Thursday, February 21, 2019

Abu Yazid Al-Busthami, Karya, Guru, Murid, dan Ajaran Tasawufnya



   A.  PENDAHULUAN
Berbicara masalah tasawuf tentunya akan membahas tentang tokoh-tokoh dan ajaran-ajaran para sufi. Begitu banyak para sufi-sufi yang terkemuka, seperti Al-Ghazali, Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Bustami dan masih banyak lagi sufi-sufi yang terkemuka lainnya. Akan tetapi kali ini penulis akan membahas tentang salah seorang tokoh tasawuf, yaitu Abu Yazid Al-Bustami.
      Abu Yazid ialah putra dari Isa bin Surusyan, Abu Yazid ialah salah seorang tokoh sufi yang terkemuka, yang memiliki ajaran tasawufnya, yaitu, fana, baqa, dan ittihad.
       Abu Yazid Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para mistikus, karena yang terlihat darinya adalah hal-hal yang berada diluar nalar manusia biasa.[1]
     Untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang biografi Abu Yazid dan ajaran-ajarannya, maka penulis telah memaparkan pembahasan tentang salah seorang tokoh sufi yang terkemuka, yaitu Abu Yazid Al-Bustami.
       Semoga dengan pemaparan makalah ini pembaca, khususnya lagi buat penulis dapat menambah wawasan tentang biografi, ajaran-ajaran, karyanya dari salah seorang tokoh sufi, yakni Abu Yazid Al-Bustami.
  
  B.     PEMBAHASAN

1.      Biografi Abu Yazid Al-Bustami
        Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Pesia) tahun 874 dan wafat tahun 974 M.[2] Bustam ialah suatu kota kecil di wilayah Qumis, kawasan Timur Laut Persia.[3] Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya adalah pemuka masyarakat di Bustam, sedangkan ibunya dikenal sebagai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan).[4] Kakeknya benama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk islam di Bustam. Keluaga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid mempunyai kelainan. Menurut ibunya, bayi yang ada di dalam kandungannya akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.[5]
       Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke mesjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. setelah besar, ia melanjutkan  pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut madzhab  Hanafi.[6]
       Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surah Luqman, ”Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudain berhenti belajar dan menuju rumah untuk menemui ibunya. Ini suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.[7]
       Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi membutuhkan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia telebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.[8]
       Abu Yazid tidak meniggalkan karangan yang dapat dipelajari, namun demikian ajaran-ajarannya tersebar melalui lisan murid-muridya. Salah satu sumber penting adalah kitab yang berjudul Al-Nur Min Kalimat Abi Thaifur karangan Al-Sahlaji, tetapi sayang tidak sampai kepada kita.[9]
       Abu Yazid adalah seorang Zahid yang terkenal. Baginya zahid itu adalah seseorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhada selain Allah.dalam fase terakhir ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah.[10]
       Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan dan minum yang sedikit sekali.[11]
       Dalam buku Ajaran dan Taladan Para Sufi, menyatakan bahwa Abu Yazid menjalani selama 30 tahun ia berkelana di padang pasir Syria, hidup dengan zuhud, sedikit makan, sedikit minum, da sedikit tidur.[12]
       Abu yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid. Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu yazid dianggap sebagai pembawa paham al-fana dan al-baqa dan sekaligus pencetus paham ittihad.[13]
       Abu Yazid meniggal dunia di Bustham pada tahun 974 M dan dimakamkan di sana.[14] Hingga kini makamnya masih ada dan banyak diziarahi orang. Di antara orang-orang yang pernah mengunjung makamnya adalah Al-Hujjwiri, penulis kitab Kasyf al-mahjub.[15]
2.      Guru-Guru Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid telah mencari ilmu ke berbagai pelosok negeri selama 30 tahun dan memiliki 113 guru.[16] Salah seorang gurunya yang terkenal ialah Abu Ali As-Sindi.[17]

3.      Karya-Karya Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pemahaman tasawwufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawwuf klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah (Risalah Qusyairiyah), Tabaqat as-Sufiyyah (tingkatan-tingkatan sufi), Kasyf al-Mahjub (menyingkap tabir), Tazkirah al-Auliya (peringatan para wali), dan al-Luma (yang cemerlang). Di antara ungkapannya disebut oleh kalangan sufi dengan istilah satahat, yaitu ungkapan sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad (kesatuan dengan Allah SWT).[18]

4.      Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
a.       Fana & Baqa
Ajaran tasawuf terpenting  Abu Yazid adalah fana dan baqa. Dari segi bahasa,  fana berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana  adakalnya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Abu Bakar Al-Kalabdzi (w.378 H/988 M) mendefinisikan fana sebagai, hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[19]
       Adapun baqa  berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana. Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa.
       Adapun menurut pendapat lain bahwasanya fana adalah hilang, hancur. Sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.[20]
       Baqa artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah.[21]
        Dalam menerangkan kaitan antara fana dan baqa, Al-Qusyairi menyatakan,
      ”barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana dari syahwatnya. Tatkala fana dari syahwatnya, ia baqa dalam niat dan keikhlasan ibadah;... Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, maka ia sedang fana dari keinginannya, berarti pula sedang baqa dalam ketulusan inabahnya...”[22]
       Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya,
         “Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya.  Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu.”[23]
       Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya.
       Melalui konsep fana dan baqa, seorang sufi meningkat dalam tajrid fana fit tauhid dan tidak ada lagi kecuali al-wahidul ahad, tenggelam dan sirna dalam keesaan ilahi. Dalam keadaan demikian, Abu Yazid berkata: “Menjadilah sifatku sifat rububiyah, lidahku adalah lisan tauhid dan isyaratku adalah isyarat keabadian”. Abu Yazid semakin jauh dan mendalam ke dalam lautan fana, hingga menyatu dengan Tuhan (Ittihad) dengan kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathatat). Ucapan-ucapan yang bersifat syathatat diucapkan oleh Abu Yazid: “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.[24] Syathatat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.[25]
       Keadaan Abu Yazid dan ucapan-ucapannya itu menimbulkan berbagai tanggapan. Zunnu Al-Mishri mengutus sahabatnya untuk menemui Abu Yazid. Ketika utusa itu sampai, diketuklah pitu rumah Abu Yazid. Terjadilah percakapan antara tamu dengan Abu Yazid:
          Abu Yazid: Siapa di luar?
          Tamu         : Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid
         Abu Yazid: Abu Yazid siapa? Di mana dia? Saya pun mencari Abu                                Yazid.[26]
       Rombongan tamu itu pun pulang dan memberitahukan kepada Zunnun. Mendengar keterangan itu Zunnu berkata: “Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana”.[27]
         Kalangan sufi berbeda pendapat, ada yang berusaha untuk memberi penafsiran hingga sesuai dengan tasawuf yang lazim seperti Abdul Qodir Jailani, Al-Sarraj Al-Thusi dan Junaid Al-Baghdadi, yang menolak dan tidak membenarkannya seperti Ibnu Jauzi dan Ibnu Salim. Kalagan sufi ada juga yag tidak yakin ajaran-ajaran itu berasal dari Abu Yazid, seperti Syaihul Islam Abdullah Al-Ashari dan Imam Zahabi. Al Sahlaji memperingatkan agar orang berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan antara pendapat Abu Yazid dan pendapat yang lain yang merupakan pendapat sendiri tetapi dinisbahkan kepadanya. Adapun Al-Jurjani berusaha membiarkan apa yang dikemukakan oleh Abu Yazid dan melarang membicarakannya kecuali bagi mereka yang sudah berada setara dengan maqam Abu Yazid.[28]

b.      Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana dan baqa.[29] Jika tahap baqa telah tercapai, maka dengan sendirinya tercapai pula tahap ittihad.[30] Ittihad artinya bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Kemudian salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan: Hai aku.[31] Dalam keadaan demikian, maka penunjukan antara ia dengan yang lain adalah sama. Lebih lanjut disebutkan, bahwa segala sesuatu yang ada ini dilihat sebagai wujud yang satu itu sendiri. Pada saat itu, maka yang dilihat bahwa wujud hamba adalah wujud Tuhan itu sendiri, demikian pula sebaliknya.[32]
       A. R. Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai (sufi dan Tuhan). Dalam ittihad “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Hal ini bisa terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.[33]
       A. Nicholson mendefinisikan ittihad sebagai “identiknya sifat manusia dengan sifat Tuhan”. Apabila seorang sufi telah mencapai tingkatan ini, maka ada kemungkinan dia akan mengeluarkan ucapan-ucapan yang ganjil (syathatat), dan biasanya tidak dapat diterima oleh kaum muslimin biasa.[34]

          Dari ucapannya yang ganjil adalah :
سُبْحَانِى سُبْحَانِى مَااَعْظَمَ شَأْنِى
Artinya: “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”[35]
أِنِّي أَنَااللهُ لاَأِلَهَ أِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِيْ
Artinya: “Tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku”.[36]
فَأَنْتَ وَ أَأَنَاأَنْتَ : يَأأَبَأيَزِيْدَ أِنَّهُمْ كُلُّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ فَقُلْتُ
Artinya: “Tuhan Berkata, “Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[37]
            Abu Yazid oun berkata lagi, yang artinya: “Konvensasi pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun-dengan perantaraan-Nya menjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engkau adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”[38]           
       Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid ialah bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai Tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. Abu Yazid tidak mengkaui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.[39]          
       Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fananya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.[40]
  
   C.    PENUTUP
            Jadi, Abu Yazid Al-Bustami ialah salah seorang tokoh sufi yang memiliki tiga ajaran tasawuf, yakni: fana, baqa, dan ittihad. fana merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Baqa artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah. Ittihad artinya bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Beliau tidak meninggalkan karya. Abu Yazid mempunyai 113 orang guru, salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi.




DAFTAR PUSTAKA
  A.    Buku

As, Asmaran, pengantar studi tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002.

Rifa’i, Bachrun & Mud’is, Hasan,  Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2010.

Sholihin, M. & Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Mansur, H. M. Laily,  Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002.

Mustofa, H. A, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Nasution, H. Ahmad Bangun & Siregar, Hj. Royani Hanum, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 185

Rusli, Ris’an, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi,            Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

   B.     Internet

http://filsafatcoy.blogspot.co.id/2013/05/abu-yazid-al-bustami-dan-al-hallaj.html.
http://farhanfuadi19.blogspot.co.id/2013/01/biografi-imam-al-ghazali-dan-abu-       yazid.html.
                                                                                                                                                          



[2]               M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 159
[3]               Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 87
[4]               H. Ahmad Bangun Nasution & Hj. Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 178
[5]               M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 159
[6]               Bachrun Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hal. 98
[7]               M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 159
[8]               Ibid.
[9]               H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 85
[10]             Asmaran, As, pengantar studi tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002, hal. 296
[11]             Bachrun Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hal. 98
[12]             H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 85
[13]             Bachrun Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hal. 98
[14]             H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 88
[15]             Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 99
[17]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 159
[18]             H. Ahmad Bangun Nasution & Hj. Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 186
[19]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, ilmu tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 160
[20]             H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 259
[21]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, ilmu tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 160
[22]             Ibid., hal. 161
[23]             Ibid.
[24]             H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 87
[25]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 162
[26]             H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 87
[27]             Ibid.
[28]             Ibid., hal.87-88
[29]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 161
[30]             Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 96
[31]             H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 269
[32]             Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 96
[33]             H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 269
[34]             Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 96
[35]             H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 272
[36]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 163-164
[37]             H. Ahmad Bangun Nasution & Hj. Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 185
[38]             Ibid.
[39]             Ibid., hal. 186
[40]             Ibid., hal. 183

No comments:

Post a Comment