Friday, May 20, 2016

Tafsir Ibnu Katsir dan Biografinya



  A.    Biografi
            Beliau adalah pengarang tafsir Ibnu Kasir yang mempunyai nama lengkap I’mad al-Din Isma’il ibn ‘Umar ibn Kasir al-Quraisyqi. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Abu al-Fida’. Ia lahir di Basrah tahun 700 H/1300 M.
            Dalam bidang hadits, ia banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz. Ia memperoleh ijazah dari al-Wani. Ia juga dididik oleh pakar hadits terkenal di Suriah yakni Jamal ad-Din al-Mizzi (w, 742 H/ 1342 M), yang kemudian menjadi mertuanya sendiri. Dalam waktu yang cukup lama, ia hidup di Suriah sebagai orang yang sederhana dan tidak terkenal. Popularitasnya dimulai ketika ia terlibat dalam penelitian untuk menetapkan hukuman terhadap seorang zindiq yang didakwa menganut paham hulul (inkarnasi). Penelitian ini diprakarsai oleh Gubernur Suriah, Altunbuga al-Nasiri di akhir tahun 741 H/ 1341 M.
            Pada tahun 748 H/ 1341 M ia menggantikan gurunya Muhammad ibn Muhammad al-Zahabi (1284-1348 M) di sebuah lembaga pendidikan Turba Umm Salih. Selanjutnya ia juga diangkat menjadi kepala lembaga pendidikan hadits di Dar al-Hadits al-Asyrafiyah setelah  Hakim Taqiuddin al-Subki wafat yaitu kepala terdahulu yang ia gantikan. Kemudian di tahun 768 H/ 1366 M ia diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Buga di Masjid Umayah Damaskus.
Selain itu, Dalam al-Mu’jam Imam Dzahabi megungkapkan tentang Ibnu Katsir, “ adalah seorang imam, mufti, pakar hadits. Spesialis fiqih, ahli hadist yang cermat dan mufassir yang kritis”.[1]
  B.     Karya-Karya
            Karya-karyanya adalah Tafsîr al-Qur`an al-azhîm, al-Bidâyah wa al-nihâyah, al-Takmîl fî makrifati al_tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil, al-Hadyu wa al-sunan fî ahâdits al-masânid wa al-sunan atau  yang mashur dengan istilah jâmi’ al-masânid, “al-Kawakib al-darari,Tafsir al-Qur’an al-ijtihad fi Talab al-Jihad, al-Wahid al-Nafis fi Manaqibil Imam Muhammad ibn Idris (Imam as-Syafi’i), al-Sîrah al-nabawiyah, Qasas al-Anbiya, al-Bidayah wa al-Nihayah, Al-Fusul FI Sirah al-Rasul, Tabaqat al-Syafi’iyah, Manaqib al-Imam al-Syafi’I.[2]
  C.    Metodologi Tafsir dan Corak Penafsiran
            Kitab ini dapat dikaegorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-laun wa al-ittijah) tafsir bi al-ma’sur atau tafsir bi al-riwayah. Ini terbukti karena beliau sangat dominan dalam tafsirannya memakai riwayah atau hadits, dan pendapat sahabat dan tabi’in. Dapat dikatakan bahwa dalam tafsir ini yang paling dominan ialah pendekatan normatif historis yang berbasis utama kepada hadits atau riwayah. Namun Ibnu Kasir pun terkadang menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat.[3]
            Adapun manhaj yang ditempuh oleh Ibnu Kasir dalam menafsirkan al-Qur’an dapat dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Kategori ini dikarenakan penafsinya ayat demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf al-Qur’an. Meski demikian, metode penafsiran kitab ini pun dapat dikatakan semi tematik (maudu’i), karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokkan ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu tempat baik satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya yang terkait untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.[4]
        Jelas bahwa metode penafsiran Ibnu Kasir tersebut ia aplikasikan dengan langkah-langkah penafsiran yang dianggapnya paling baik (ahsanul turuq al-tafsir). Secara garis besar langkah-langkah yang ditempuh Ibnu Kasir adalah; pertama, menyebutkan ayat yang ditafsirkannya, kemudian ia tafsirkan dengan bahasa yang mudah dan ringkas. Jika dimungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut dengan ayat lain. Kemudian membandingkannya sehingga maksudnya menjadi jelas. Seperti halnya ketika ia menafsirkan kalimat هدى للمتقين (al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa) ia menafsirkan ayat ini dengan ayat 44 dari surat al-fushilat, ayat 82 dari surat al-Isra’ dan ayat 85 dari surat Yunus. Kedua,  mengemukakan berbagai hadits atau riwayat yang disandarkan kepada Nabi SAW (marfu’) yang berhubungan dengan ayat yang ia tafsirkan. Bukan sekedar mengemukakan haditsnya saja, melainkan ia juga mengemukakan pendapat para sahabat, tabi’in dan para ulama’ salaf. Misalnya, ketika ia menampilkan banyak hadits untuk menjelaskan kata ghibah dalam ayat ولا يعتب بعضكم بعضا , ia menegaskannya dengan hadits Nabi yaitu  ذكرك أخاك بما يكره (kamu membicarakan saudaramu, dengan perkataan yang tidak disenanginya). Ketiga, mengemukakan berbagai macam pendapat mufasir atau ulama’ sebelumnya. Terkadang ia menentukan pendapat yang paling kuat diantara pendapat para ulama’ yang dikutipnya, misalnya yang ia kutip dari berbagai pendapat yang menyangkut berbagai aspek, seperti kebahasaan, teologi, hukum, kisah/sejarah. Namun, dari sekian banyak pendapat ulama yang ia kutip, yang paling sering adalah pendapat Ibn Jarir at-Thabari. Ia sangat banyak mengutip riwayat-riwayat dari periwayatan al-Thabari lengkap dengan sanadnya. Ia pun sering mengkritik atau menilai kualitas hadis yang dikutipnya itu. Dengan demikian, secra substansial Ibnu Katsir telah melakukan perbandingan penafsiran.[5]


[1]         Hamim, Ilyas, studi kitab tafsir, Yogyakarta:  TH Press, 2004, hal. 132-133
[2]         Ibid., hal. 133-134
[3]         Ibid., hal. 137-138
[4]         Ibid., hal. 138
[5]         Ibid., hal 138-142

No comments:

Post a Comment