Saturday, March 2, 2019

Pendidikan Karakter sebagai Amunisi Gerakan Revolusi Mental


A.    Pendahuluan
Pesan para pahlawan kepada penerus bangsa Indonesia saat ini adalah untuk senantiasa membangun jiwa dan badan dengan nilai-nilai semangat perjuangan untuk selalu menjaga keutuhan negara Indonesia dari segala sesuatu yang dapat merusaknya. Pesan tersebut tertuang dalam lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, yang sedikit penulis kutip potongan liriknya “Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Mengapa bangunlah jiwanya terlebih dahulu baru badannya? Ini sudah menjadi suatu kenyataan karena jika jiwa telah terbangun atas dasar nilai-nilai semangat perjuangan maka badan akan terbawa suasana semangat jiwa.
Melihat situasi dan kondisi penerus bangsa Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, jauh dari harapan para pahlawan yang telah disebutkan di atas. Saat ini wajah bangsa Indonesia tercoreng dengan berbagai peristiwa, seperti kasus korupsi, tawuran antar pelajar, kondisi alam yang kian lesu dan pucat akibat penebangan hutan dan pencemaran lingkungan, penguasa yang tidak memberikan perilaku tauladan yang baik, penggunaan obat-obat terlarang, free sex, dan kasus kriminal yang sangat jelas terlihat (Salahudin, 2013:30).
Data statistik Badan Narkotika Nasional (BNN), pengguna narkoba pada bulan November tahun 2015 sebanyak 5.9 Juta orang pengguna (Kompas, 13/11/2017). Parahnya 22 persen dari pengguna tersebut berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa (Netralnews, 13/11/2017). Belum lagi ditambah dengan kasus penyalahgunaan lem fox, yang penggunanya juga dari kalangan anak-anak hingga remaja. Dan hal ini bukan lagi menjadi rahasia pribadi melainkan rahasia publik.
Data lain misalnya, kasus yang baru-baru ini terjadi, yaitu pada tanggal 2 Februari 2018 di SMA 1 Tojun, Sampang, Madura, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh murid kepada gurunya sendiri. Prilaku ini sungguh sangat memprihatinkan.
Selain itu, ada yang lebih memprihatinkan lagi, yaitu adanya orang-orang yang membela Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender yang sering disingkat dengan kata LGBT. Hal ini terlihat ketika acara di televisi pada tanggal 23 Januari 2018, Tv One, dalam acara Indonesia Lawyers Club yang menayangkan sebuah diskusi permasalahan “RUU KUHP: LGBT dipidana atau dilegalkan?”
Melihat kenyataan yang terjadi di atas, sungguh tepat apa yang disampaikan presiden Indonesia saat ini, yakni Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2014 silam ketika masih menjadi bakal calon presiden. Bahwa Indonesia saat ini perlu “Revolusi Mental dari Negativisme ke Positifisme”, yaitu merubah mental anak bangsa dari mental yang negatif (tidak baik) ke arah yang positif (lebih baik) (Kompas.com, 17/2/2018).
Fenomena yang terjadi di atas adalah akibat kurangnya perhatian pada dunia pendidikan, baik dalam ranah keluarga, lembaga pendidikan umum dan lingkungan. Maka dari itu, revolusi mental Indonesia untuk mengubah sifat-sifat yang negatif ke arah yang positif –ibarat pistol- perlu amunisi yang “pas” untuk menghancurkan sifat-sifat negatif yang saat ini melekat dalam mental bangsa Indonesia, yaitu dengan amunisi pendidikan karakter.
Pendidikan karakter yang penulis angkat dalam tulisan ini bersumber dari nilai-nilai yang terkandung dalam Alquran surah Al-Isra ayat 23, Al-Jumuah ayat 9-10 dan An-Nahl ayat 90.
Sebelum melangkah lebih jauh membahas mengenai pendidikan karakter sebagai amunisi revolusi mental yang mengambil nilai-nilainya dari ayat Alquran di atas, maka sudah menjadi suatu keniscayaan untuk mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter tersebut.
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Pendidikan Karakter
Istilah pendidikan karakter terdiri dari dua kata, yakni pendidikan dan karakter.
Pada hakikatnya pendidikan adalah upaya keluarga, masyarakat dan pemerintah, bahkan semua yang peduli terhadap pendidikan untuk menjamin kelangsungan hidup warga masyarakat tersebut beserta generasi penerusnya, agar mampu menghadapi masa depan yang senantiasa berubah dan harus terjalin dalam kaitan konteks budaya, bangsa dan negara dan hubungan internasionalnya (Malisi, 2007:1).
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 Pasal 1 butir 1, pendidikan adalah: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Salahudin, 2013:41).
Menurut Hamdani Hamid (2013:2), dalam Pendidikan Karakter Perspektif Islam:
Pendidikan adalah proses pembinaan dan bimbingan, yang dilakukan seseorang secara terus-menerus kepada anak didik hingga tercapai tujuan pendidikannya.
Ada juga yang mendefinisikan bahwa pendidikan adalah proses pertumbuhan dan perkembangan manusia dengan semua potensinya melalui pengajaran (teaching) dan pembelajaran (learning) untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengembangkan tingkah laku yang baik agar bisa bermanfaat bagi kehidupan dirinya, masyarakat dan lingkungannya (Aziz, 2012:71)
Menurut Ahmad D. Marimba mengartikan bahwa pendidikan adalah bimbingan jasmani dan rohani untuk membentuk kepribadian utama, membimbing keterampilan jasmaniah dan rohaniah sebagai perilaku konkret yang memberi manfaat pada kehidupan siswa di masyarakat (Hamid, 2013:3).
Hamdani Hamid (2013:4), dalam Pendidikan Karakter Perspektif Islam:
Bahwa menurut Azyumardi Azra, pendidikan merupakan proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien.
Dari berbagai definisi tentang pendidikan di atas, penulis lebih cenderung kepada definisi yang diberikan oleh Azyumardi Azra, bahwa pendidikan merupakan proses penyiapan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan memenuhi tujuan hidupnya secara lebih efektif dan efisien. Hal ini dikarenakan pendapat ini cenderung lebih mudah dipahami dan telah mampu mewakili seluruh definisi yang dijelaskan di atas.
Sedangkan karakter adalah nilai-nilai universal perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan, baik yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, maupun dengan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat (Suyadi, 2013:5-6).
Karakter juga dikatakan adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak (Sahlan, 2012:13).
Menurut Salahudin (2013:44), dalam Pendidikan Karakter: Pendidikan Berbasis Agama & Budaya Bangsa:
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Gunawan (2012:3), dalam Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi:
Karakter adalah keadaan asli yang ada dalam diri individu seseorang yang membedakan antara dirinya dengan orang lain.
Menurut Hornby dan Parnwell karakter adalah kualitas mental atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi. Tidak hanya itu, Hermawan Kartajaya juga ikut mendefinisikan karakter, yakni ciri khas yang dimiliki oleh individu (manusia). Berbeda halnya dengan mereka berdua, Winnie memandang bahwa istilah karakter memiliki dua pengertian. Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila perilaku buruk maka itu adalah karakter buruk, begitu pula sebaliknya. Kedua, karakter erat kaitannya dengan kepribadian seseorang (Gunawan, 2012:2-3)
Dari berbagai penjelasan karakter di atas, dapat dipahami bahwa karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh seseorang berupa kepribadian, akhlak,  yang membedakannya dengan yang lain.
Maka dari itu, dari penjelasan pendidikan dan karakter di atas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah segala proses yang dilakukan oleh pendidik untuk menanamkan nilai-nilai positif dalam diri seseorang, yang membuatnya menjadi generasi penerus yang mampu menjalankan kehidupannya dan mengetahui tujuan hidupnya.
2.      Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Surah Al-Isra:23, Al-Jumuah:9-10, dan An-Nahl:90
Banyak ayat dalam Alquran yang didalamnya terdapat nilai-nilai yang dapat membentuk karakter (akhlak dalam Islam) seorang manusia, sehingga mampu memiliki karakter yang mulia. Kendati demikian, penulis dalam tulisan ini hanya mengungkapkan nilai-nilai pendidikan karakter yang penulis batasi hanya pada surah Al-Isra ayat 23, Al-Jumuah ayat 9-10 dan An-Nahl ayat 90.
a.      Al-Isra ayat 23
23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia.
Quraish Shihab, seorang tokof mufasir terkemuka asal Indonesia menafsirkan ayat tersebut bahwa ayat tersebut menegaskan ketetapan yang merupakan perintah Allah untuk mengesakan-Nya dalam beribadah, mengikhlaskan diri, dan tidak mempersekutukan-Nya, disusul dengan perintah berbakti kepada kedua orangtua (Shihab, 2012:225).
Muhammad Ali Ash-Shabuni pun juga menafsirkan ayat tersebut, bahwa dalam ayat tersebut Allah memutuskan dan menyuruh agar kalian tidak menyembah tuhan selain Dia. Mujahid berkata: yakni Allah berwasiat untuk menyembah-Nya dan mengesakan-Nya. Allah juga memerintahkan kalian agar berbuat baik kepada kedua orangtua dengan sebenarnya. Ulama tafsir berkata: Allah menyebutkan secara bersamaan antara menyembah-Nya dan berbuat baik kepada kedua orangtua untuk menjelaskan besarnya hak orangtua pada anak, sebab mereka adalah penyebab lahir dan adanya anak (Ash-Shabuni, 2011:206).
Meng-Esakan Allah, percaya kepada-Nya dan tidak menyembah selain Dia adalah hal yang paling penting dalam ajaran Islam. Sebab, tanda Islamnya seseorang adalah keyakinannya pada Allah SWT.
Selain itu, dengan meng-Esakan Allah dan percaya kepada-Nya akan membuat kita sadar akan kodrat kita sebagai manusia. Kodrat kita diciptakan sebagai laki-laki maupun perempuan, yang mempunyai perbedaan masing-masing. Misalnya, perbedaan dalam ranah biologis yang mempengaruhi dalam hidup bersosial.
Selain itu, dengan meng-Esakan Allah maka kita akan sadar bahwa makhluk Allah diciptakan dengan berpasang-pasangan. Manusia, tumbuh-tumbuhanan, hewan berpasangan. Yakni perempuan dengan laki-laki, jantan dan betina dan lain sebagainya.
Sekarang, ada orang yang menyukai sesama jenis yang biasa disebut gay atau lesbian, merupakan pertanda bahwa ketidaktaatan kepada Allah. Akibat ketidaktaatan kepada Allah itu maka mereka lupa dengan kodrat mereka diciptakan.
Kasus pembunuhan yang terjadi di Madura, yeng telah penulis sebutkan di atas, menunjukkan ketidaktaatan kepada Allah SWT. Dia lupa kodrat dia sebagai manusia yang saling memiliki hak untuk hidup. Dan status dia sebagai murid yang seharusnya menghormati seorang guru, bukan membunuhnya. Serta kasus-kasus lainnya yang telah penulis sebutkan di atas yang semuanya bersumber dari ketidaktaatan kepada Allah SWT.
Mengapa dakwah Rasulullah menghadapi kaum-kaum Jahiliyyah diawali dengan tauhid (mengEsakan Allah SWT)? ini sudah menjadi suatu kenyataan bahwa pondasi yang perlu diperbaiki adalah tentang keyakinan pada Allah SWT.
Jika pendidikan jauh dari akidah Islam (Tauhid), lepas dari ajaran religius dan tidak berhubungan dengan Allah, maka tidak diragukan lagi bahwa anak didik akan tumbuh dewasa di atas penyimpangan, kesesatan, dan kekafiran.
Dari sini jelaslah bahwa yang menjadi dasar utama yang harus terbina adalah prinsip tauhid. Prinsip tauhid adalah pintu pembuka dalam melaksanakan disiplin ilmu lainnya.
Dalam ayat ini, setelah Allah SWT memerintahkan untuk tidak menyembah selain Dia, Allah menyuruh agar berbuat baik kepada orang tua. Serta setelah mereka berumur lanjut jangan sekali-kali untuk mengeluarkan kata-kata yang kasar. Allah menyuruh untuk mengucapkan perkataan yang mulia.
Seorang anak tentunya tidak akan berbuat berbaik kepada orang tua dan mengucapkan perkataan yang mulia jika orang tua tidak pernah berbuat baik kepada anak dan mengucapkan perkataan yang mulia padanya ketika masih kecil.
Oleh karena itu, tentunya sebagai orang tua harus mendidik anak dengan yang baik-baik. Berbuat baik kepada anak, mencontohkan perilaku yang baik, serta tidak membentak anak. Ucapkanlah kata-kata yang mulia, yang baik, sehingga anak merasakan kasih sayang dari orang tuanya.
b.      Al-Jumuah ayat 9-10
9. Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
10. Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ash-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan, hai orang-orang yang beriman, jika kalian mendengar muadzin mengumandangkan adzan sholat jum’at, maka segeralah mendengarkan khutbah jum’at dan menunaikan sholat dan tinggalkanlah jual beli. Berjalan menuju ridha Allah dan meninggalkan jual beli itu lebih baik bagi kalian dan lebih bermanfaat daripada perdagangan dunia. Itu disebabkan akhirat lebih besar dan lebih agung. Jika kalian termasuk pemilik ilmu yang lurus dan pengertian yang besar. Apabila telah ditunaikan sholat jum’at, maka menyebarlah kalian di bumi untuk berdagang dan melakukan kemaslahatan kalian. Carilah nikmat dan anugerah Allah, sebab rezeki di tangan-Nya, Dia-lah yang memberi, Dia tidak menyia-nyiakan perbuatan seseorang dan tidak merugikan permintaan pendoa. Dan juga ingatlah tuhan kalian banyak-banyak dengan lisan dan hati, bukan hanya ketika sholat. Agar kalian beruntung, meraih kebahagian dunia dan akhirat. Said bin Jubair berkata bahwa ingat Allah adalah dengan taat kepada-Nya (Ash-Shabuni, 2011:350).
Selanjutnya Quraish Shihab juga menjelaskan apabila kamu telah menunaikan sholat, jika kamu mau, maka bertebaranlah di muka bumi untuk tujuan apa pun yang dibenarkan Allah dan carilah dengan bersungguh-sungguh sebagian dari karunia-Nya, karena karunia Allah sangat banyak dan tidak mungkin kamu dapat mengambil seluruhnya. Ingatlah Allah banyak-banyak, jangan sampai kesungguhan kamu mencari karunia-Nya melengahkan kamu. Berzikirlah dari saat ke saat dan di setiap tempat dengan hati atau bersama lidah kamu supaya kamu beruntung memperoleh apa yang kamu dambakan (Shihab, 2012:268).

Setelah ayat sebelumnya membahas tentang tauhid, taat kepada Allah SWT, maka dalam ayat ini membahas tentang keseimbangan.
Pada ayat ini, dapat kita ambil pelajaran bahwa ketika kita bekerja untuk mencari rezeki harus diiringi dengan beribadah kepada-Nya. Jangan sampai pekerjaan kita membuat kita lupa untuk beribadah kepada-Nya. Karena sejatinya kita yakin bahwa Allah adalah sumber rezeki. InsyaAllah, pekerjaan yang diiringi dengan ibadah (ketakwaan) kepada Allah akan mendapatkan keberkahan rezeki dalam hidupnya.
Sayyid Quthb dalam kitab tafsirnya menjelaskan keuntungan orang yang bertakwa pada ayat 2-3 surah Ath-Thalaq, bahwa takwa akan memberikan seseorang itu jalan keluar dari kesempitan dan kesulitan di dunia dan akhirat. Juga diberikan rezeki yang tidak pernah dibayangkan dan dinantikannya (Quthb, 2013:317).
Keseimbangan ini perlu menjadi karakter pemuda Indonesia yang berdiri atas nilai-nilai agama. Keseimbangan dalam bekerja mencari karunia Allah serta beribadah kepada-Nya akan berdampak kepada karakter syukur (berupa ucapan dan perbuatan) atas apa yang ia peroleh.
Syukur akan membawa manusia selalu merasa cukup dengan rezeki yang ia peroleh dalam bekerja, tidak pernah merasa kurang. Kasus maraknya korupsi sejatinya karena tidak pernah merasa cukup dengan rezeki yang ada pada dirinya.
Seseorang tidak akan merasa syukur jika ia tidak melakukan keseimbangan dalam bekerja dan beribadah kepada Allah, serta mengingat-Nya. Selanjutnya seseorang tidak akan bisa melakukan keseimbangan jika tidak ada dalam dirinya prinsip tauhid kepada Allah SWT. Oleh karena itu prinsip tauhid yang penulis sebutkan pada ayat sebelumnya memiliki hubungan dengan ayat ini.
c.       An-Nahl ayat 90
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Ayat 90 ini dikemukakan sekelumit yang dapat menggambarkan kesimpulan petunjuk Alquran. Ayat tersebut menyatakan bahwa sungguh Allah secara terus-menerus memerintahkan siapa pun di antara hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil dalam sikap, ucapan, dan tindakan, walau terhadap diri sendiri. Juga menganjurkan berbuat ihsan, yakni yang lebih utama daripada keadilan dan juga pemberian apa pun yang dibutuhkan dan sepanjang kemampuan, lagi dengan tulus kepada kaum kerabat. Di sisi lain, Allah melarang segala macam dosa, lebih-lebih perbuatan keji yang amat dicela oleh agama dan akal sehat, seperti zina dan homoseksual. Demikian juga kemungkaran, yakni hal-hal yang bertentangan dengan adat istiadat yang sesuai dengan nilai-nilai agama, dan melarang juga penganiayaan, yakni segala sesuatu yang melampaui batas kewajaran. Demikian Allah memberi pengajaran dan bimbingan menyangkut segala aspek kebajikan agar manusia selalu ingat dan mengambil pelajaran yang berharga (Shihab, 2012:187).
Allah memerintahkan kemuliaan akhlak dengan berbuat adil di antara manusia dan berbuat baik kepada seluruh makhluk. Membantu kaum kerabat. Kerabat secara khusus disebutkan agar mereka lebih diperhatikan. Allah melarang tiap hal yang buruk, baik ucapan, perbuatan maupun amal. Perbuatan keji adalah segala hal yang terlalu buruk, seperti zina dan syirik, mungkar adalah segala hal yang diingkari oleh fitrah, permusuhan adalah kezhaliman dan melewati batas kebenaran serta keadilan. Allah mengajari kalian adab berupa syariat-Nya, yaitu larangan dan perintah, agar kalian memperolah perlajaran dari firman Allah (Ash-Shabuni, 2011:160).
Asy-Syanqithi dalam kitab tafsirnya adhwa’ul bayan, bahwa pada ayat yang mulia ini diterangkan bahwa Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berlaku adil, ihsan dan menyantuni kaum kerabat. Allah juga melarang dari perbuatan durhaka, keji dan munkar, maka hendaklah mereka mengambil pelajaran dari perintah dan larangan Allah dengan mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya (Asy-Syanqithi, 2007:564).
Ayat di atas menjelaskan tentang perintah Allah yang menyuruh manusia agar berbuat adil, yaitu menunaikan kadar kewajiban berbuat baik dan terbaik, berbuat kasih sayang pada ciptaan-Nya dengan bersilaturrahim pada mereka serta menjauhkan diri dari berbagai bentuk perbuatan buruk yang menyakiti sesama dan mergikan orang lain.
Dalam kajian Ilmu Ma’aani Alquran, yakni ilmu untuk memahami makna-makna Alquran, ada terdapat kaidah ijaz. Yaitu kata atau lafadz Alquran yang sedikit, namun memiliki makna yang sangat luas.
Dalam ayat di atas adalah salah satu contohnya. Allah menggunakan kata al-ihsan untuk menunjukkan betapa banyaknya jenis-jenis kebaikan yang dapat dilakukan manusia. Dan kata fahsya wa al-munkar, yang menunjukkan semua bentuk kemungkaran dan permusuhan yang harus dihindarkan.
LGBT, tawuran, meminum-minuman keras, korupsi, mengkonsumsi narkoba, membunuh, tidak meng-Esakan Allah, semuanya merupakan bentuk dari permusuhan dan kemungkaran.
Oleh karena itu, dari ayat ini kita harus menanamkan nilai-nilai kebaikan pada pemuda penerus bangsa ini. Nilai-nilai kebaikan seperti berlaku adil, bersikap jujur, ikhlas, peduli terhadap sosial, rasa hormat, serta semua yang mendorong kepada kebaikan. Serta menanamkan pengetahuan tentang perilaku-perilaku yang dilarang oleh Allah SWT, yang dalam ayat ini disebut perbuatan keji (fakhsya) dan mungkar (mungkar). Keji yang berarti perbuatan yang sangat dilarang Allah, seperti syirik, zina dan lain sebagainya. Selanjutnya kemungkaran yang tidak sesuai dengan fitrah.
Setelah melihat berbagai penjelasan dalam tiga surah yang penulis sebutkan di atas, dapat sama-sama kita ketahui beberapa nilai pendidikan karakter yang bisa kita tanamkan pada penerus bangsa ini. Pertama, nilai tauhid. Prinsip untuk selalu meng-Esakan Allah dan tidak menyembah kepada yang lainnya. Kedua, nilai berbakti kepada orang tua, serta mengucapkan perkataan yang mulia kepada keduanya, bukan membentaknya dengan kasar. Ketiga, nilai keseimbangan, keseimbangan dalam beribadah dan bekerja bahkan beribadah dan belajar dan lain sebagainya. Keempat, nilai selalu berbuat ihsan (kebaikan) seperti berlaku adil, jujur, ikhlas, peduli sosial, rasa hormat dan sebagainya. Kelima, yang terakhir ini adalah nilai menjauhi segala bentuk perbuatan keji dan kemungkaran, seperti syirik, zina, dan perbuatan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.
3.      Implementasi Pendidikan Karakter dalam Kehidupan
Ibarat sebuah pistol yang telah memiliki amunisi, tidak akan bisa digunakan dan tidak berpengaruh jika tidak ada orang yang menggunakan pistol tersebut. Begitu halnya dengan pendidikan karakter, perlunya orang-orang yang memberikan nilai-nilai pendidikan karakter tersebut, agar tidak menjadi sebuah konsep yang sia-sia. Yaitu seorang pendidik.
 Dalam hal ini, pendidik tidak hanya difokuskan pada lembaga pendidikan formal seperti SD sampai jenjang perkuliahan. Di sini penulis meletakkan posisi pendidik pada tiga (3) elemen, yakni dalam elemen keluarga, lembaga pendidikan umum dan lingkungan.
Jika kita hanya bergantung kepada pendidikan formal, bukankah pendidikan juga tanggung jawab orang tua dan masyarakat (lingkungan)? Bukankah waktu yang dihabiskan anak di luar sekolah sering kali lebih lama daripada di dalam sekolah?  Bukankah lingkungan keluarga dan masyarakat biasanya lebih kuat pengaruhnya ketimbang guru di sekolah? Banyak anak yang menjadi nakal di sekolah gara-gara masalah yang terjadi di rumah. Ada yang orang tuanya terlalu sibuk karena terlalu kaya atau sebaliknya, karena terlalu miskin. Kita juga semua tahu, bahwa perangai anak sangat dipengaruhi oleh contoh yang diberikan oleh orangtuanya. Maka pendidikan karakter bagaimanapun, bermulai dari rumah tangga. Perhatikan anak-anak baik di sekolah dan lalu selidiki bagaimana latar belakang keluarganya. Biasanya, kita akan menemukan korelasi atau hubungan yang positif antara keadaan di rumah dengan keadaan anak di sekolah (Mujiburrahman, 2017:102-103).
Selain keadaan di rumah dan pendidikan formal, tentu lingkungan pergaulan di masyarakat amat berpengaruh pula. Tidak sedikit anak yang berasal dari keluarga baik-baik, akhirnya terjerumus ke lembah narkoba gara-gara pergaulan. Keadaan lingkungan semacam ini tentu bukan lagi tanggung jawab guru, melainkan tanggung jawab tokoh-tokoh masyarakat dan penguasa. Para ulama, ustadz, pemimpin dan lain sebagainya adalah orang yang diharapkan dapat memengaruhi masyarakat agar tetap berada di jalur yang benar. Para penguasa diharapkan mampu membuat kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kemaslahatan bersama. Juga diharapkan menjadi teladan bagi masyarakat (Mujiburrahman, 2017:103).
Maka dari itu, Suksesnya pendidikan karakter berdasar prinsip bergantung kepada semua elemen pendidikan yang penulis sebutkan di atas, yaitu keluarga, pendidikan umum dan lingkungan. Tanpa adanya kerjasama dari semua elemen, pendidikan karakter sulit untuk dijalankan.
C.    Penutup
Jadi, pendidikan karakter itu terdiri dari dua kata, yakni pendidikan dan karakter. Yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah segala proses yang dilakukan oleh pendidik untuk menanamkan nilai-nilai positif dalam diri seseorang, yang membuatnya menjadi generasi penerus yang mampu menjalankan kehidupannya dan mengetahui tujuan hidupnya.
Nilai-nilai pendidikan karakter dalam surah Al-Isra ayat 23, Al-Jumuah ayat 9-10 dan surah An-Nahl ayat 90 adalah Pertama, nilai tauhid. Prinsip untuk selalu meng-Esakan Allah dan tidak menyembah kepada yang lainnya. Kedua, nilai berbakti kepada orang tua, serta mengucapkan perkataan yang mulia kepada keduanya, bukan membentaknya dengan kasar. Ketiga, nilai keseimbangan, keseimbangan dalam beribadah dan bekerja bahkan beribadah dan belajar dan lain sebagainya. Keempat, nilai selalu berbuat ihsan (kebaikan) seperti berlaku adil, jujur, ikhlas, peduli sosial, rasa hormat dan sebagainya. Kelima, yang terakhir ini adalah nilai menjauhi segala bentuk perbuatan keji dan kemungkaran, seperti syirik, zina, dan perbuatan yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Terakhir, suksesnya pendidikan karakter berdasar kepada semua elemen pendidikan, yaitu keluarga, pendidikan umum dan lingkungan. Tanpa adanya kerjasama dari semua elemen, pendidikan karakter sulit untuk dijalankan.
















No comments:

Post a Comment