A. PENDAHULUAN
Berbicara
masalah tasawuf tentunya akan membahas tentang tokoh-tokoh dan ajaran-ajaran
para sufi. Begitu banyak para sufi-sufi yang terkemuka, seperti Al-Ghazali,
Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Bustami dan masih banyak lagi sufi-sufi yang terkemuka lainnya.
Akan tetapi kali ini penulis akan membahas tentang salah seorang tokoh tasawuf,
yaitu Abu Yazid Al-Bustami.
Abu
Yazid ialah putra dari Isa bin Surusyan, Abu Yazid ialah salah seorang tokoh
sufi yang terkemuka, yang memiliki ajaran tasawufnya, yaitu, fana, baqa, dan
ittihad.
Abu Yazid Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para mistikus, karena yang terlihat darinya adalah hal-hal
yang berada diluar nalar manusia biasa.[1]
Untuk
mengetahui lebih dalam lagi tentang biografi Abu Yazid dan ajaran-ajarannya,
maka penulis telah memaparkan pembahasan tentang salah seorang tokoh sufi yang
terkemuka, yaitu Abu Yazid Al-Bustami.
Semoga
dengan pemaparan makalah ini pembaca, khususnya lagi buat penulis dapat
menambah wawasan tentang biografi, ajaran-ajaran, karyanya dari salah seorang
tokoh sufi, yakni Abu Yazid Al-Bustami.
B.
PEMBAHASAN
1.
Biografi
Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin
Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Pesia) tahun 874 dan wafat
tahun 974 M.[2]
Bustam ialah suatu kota kecil di wilayah Qumis, kawasan Timur Laut Persia.[3] Nama
kecilnya adalah Taifur. Ayahnya adalah pemuka masyarakat di Bustam, sedangkan
ibunya dikenal sebagai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan).[4] Kakeknya
benama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi
pemeluk islam di Bustam. Keluaga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi
ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid
mempunyai kelainan. Menurut ibunya, bayi yang ada di dalam kandungannya akan
memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan
kehalalannya.[5]
Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang
taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara
teratur mengirimnya ke mesjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. setelah besar, ia
melanjutkan pendidikannya ke berbagai
daerah. Ia belajar agama menurut madzhab
Hanafi.[6]
Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid
juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti
perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan
suatu ayat dari surah Luqman, ”Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua
orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudain berhenti
belajar dan menuju rumah untuk menemui ibunya. Ini suatu gambaran bagaimana ia
memenuhi setiap panggilan Allah.[7]
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang
sufi membutuhkan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai
seorang sufi, ia telebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari mazhab Hanafi.
Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan
ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.[8]
Abu Yazid tidak meniggalkan karangan yang
dapat dipelajari, namun demikian ajaran-ajarannya tersebar melalui lisan
murid-muridya. Salah satu sumber penting adalah kitab yang berjudul Al-Nur
Min Kalimat Abi Thaifur karangan Al-Sahlaji, tetapi sayang tidak sampai
kepada kita.[9]
Abu Yazid adalah seorang Zahid yang
terkenal. Baginya zahid itu adalah seseorang yang telah menyediakan dirinya
untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu
zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhada selain
Allah.dalam fase terakhir ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan
dirinya tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah.[10]
Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13
tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur,
makan dan minum yang sedikit sekali.[11]
Dalam buku Ajaran dan Taladan Para Sufi,
menyatakan bahwa Abu Yazid menjalani selama 30 tahun ia berkelana di padang
pasir Syria, hidup dengan zuhud, sedikit makan, sedikit minum, da sedikit
tidur.[12]
Abu yazid hidup dalam keluarga yang taat
beragama, ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam
termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid. Dalam sejarah
perkembangan tasawuf, Abu yazid dianggap sebagai pembawa paham al-fana
dan al-baqa dan sekaligus pencetus paham ittihad.[13]
Abu Yazid meniggal dunia di Bustham pada
tahun 974 M dan dimakamkan di sana.[14]
Hingga kini makamnya masih ada dan banyak diziarahi orang. Di antara
orang-orang yang pernah mengunjung makamnya adalah Al-Hujjwiri, penulis kitab Kasyf
al-mahjub.[15]
2.
Guru-Guru
Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid telah mencari ilmu ke berbagai
pelosok negeri selama 30 tahun dan memiliki 113 guru.[16]
Salah seorang gurunya yang terkenal ialah Abu Ali As-Sindi.[17]
3.
Karya-Karya
Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid tidak meninggalkan karya tulis,
tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pemahaman
tasawwufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa
kitab tasawwuf klasik, seperti ar-Risalah
al-Qusyairiyyah (Risalah Qusyairiyah), Tabaqat as-Sufiyyah (tingkatan-tingkatan
sufi), Kasyf al-Mahjub (menyingkap tabir), Tazkirah al-Auliya (peringatan para
wali), dan al-Luma (yang cemerlang). Di antara ungkapannya disebut oleh kalangan
sufi dengan istilah satahat, yaitu
ungkapan sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad (kesatuan dengan Allah
SWT).[18]
4.
Ajaran
Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
a.
Fana
& Baqa
Ajaran tasawuf terpenting Abu Yazid adalah fana dan baqa.
Dari segi bahasa, fana berasal
dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf,
fana adakalnya diartikan sebagai
keadaan moral yang luhur. Abu Bakar Al-Kalabdzi (w.378 H/988 M) mendefinisikan fana
sebagai, hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih
dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan
dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua
kepentingan ketika berbuat sesuatu.[19]
Adapun baqa berasal dari kata baqiya, dari segi
bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan
sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa tidak dapat dipisahkan
dengan paham fana. Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika
seorang sufi sedang mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa.
Adapun
menurut pendapat lain bahwasanya fana adalah hilang, hancur. Sehingga
dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri bagi
seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.[20]
Baqa artinya tetap, terus
hidup. Jadi baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam
penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah.[21]
Dalam
menerangkan kaitan antara fana dan baqa, Al-Qusyairi menyatakan,
”barang siapa meninggalkan
perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana dari syahwatnya.
Tatkala fana dari syahwatnya, ia baqa dalam niat dan keikhlasan
ibadah;... Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, maka ia sedang fana
dari keinginannya, berarti pula sedang baqa dalam ketulusan
inabahnya...”[22]
Pencapaian
Abu Yazid ke tahap fana terjadi setelah meninggalkan segala keinginan
selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya,
“Setelah Allah menyaksikan kesucian
hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan
keridaan-Nya. Mintalah kepada-Ku semua
yang kau inginkan, kata-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena
engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan
melalui Engkau, aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu.”[23]
Jalan menuju fana’ menurut Abu
Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya
agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan
kemarilah.” Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada
salah satu ucapannya.
Melalui konsep fana dan baqa,
seorang sufi meningkat dalam tajrid fana fit tauhid dan tidak ada lagi
kecuali al-wahidul ahad, tenggelam dan sirna dalam keesaan ilahi. Dalam keadaan
demikian, Abu Yazid berkata: “Menjadilah sifatku sifat rububiyah, lidahku
adalah lisan tauhid dan isyaratku adalah isyarat keabadian”. Abu Yazid semakin
jauh dan mendalam ke dalam lautan fana, hingga menyatu dengan Tuhan (Ittihad)
dengan kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathatat).
Ucapan-ucapan yang bersifat syathatat diucapkan oleh Abu Yazid: “Tidak ada
Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.[24]
Syathatat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai
berada di pintu gerbang ittihad.[25]
Keadaan Abu Yazid dan ucapan-ucapannya
itu menimbulkan berbagai tanggapan. Zunnu Al-Mishri mengutus sahabatnya untuk
menemui Abu Yazid. Ketika utusa itu sampai, diketuklah pitu rumah Abu Yazid.
Terjadilah percakapan antara tamu dengan Abu Yazid:
Abu Yazid: Siapa di luar?
Tamu : Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid
Abu Yazid: Abu Yazid siapa? Di mana
dia? Saya pun mencari Abu Yazid.[26]
Rombongan tamu itu pun pulang dan
memberitahukan kepada Zunnun. Mendengar keterangan itu Zunnu berkata:
“Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana”.[27]
Kalangan sufi berbeda pendapat, ada
yang berusaha untuk memberi penafsiran hingga sesuai dengan tasawuf yang lazim
seperti Abdul Qodir Jailani, Al-Sarraj Al-Thusi dan Junaid Al-Baghdadi, yang
menolak dan tidak membenarkannya seperti Ibnu Jauzi dan Ibnu Salim. Kalagan
sufi ada juga yag tidak yakin ajaran-ajaran itu berasal dari Abu Yazid, seperti
Syaihul Islam Abdullah Al-Ashari dan Imam Zahabi. Al Sahlaji memperingatkan
agar orang berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan antara pendapat Abu Yazid
dan pendapat yang lain yang merupakan pendapat sendiri tetapi dinisbahkan
kepadanya. Adapun Al-Jurjani berusaha membiarkan apa yang dikemukakan oleh Abu
Yazid dan melarang membicarakannya kecuali bagi mereka yang sudah berada setara
dengan maqam Abu Yazid.[28]
b.
Ittihad
Ittihad adalah tahapan
selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana dan baqa.[29]
Jika tahap baqa telah tercapai, maka dengan sendirinya tercapai pula
tahap ittihad.[30] Ittihad
artinya bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan.
Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang
dicintai telah menjadi satu. Kemudian salah satu dari mereka dapat memanggil
yang satu lagi dengan perkataan: Hai aku.[31]
Dalam keadaan demikian, maka penunjukan antara ia dengan yang lain adalah sama.
Lebih lanjut disebutkan, bahwa segala sesuatu yang ada ini dilihat sebagai
wujud yang satu itu sendiri. Pada saat itu, maka yang dilihat bahwa wujud hamba
adalah wujud Tuhan itu sendiri, demikian pula sebaliknya.[32]
A. R. Al-Badawi berpendapat bahwa di
dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua
wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat
dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara
yang mencintai dan yang dicintai (sufi dan Tuhan). Dalam ittihad
“identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Hal ini bisa terjadi
karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran lagi dan
berbicara dengan nama Tuhan.[33]
A. Nicholson mendefinisikan ittihad
sebagai “identiknya sifat manusia dengan sifat Tuhan”. Apabila seorang sufi
telah mencapai tingkatan ini, maka ada kemungkinan dia akan mengeluarkan
ucapan-ucapan yang ganjil (syathatat), dan biasanya tidak dapat diterima oleh
kaum muslimin biasa.[34]
Dari ucapannya yang ganjil adalah :
سُبْحَانِى
سُبْحَانِى مَااَعْظَمَ شَأْنِى
Artinya: “Maha
Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”[35]
أِنِّي
أَنَااللهُ لاَأِلَهَ أِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِيْ
Artinya: “Tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku”.[36]
فَأَنْتَ
وَ أَأَنَاأَنْتَ : يَأأَبَأيَزِيْدَ أِنَّهُمْ كُلُّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ
فَقُلْتُ
Artinya: “Tuhan
Berkata, “Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau
adalah aku dan aku adalah Engkau.”[37]
Abu Yazid oun
berkata lagi, yang artinya: “Konvensasi pun terputus, kata menjadi satu,
bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun-dengan
perantaraan-Nya menjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engkau
adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”[38]
Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas
memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Sebenarnya apa yang dikatakan
oleh Abu Yazid ialah bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai Tuhan, akan tetapi
kata-kata itu adalah suara tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang
sedang dalam keadaan fana’an nafs. Abu Yazid tidak mengkaui dirinya sebagai
Tuhan seperti Fir’aun. Proses ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa
manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu
dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang
satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri,
karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.[39]
Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi
satu. Sufi yang bersangkutan, karena fananya tak mempunyai kesadaran lagi dan
berbicara dengan nama Tuhan.[40]
C.
PENUTUP
Jadi,
Abu Yazid Al-Bustami ialah salah seorang tokoh sufi yang memiliki tiga ajaran
tasawuf, yakni: fana, baqa, dan ittihad. fana merupakan proses
menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Baqa artinya
tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana
dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah. Ittihad artinya
bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Beliau
tidak meninggalkan karya. Abu Yazid mempunyai 113 orang guru, salah seorang
gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
As, Asmaran, pengantar studi
tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002.
Rifa’i, Bachrun & Mud’is, Hasan,
Filsafat Tasawuf, Bandung,
Pustaka Setia, 2010.
Sholihin, M. & Anwar, Rosihon,
Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Mansur, H. M. Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta:
RajaGrafindo, 2002.
Mustofa, H. A, Akhlak Tasawuf, Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
Nasution, H. Ahmad Bangun &
Siregar, Hj. Royani Hanum, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan
Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 185
Rusli, Ris’an, Tasawuf dan
Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013.
B.
Internet
http://filsafatcoy.blogspot.co.id/2013/05/abu-yazid-al-bustami-dan-al-hallaj.html.
http://farhanfuadi19.blogspot.co.id/2013/01/biografi-imam-al-ghazali-dan-abu- yazid.html.
[2] M.
Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008, hal. 159
[3] Ris’an
Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013, hal. 87
[4] H. Ahmad Bangun Nasution & Hj.
Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan
Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 178
[5] M.
Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008, hal. 159
[6] Bachrun
Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia,
2010, hal. 98
[7] M.
Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008, hal. 159
[8] Ibid.
[9] H. M.
Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002,
hal. 85
[10] Asmaran,
As, pengantar studi tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002, hal. 296
[11] Bachrun
Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia,
2010, hal. 98
[12] H. M.
Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002,
hal. 85
[13] Bachrun
Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia,
2010, hal. 98
[14] H. M.
Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002,
hal. 88
[15] Ris’an
Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013, hal. 99
[16] https://books.google.co.id/books?id=pO2pCgAAQBAJ&pg=PA79&lpg=PA79&dq=salah+seorang+guru+abu+yazid&source diakses 5/4/2016 pukul 5:48 WIB
[17] M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 159
[18] H.
Ahmad Bangun Nasution & Hj. Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf:
Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013, hal. 186
[19] M.
Sholihin & Rosihon Anwar, ilmu tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008, hal. 160
[20] H. A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 259
[21] M.
Sholihin & Rosihon Anwar, ilmu tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008, hal. 160
[22] Ibid.,
hal. 161
[23] Ibid.
[24] H. M.
Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002,
hal. 87
[25] M.
Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008, hal. 162
[26] H. M.
Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002,
hal. 87
[27] Ibid.
[28] Ibid.,
hal.87-88
[29] M.
Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008, hal. 161
[30] Ris’an
Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013, hal. 96
[31] H. A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 269
[32] Ris’an
Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013, hal. 96
[33] H. A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 269
[34] Ris’an
Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013, hal. 96
[35] H. A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 272
[36] M.
Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia,
2008, hal. 163-164
[37] H. Ahmad Bangun Nasution & Hj.
Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan
Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 185
[38] Ibid.
[39] Ibid., hal. 186
[40] Ibid., hal. 183
No comments:
Post a Comment