 2007:564).
Ayat
di atas menjelaskan tentang perintah Allah yang menyuruh manusia agar berbuat
adil, yaitu menunaikan kadar kewajiban berbuat baik dan terbaik, berbuat kasih
sayang pada ciptaan-Nya dengan bersilaturrahim pada mereka serta menjauhkan
diri dari berbagai bentuk perbuatan buruk yang menyakiti sesama dan mergikan
orang lain.
Dalam
kajian Ilmu Ma’aani Alquran, yakni ilmu untuk memahami makna-makna
Alquran, ada terdapat kaidah ijaz. Yaitu kata atau lafadz Alquran yang
sedikit, namun memiliki makna yang sangat luas.
Dalam
ayat di atas adalah salah satu contohnya. Allah menggunakan kata al-ihsan untuk
menunjukkan betapa banyaknya jenis-jenis kebaikan yang dapat dilakukan manusia.
Dan kata fahsya wa al-munkar, yang menunjukkan semua bentuk kemungkaran
dan permusuhan yang harus dihindarkan.
LGBT,
tawuran, meminum-minuman keras, korupsi, mengkonsumsi narkoba, membunuh,
tidak meng-Esakan Allah, semuanya merupakan bentuk dari permusuhan dan
kemungkaran.
Oleh
karena itu, dari ayat ini kita harus menanamkan nilai-nilai kebaikan pada
pemuda penerus bangsa ini. Nilai-nilai kebaikan seperti berlaku adil, bersikap
jujur, ikhlas, peduli terhadap sosial, rasa hormat, serta semua yang mendorong
kepada kebaikan. Serta menanamkan pengetahuan tentang perilaku-perilaku yang
dilarang oleh Allah SWT, yang dalam ayat ini disebut perbuatan keji (fakhsya)
dan mungkar (mungkar). Keji yang berarti perbuatan yang sangat dilarang
Allah, seperti syirik, zina dan lain sebagainya. Selanjutnya kemungkaran yang
tidak sesuai dengan fitrah.
Setelah melihat berbagai penjelasan dalam tiga surah yang penulis
sebutkan di atas, dapat sama-sama kita ketahui beberapa nilai pendidikan
karakter yang bisa kita tanamkan pada penerus bangsa ini. Pertama, nilai
tauhid. Prinsip untuk selalu meng-Esakan Allah dan tidak menyembah kepada yang
lainnya. Kedua, nilai berbakti kepada orang tua, serta mengucapkan
perkataan yang mulia kepada keduanya, bukan membentaknya dengan kasar. Ketiga,
nilai keseimbangan, keseimbangan dalam beribadah dan bekerja bahkan
beribadah dan belajar dan lain sebagainya. Keempat, nilai selalu berbuat
ihsan (kebaikan) seperti berlaku adil, jujur, ikhlas, peduli sosial,
rasa hormat dan sebagainya. Kelima, yang terakhir ini adalah nilai
menjauhi segala bentuk perbuatan keji dan kemungkaran, seperti syirik, zina,
dan perbuatan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.
3.
Implementasi Pendidikan Karakter dalam Kehidupan
Ibarat sebuah pistol yang telah memiliki amunisi, tidak akan bisa
digunakan dan tidak berpengaruh jika tidak ada orang yang menggunakan pistol
tersebut. Begitu halnya dengan pendidikan karakter, perlunya orang-orang yang
memberikan nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, agar tidak menjadi sebuah
konsep yang sia-sia. Yaitu seorang pendidik.
Dalam hal ini, pendidik
tidak hanya difokuskan pada lembaga pendidikan formal seperti SD sampai jenjang
perkuliahan. Di sini penulis meletakkan posisi pendidik pada tiga (3) elemen,
yakni dalam elemen keluarga, lembaga pendidikan umum dan lingkungan.
Jika kita hanya
bergantung kepada pendidikan formal, bukankah pendidikan juga tanggung jawab
orang tua dan masyarakat (lingkungan)? Bukankah waktu yang dihabiskan anak di
luar sekolah sering kali lebih lama daripada di dalam sekolah? Bukankah lingkungan keluarga dan masyarakat
biasanya lebih kuat pengaruhnya ketimbang guru di sekolah? Banyak anak yang
menjadi nakal di sekolah gara-gara masalah yang terjadi di rumah. Ada yang
orang tuanya terlalu sibuk karena terlalu kaya atau sebaliknya, karena terlalu
miskin. Kita juga semua tahu, bahwa perangai anak sangat dipengaruhi oleh
contoh yang diberikan oleh orangtuanya. Maka pendidikan karakter bagaimanapun,
bermulai dari rumah tangga. Perhatikan anak-anak baik di sekolah dan lalu
selidiki bagaimana latar belakang keluarganya. Biasanya, kita akan menemukan
korelasi atau hubungan yang positif antara keadaan di rumah dengan keadaan anak
di sekolah (Mujiburrahman, 2017:102-103).
Selain keadaan di rumah dan pendidikan formal, tentu lingkungan
pergaulan di masyarakat amat berpengaruh pula. Tidak sedikit anak yang berasal
dari keluarga baik-baik, akhirnya terjerumus ke lembah narkoba gara-gara
pergaulan. Keadaan lingkungan semacam ini tentu bukan lagi tanggung jawab guru,
melainkan tanggung jawab tokoh-tokoh masyarakat dan penguasa. Para ulama,
ustadz, pemimpin dan lain sebagainya adalah orang yang diharapkan dapat
memengaruhi masyarakat agar tetap berada di jalur yang benar. Para penguasa
diharapkan mampu membuat kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kemaslahatan
bersama. Juga diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat (Mujiburrahman,
2017:103).
Maka dari itu, Suksesnya pendidikan karakter berdasar prinsip
bergantung kepada semua elemen pendidikan yang penulis sebutkan di atas, yaitu
keluarga, pendidikan umum dan lingkungan. Tanpa adanya kerjasama dari semua
elemen, pendidikan karakter sulit untuk dijalankan.
C.
Penutup
Jadi,
pendidikan karakter itu terdiri dari dua kata, yakni pendidikan dan karakter.
Yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah segala proses yang dilakukan
oleh pendidik untuk menanamkan nilai-nilai positif dalam diri seseorang, yang
membuatnya menjadi generasi penerus yang mampu menjalankan kehidupannya dan
mengetahui tujuan hidupnya.
Nilai-nilai
pendidikan karakter dalam surah Al-Isra ayat 23, Al-Jumuah ayat 9-10 dan surah
An-Nahl ayat 90 adalah Pertama, nilai tauhid. Prinsip untuk selalu
meng-Esakan Allah dan tidak menyembah kepada yang lainnya. Kedua, nilai
berbakti kepada orang tua, serta mengucapkan perkataan yang mulia kepada
keduanya, bukan membentaknya dengan kasar. Ketiga, nilai keseimbangan,
keseimbangan dalam beribadah dan bekerja bahkan beribadah dan belajar dan lain
sebagainya. Keempat, nilai selalu berbuat ihsan (kebaikan)
seperti berlaku adil, jujur, ikhlas, peduli sosial, rasa hormat dan sebagainya.
Kelima, yang terakhir ini adalah nilai menjauhi segala bentuk perbuatan
keji dan kemungkaran, seperti syirik, zina, dan perbuatan yang tidak sesuai
dengan fitrah manusia.
Terakhir,
suksesnya pendidikan karakter berdasar kepada semua elemen pendidikan, yaitu
keluarga, pendidikan umum dan lingkungan. Tanpa adanya kerjasama dari semua
elemen, pendidikan karakter sulit untuk dijalankan.
No comments:
Post a Comment