A.
Pendahuluan
Sudah
tidak dapat dipungkiri bahwasanya negara Indonesia dari dulu hingga sekarang
tidak pernah lepas daripada konflik. Sebenarnya konflik adalah sesuatu yang
lumrah terjadi. Kendati demikian, lain halnya jika konflik tersebut ditakutkan
akan mengancam runtuhnya kesatuan negara Indonesia.
Seperti
halnya konflik yang akhir-akhir ini terjadi, kasus penistaan Al-Qur’an yang
dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama terkait surah Al-Maidah ayat 51, yang
ketika itu masih menjabat sebagai gubernur. Konflik lain misalnya, kasus
penyerangan salah seorang dari ORMAS (Organisasi Masyarakat) terhadap salah seorang anggota FPI (Front Pembela
Islam) di rumah makan Ampera, usai mengawal pemeriksaan Habib Rizieq.
Kasus
tersebut tidak seharusnya terjadi di Indonesia, karena dapat merusak kesatuan
bangsa. Dan mengingat semboyan yang dimiliki Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal
Ika yang memiliki pengertian berbeda-beda, tapi tetap menjadi satu, yang
mengajarkan saling menghormati demi menjaga kesatuan.
Indonesia
adalah negara yang terdiri atas beraneka ragam suku bangsa, budaya, bahasa,
kelompok sosial dan agama, yang dari satu daerah ke daerah lain berbeda-beda.
Dengan
semakin beraneka ragamnya masyarakat dan budaya, setiap individu memiliki
keinginan yang berbeda-beda. Orang-orang dari daerah yang berbeda dengan latar
belakang yang berbeda, struktur sosial,
dan karakter yang berbeda, memiliki pandangan yang berbeda dengan cara berpikir
dalam menghadapi hidup dan masalahnya. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik
dan perpecahan yang hanya berlandaskan emosi diantara individu (Suryana, 2015:93).
Maka
dari itu, untuk mencegah terjadinya konflik tersebut perlunya dibangun
masyarakat multikultural, yakni masyarakat yang beragam, akan tetapi mampu
hidup saling menghormati, saling menghargai demi menjaga kesatuan negara
Indonesia. Yang dalam makalah ini mengacu kepada kajian perbandingan bagaimana
konsep Piagam Madinah dan Pancasila dalam membangun masyarakat multikultural.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Multikulturalisme
Wacana multikulturalisme ini kurang terwadahi dalam
ruang diskusi di masyarakat. Hal itu menyebabkan masyarakat kurang begitu yakin
dan sering kali memunculkan berbagai kontroversi dalam merumuskan seputar paham
multikulturalisme (Sulalah, 2011:4).
Multikulturalisme
adalah sebuah filosofi yang kadang-kadang ditafsirkan sebagai ideologi yang
menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan
status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah
multikulturalisme juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai
etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara (Suryana, 2015:99).
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan.
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur
(budaya), dan isme (aliran) atau paham (Mahfud, 2011:75).
Pengertian yang lebih mendalam istilah
multikulturalisme bukan hanya pengakuan terhadap budaya yang beragam saja,
melainkan juga pengakuan terhadap nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan,
organisasi, agama dan politik yang mereka anut (Suryana, 2015:99).
Menurut Irwan yang dikutip oleh Choirul, menyatakan
bahwasanya multikulturalisme adalah sebuah paham yang menekankan kesederajatan
dan kesetaraan budaya-budaya lokal dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan
eksistensi budaya yang ada (Mahfud, 2011:90).
S. Saptaatmaja yang dikutip oleh Suryana
mengemukakan bahwa multikulturalisme bertujuan untuk kerja sama, kesederajatan,
dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks (Suryana, 2015:100).
Menurut Lubis yang dikutip oleh Suryana mengemukakan
pendapatnya bahwa multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan, dan
penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan
tentang budaya etnis orang lain (Suryana, 2015:100-101).
Multikulturalisme
mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan, dan tindakan oleh masyarakat
suatu negara yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama, dan sebagainya,
tetapi memiliki cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan
memiliki kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (Suryana,
2015:101).
Dalam kamus sosiologi menyatakan bahwasanya multikulturalisme
adalah perayaan keragaman budaya dalam masyarakat, keragaman yang biasanya
dibawa melalui imigrasi (Abercrombie, 2010:360).
Multikultural
adalah paham bahwa dunia dan masyarakat terdapat adanya beragam komuniti dengan
budaya berbeda tetapi sederajat. Dua macam multikulturalisme: pertama,
multikultural deskriptif yaitu pemahaman tentang kenyataan adanya pluralitas
masyarakat dan budaya. Kedua, multikultural normatif yaitu niat untuk bersatu
dalam keanekaragaman. Latar belakang filosofis multikulturalisme adalah
masyarakat penuh dengan ketidaksamaan, tetapi sederajat, dan dapat diikat
dengan mutul respect sehingga
terbentuk satu kesatuan budaya. Perbedaan yang menonjol dan menjadi fokus
perhatian adalah ras (etnik), agama dan gender (Erawati, 2012:27).
Sebenarnya
multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks
kebangsaan dapat mengakui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik
ras, suku, etnis, agama dan lain sebagainya. Sebuah konsep yang memberikan
pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang
dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Dan bangsa yang
multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya yang ada
dapat hidup berdampingan secara damai yang ditandai oleh kesediaan untuk
menghormati budaya lain (Mahfud, 2011:91).
Dari berbagai pandangan di atas, mengenai
multikulturalisme dapat penulis simpulkan bahwasanya multikulturalisme adalah
suatu konsep yang menginginkan adanya sikap saling menghargai, toleransi,
menghormati dari seluruh keberagaman yang ada, baik itu budaya, etnis, suku,
maupun agama, yang nantinya akan menciptakan sebuah negara damai dan terhindar
dari konflik-konflik sosial. Dan dalam pengaplikasiannya diperlukan metode yang
baik.
Hasil daripada konsep ini akan melahirkan sebuah
masyarakat yang multikultural, oleh karena itu, masyarakat multikultural tidak
lepas daripada pengertian konsep multikulturalisme, yang menurut penulis
bahwasanya masyarakat multikultural adalah hasil daripada berjalannya konsep
multikulturalisme.
2.
Konsep Piagam Madinah
Rasulullah adalah seorang pemimpin yang sangat luar
biasa, akhlak beliau dan segala perlakuan beliau dalam kehidupan sehari-hari,
berdasarkan Al-Quran. Dengan demikian, beliau sangat mudah untuk memahami
bagaimana mengatasi segala permasalahan.
Hijrah Rasulullah saw ke Yastrib, yang kemudian
bernama Madinah, merupakan awal proses terbentuknya negara yang masyarakatnya
mampu hidup berdampingan, saling menghormati, dan toleransi, walaupun hidup
dalam keberagaman. Dan inipun merupakan perwujudan dari teknik beliau dalam
mengatasi kondisi sosial seperti ini.
Seperti
diketahui, saat hijrah ke Madinah Rasulullah dihadapkan dengan berbagai macam
ragam bentuk masyarakat, masyarakat yang masing-masing golongan bersikap
bermusuhan terhadap golongan lain, terdiri dari 4 golongan besar dan masyhur
saat itu. Di antaranya muslim pendatang yaitu kaum Muhajirin, muslim pribumi
(Anshar) yaitu ‘Auz dan Khazraj, umat Yahudi yang terdiri dari bani Quraizzhah,
bani Qainuqa’, bani Nadhir, dan umat Nashrani. Untuk itu, beliau perlu adanya
penataan dan pengendalian sosial dalam mengatur hubungan-hubungan antar
golongan di bidang sosial, ekonomi, politik dan agama (Al-Buthy, 1999:
1179-180).
Untuk membangun tatanan sosial antara muslim dan non
muslim di Madinah saat itu, maka beliau membuat beberapa langkah, yakni :
Pertama, membangun masjid, sebagai tempat
melaksanakan shalat dan doa-doa, yang selama ini dilarang, serta untuk
mendekatkan manusia kepada Allah dan membersihkan hati dari kotoran-kotoran
duniawi (Al-Ghazali, 2008:228). Masjid tersebut tidak sekedar sebagai tempat
untuk melakukan sholat lima waktu tetapi lebih dari itu ia adalah sebuah
kampus, tempat kaum muslimin mempelajari ajaran-ajaran Islam dan menerima
pengarahan-pengarahan, tempat bertemu dan bersatunya seluruh komponen beragam
suku (Al-Mubarakfuri, 2001:266). Dan juga sebagai tempat bermusyawarah dan
diskusi guna menyelesaikan problem umat, arena latihan bela negara dan
pengobatan kaum muslim, bahkan menjadi tempat tahanan (Shihab, 2014:511).
Selain itu semua, ia merupakan rumah tempat tinggal
sejumlah kaum faqir, dan kalangan kaum muhajir yang tidak memiliki apa-apa
(Al-Mubarakfuri, 2001:266).
Kedua,
persaudaraan muslim, mengenai hubungan antar sesama kaum muslimin, oleh
Rasulullah saw telah dibina atas dasar persaudaraan yang sempurna. Yakni
persaudaraan yang menghapuskan kata “aku”, hingga setiap orang bergerak dengan
semangat dan jiwa kemasyarakatan tanpa memandang dirinya secara terpisah dari
masyarakat (Al-Ghazali, 2008:231).
Ibnul Qayyim berkata, kemudian Rasulullah
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar di rumah Anas bin Malik.
Mereka berjumlah 90 orang, separuhnya berasal dari Muhajirin dan separuhnya
dari Anshar (Al-Mubarakfuri, 2001:267).
Dengan demikian, timbullah persaudaraan yang murni
antara kaum Anshar dan Muhajirin yang mengikat semua orang muslim menjadi satu
kesatuan yang tidak terpisahkan dan kuat bagaikan karang (Rahman, 2002:270).
Dengan persaudaraan seperti itu berarti lenyaplah
fanatisme kesukuan ala jahiliyah dan tak ada semangat pengabdian selain kepada
Islam. Runtuhlah sudah semua bentuk diskriminasi keturunan, warrna kulit dan
usul-usul kedaerahan atau kebangsaan (Al-Ghazali, 2008:231).
Ketiga, membuat perjanjian, Rasulullah telah
menetapkan aturan-aturan yang sangat toleran, yang belum dikenal di zaman yang
penuh dengan fanatisme kesukuan dan kecongkakan ras (Al-Ghazali, 2008:235).
Di Madinah bermukim juga, di samping Aus dan Khazraj
yang memeluk agama Islam, orang-orang Yahudi. Di samping mereka ada juga kaum
musyrik (Shihab, 2011:517).
Ketika
Nabi tiba di Madinah beliau menyaksikan orang-orang Yahudi telah lama bermukim
di kota itu dan hidup bersama-sama kaum musyrikin. Beliau sama sekali tidak
berencana untuk menyingkirkan mereka. Bahkan beliau dapat menerima keberagaman
orang-orang Yahudi di kota itu. Beberapa waktu kemudian beliau menawarkan
perjanjian perdamaian kepada golongan itu atas dasar kebebasan masing-masing
pihak memeluk agamanya sendiri (Al-Ghazali, 2008:235-236) yang disebut sebagai
Piagam Madinah.
Kata Madinah menunjuk kepada tempat dibuatnya
naskah. Sementara kata piagam berarti surat resmi, yang berisi pernyataan
pemberian hak, atau berisi pernyataan dan pengukuhan mengenai sesuatu (Azra,
2005:101).
Melihat proses perumusannya, Piagam Madinah adalah
sebuah dokumen politik penting yang dibuat oleh Nabi Muhammad sebagai
perjanjian antara golongan-golongan saat itu. Piagam tersebut memuat
prinsip-prinsip penting yang menjadi hak-hak mereka bagi kehidupan bersama
(Azra, 2005:101).
Adapun prinsip-prinsip dalam Piagam Madinah itu
tercantum menjadi 47 pasal (Azra, 2005:101). Oleh karena itu, disini akan
ditampilkan beberapa prinsip yang temasuk dari rangkuman 47 pasal tersebut.
Pertama, prinsip persatuan dan persaudaraan antar
keberagaman suku serta berlaku adil satu sama lain, sesuai dengan firman Allah
An-Nahl ayat 90:
إِنَّ
ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ
تَذَكَّرُونَ ٩٠
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, Allah memerintahkan kemuliaan akhlak dengan berbuat
adil di antara manusia dan berbuat baik kepada seluruh makhluk. Memberi kepada kaum kerabat, membantu
kaum kerabat. Kerabat secara khusus disebutkan agar mereka lebih diperhatikan. Dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan, Allah melarang tiap hal yang buruk, baik
ucapan, perbuatan maupun amal. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran, Allah
mengajari kalian adab berupa syariat-Nya, yaitu larangan dan perintah, agar
kalian memperoleh pelajaran dari firman Allah (Ash-Shabuni, 2011:160).
Kedua, prinsip kebebasan beragama, penetapan prinsip
ini merupakan jawaban terhadap situasi dan kondisi sosial penduduk Madinah yang
memiliki keragaman komunitas agama dan keyakinan di kota itu, sesuai dengan
firman Allah Al-Baqarah ayat 256:
لَآ
إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ
بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ
لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
256. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Ketiga, prinsip tolong-menolong antar umat muslim
dan Yahudi, sesuai dengan firman Allah Al-Maidah ayat 2:
...وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ
عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ
ٱلۡعِقَابِ ٢
2....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Keempat, prinsip perdamaian antara muslim dan
Yahudi, sesuai dengan firman Allah Al-Hujurat ayat 9-10:
وَإِن
طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ
فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي
حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ
بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ ٩
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ
ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
9. Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu
berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu
melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian
itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah
surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku
adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil
10.
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat
Kelima, prinsip saling menghormati dalam hidup
bertetangga, sesuai dengan firman Allah An-Nisaa ayat 36:
وَٱعۡبُدُواْ
ٱللَّهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي
ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ
وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ
أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا ٣٦
36. Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri
Piagam ini sangat membantu dalam memperkuat
pertahanan Madinah. Hak semua penduduk Madinah menjadi sama. Keuntungan dan
kerugian, kemenangan dan kekalahan mereka menjadi milik bersama. Semua bersatu
untuk kepentingan dan pertahanan bersama. Suku-suku yang bertetangga memahami
sepenuhnya arti penting perjanjian segitiga tersebut dan tidak ada kelompok
yang memikirkan untuk menyerang satu sama lain (Rahman, 2002: 273).
Prinsip Piagam Madinah di atas adalah rangkuman dari
berbagai pasal yang ada didalamnya. Jika dilihat lebih dalam, prinsip dalam
Piagam Madinah ini secara tidak langsung sejalan dengan apa yang dikehendaki
oleh multikulturalisme. Dengan prinsip ini Rasulullah mampu membuat masyarakat
multikultural yang mampu hidup berdampingan, saling menghormati dan toleransi
satu sama lain. Oleh karena itu menurut penulis Piagam Madinah ini adalah suatu
sumbangsih terbesar sebagai contoh dalam pembangunan masyarakat.
3.
Konsep Pancasila
Istilah pancasila pertama kali diperkenalkan pada
masa Kerajaan Majapahit oleh Empu Tantular. Pancasila berasal dari bahasa
Sansakerta, ialah bahasa kesustraan Hindu Kuno. Ia terdiri dari dua kata,
iaitu: Panca yang berarti Lima, dan Sila yang berarti dasar. Jadi, Pancasila
berarti lima dasar (Syihab, 2012:43).
Pancasila merupakan landasan idealisme Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sila-sila dalam pancasila yang merupakan kebenaran
yang hakiki perlu diwujudkan oleh bangsa Indonesia (Sumarsono, 2005:44).
Adapun sila-sila dalam pancasila adalah sebagai berikut:
Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, dalam
pancasila pada prinsipnya menegaskan bahwa bangsa Indonesia dan setiap warga
negara harus mengakui adanya tuhan. Oleh karena itu, setiap orang dapat
menyembah tuhan-nya sesuai dengan keyakinannya masing-masing (MPR, 2012:45).
Sila ini sesuai dengan firman Allah surah Al-Ikhlas ayat 1 dan Al-Baqarah ayat
256:
قُلۡ
هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ ١
1.
Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa
لَآ
إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ
بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ
لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ٢٥٦
256. Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Dengan sila pertama ini, tidak ada masyarakat yang
tidak memiliki Tuhan ataupun tidak mempercayai adanya tuhan. Layaknya PKI
(Partai Komunis Indonesia) yang anti tuhan (Tim Penyusun Puslit, 2000:22).
Dengan demikian jika PKI berkembang di Indonesia, maka perlu dipertanyakan
kepancasilaannya.
Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dalam
pancasila pada prinsipnya menegaskan bahwa kebangsaan Indonesia merupakan
bagian dari kemanusiaan universal, yang dituntut mengembangkan persaudaraan
dunia berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan dan beradab (MPR,
2012:51). Dan di sila inipun dijunjung tinggi keadilan dan akhlak yang baik.
Sesuai dengan firman Allah An-Nahl ayat 90 yang telah dijelaskan dlam konsep di
Piagam Madinah.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, pada prinsipnya
persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti
ideologis, politik, ekonomi sosial budaya dan keamanan. Persatuaan Indonesia
adalah persatuan kebangsaan Indonesia yang dibentuk atas bersatunya beragam
latar belakang sosial, budaya, politik, agama, suku, bangsa, dan ideologi yang
mendiami wilayah Indonesia bersepakat menyatakan sebagai satu bangsa, satu
tanah air, dan satu bahasa yang di dorong untuk mencapai kehidupan kebangsaan
yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat dengan satu bendera
Negara, satu bahasa Negara, satu Lambang Garuda Pancasila, serta satu lagu
kebangsaan Indonesia Raya (MPR, 2012:64). Sila ini sejalan dengan firman Allah
Al-Hujurat ayat 13:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا
وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ
إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan perwakilan, pada prinsipnya sila ini dalam
pancsila menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan terus memelihara dan
mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan.
Bangsa Indonesia akan tetap memelihara dan mengembangkan kehidupan demokrasi.
Bangsa Indonesia akan memelihara serta mengembangkan kaerifan dan kebijaksanaan
dalam bermusyawarah (MPR, 2012:68). Sesuai dengan firman Allah Asy-Syuura ayat
38:
وَٱلَّذِينَ
ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ
بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٣٨
38. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
berikan kepada mereka
Sila Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indoenesia, pada prinsipnya berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di
segala bidang kehidupan, baik material maupun spiritual bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Secara umum, keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia berarti bahwa setiap orang Indonesia mendapat perlakuan yang adil
dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Prinsip keadilan adalah inti dari moral ketuhanan,
landasan pokok perikemanusiaan, simpul persatuan, matra kedaulatan rakyat. Di
satu sisi, perwujudan keadilan sosial itu harus mencerminkan imperatif etis
keempat sila lainnya. Sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia diliputi dan dijiwai oleh sila-sila Ketuhanan yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (MPR,
2012:80-81). Sejalan dengan firman Allah Adz-Dzariyat ayat 19:
وَفِيٓ
أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ ١٩
19. Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang
meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian
4.
Komparasi Piagam Madinah dan
Pancasila
Dari penjelasan dua konsep di atas, dapat diambil
beberapa persamaan dan beberapa perbedaan, dengan kajian Komparasi. Adapun
persamaan dalam dua konsep di atas adalah:
Pertama, kedua konsep tersebut dibangun berdasarkan
untuk sama-sama membentuk masyarakat yang multikultural, yang mampu hidup
berdampingan dan saling menghormati, dengan beragamnya kondisi saat itu. Atau
bisa juga disebut membangun persatuan.
Kedua, kedua konsep tersebut sama-sama dibangun di
atas masyarakat yang beragam, baik budaya, suku, maupun agama.
Ketiga, kedua konsep tersebut sama-sama tidak
bertentangan dengan ajaran yang tercantum dalam Al-Qur’an.
Keempat, sama menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan,
keadilan, musyawarah, persatuan akhlak dan saling menghargai.
Adapun perbedaan daripada dua konsep di atas adalah:
Pertama, konsep piagam madinah dijalankan oleh
seseorang pemimpin yang mampu mengelola dengan maksimal piagam madinah tersebut.
Sedangkan Pancasila saat ini dijalankan oleh suatu lembaga tertentu yang kurang
maksimal dalam pengelolaannya, baik itu dari segi pengelolaan dalam dunia
pendidikan maupun pelaksanaannya.
Kedua, konsep piagam madinah sangat dijujung tinggi
oleh masyarakat saat itu sehingga memahami antara golongan satu sama lain. Sedangkan
Pancasila saat ini, menurut hemat penulis hanya menjadi sebuah tulisan yang
terpapar di dada burung garuda yang dikakinya mencengkram akan Bhinneka Tunggal Ika, yang tidak mempunyai nilai apapun
kecuali hanya sebuah gambar dan tulisan.
Maka dari itu, yang pertama kali dilakukan untuk membangun
masyarakat multikultural berdasarkan kajian Komparasi untuk menjalankan
pancasila sebagaimana yang dilakukan Rasulullah pada piagam Madinah adalah:
Pertama, menjadikan suatu lembaga tertentu saat ini,
mampu menjalankan serta memaksimalkan konsep pancasila tersebut, baik dari segi
pengelolaan dalam dunia pendidikan maupun pelaksanaannya.
Kedua, mengaplikasikan lagi nilai-nilai pancasila,
baik melalui proses berpikir maupun bertindak. Setidaknya sekolah dasar adalah
langkah awal untuk mengaplikasikan kembali nilai-nilai pancasila yang hampir
lenyap.
C.
Penutup
Masyarakat
multikultural adalah masyarakat yang mampu hidup berdampingan, saling
menghargai dan mengormati di atas keberagaman. Masyarakat multikultural ini
adalah buah hasil daripada multikulturalisme.
Dalam
Islam mempunyai konsep piagam madinah untuk membangun masyarakat multikultural,
sedangkan Indonesia juga mempunyai konsep pancasila untuk membangun masyarakat
multikultural juga. Akan tetapi dalam pengaplikasiannya persen keberhasilan
lebih tinggi piagam madinah dibanding pancasila.
Oleh
karena itu, untuk membangun masyarakat yang multikultural yang mengacu pada
nila-nila dari sila pancasila, perlunya mengikuti bagaimana konsep yang
dilakukan oleh Rasulullah di Madinah.
Pertama,
perlunya suatu lembaga yang mampu mengelola dan menjalankan dengan secara
maksimal.
Kedua,
perlunya mengaplikasikan nilai-nilai pancasila, agar nilai-nilai sila ini tidak
hanya sebagai tulisan maupun gambar melainkan sebuah ideologi negara yang
masyarakatnya sadar akan hal itu.
Kedua
hal di atas, merupakan kekurangan daripada metode pengaplikasian pancasila.
No comments:
Post a Comment