A.
Biografi
Beliau adalah
pengarang tafsir Ibnu Kasir yang mempunyai nama lengkap I’mad al-Din Isma’il
ibn ‘Umar ibn Kasir al-Quraisyqi. Ia biasa dipanggil dengan sebutan Abu al-Fida’.
Ia lahir di Basrah tahun 700 H/1300 M.
Dalam
bidang hadits, ia banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz. Ia memperoleh ijazah
dari al-Wani. Ia juga dididik oleh pakar hadits terkenal di Suriah yakni Jamal
ad-Din al-Mizzi (w, 742 H/ 1342 M), yang kemudian menjadi mertuanya sendiri.
Dalam waktu yang cukup lama, ia hidup di Suriah sebagai orang yang sederhana
dan tidak terkenal. Popularitasnya dimulai ketika ia terlibat dalam penelitian
untuk menetapkan hukuman terhadap seorang zindiq yang didakwa menganut paham
hulul (inkarnasi). Penelitian ini diprakarsai oleh Gubernur Suriah, Altunbuga
al-Nasiri di akhir tahun 741 H/ 1341 M.
Pada
tahun 748 H/ 1341 M ia menggantikan gurunya Muhammad ibn Muhammad al-Zahabi
(1284-1348 M) di sebuah lembaga pendidikan Turba Umm Salih. Selanjutnya ia juga
diangkat menjadi kepala lembaga pendidikan hadits di Dar al-Hadits
al-Asyrafiyah setelah Hakim Taqiuddin
al-Subki wafat yaitu kepala terdahulu yang ia gantikan. Kemudian di tahun 768
H/ 1366 M ia diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Buga di Masjid
Umayah Damaskus.
Selain itu, Dalam al-Mu’jam Imam Dzahabi
megungkapkan tentang Ibnu Katsir, “ adalah seorang imam, mufti, pakar hadits.
Spesialis fiqih, ahli hadist yang cermat dan mufassir yang kritis”.[1]
B.
Karya-Karya
Karya-karyanya
adalah Tafsîr al-Qur`an al-azhîm, al-Bidâyah wa al-nihâyah, al-Takmîl fî
makrifati al_tsiqât wa al-dlu’afâ` wa- al majâhil, al-Hadyu wa al-sunan fî ahâdits
al-masânid wa al-sunan atau yang mashur
dengan istilah jâmi’ al-masânid, “al-Kawakib al-darari,Tafsir al-Qur’an
al-ijtihad fi Talab al-Jihad, al-Wahid al-Nafis fi Manaqibil Imam Muhammad ibn
Idris (Imam as-Syafi’i), al-Sîrah al-nabawiyah, Qasas al-Anbiya, al-Bidayah wa
al-Nihayah, Al-Fusul FI Sirah al-Rasul, Tabaqat al-Syafi’iyah, Manaqib al-Imam
al-Syafi’I.[2]
C.
Metodologi Tafsir dan Corak Penafsiran
Kitab ini dapat
dikaegorikan sebagai salah satu kitab tafsir dengan corak dan orientasi (al-laun
wa al-ittijah) tafsir bi al-ma’sur atau tafsir bi al-riwayah.
Ini terbukti karena beliau sangat dominan dalam tafsirannya memakai riwayah
atau hadits, dan pendapat sahabat dan tabi’in. Dapat dikatakan bahwa dalam
tafsir ini yang paling dominan ialah pendekatan normatif historis yang
berbasis utama kepada hadits atau riwayah. Namun Ibnu Kasir pun terkadang
menggunakan rasio atau penalaran ketika menafsirkan ayat.[3]
Adapun
manhaj yang ditempuh oleh Ibnu Kasir dalam menafsirkan al-Qur’an dapat
dikategorikan sebagai manhaj tahlili (metode analitis). Kategori ini
dikarenakan penafsinya ayat demi ayat secara analitis menurut urutan mushaf
al-Qur’an. Meski demikian, metode penafsiran kitab ini pun dapat dikatakan semi
tematik (maudu’i), karena ketika menafsirkan ayat ia mengelompokkan
ayat-ayat yang masih dalam satu konteks pembicaraan ke dalam satu tempat baik
satu atau beberapa ayat, kemudian ia menampilkan ayat-ayat lainnya yang terkait
untuk menjelaskan ayat yang sedang ditafsirkan itu.[4]
Jelas bahwa metode penafsiran Ibnu Kasir
tersebut ia aplikasikan dengan langkah-langkah penafsiran yang dianggapnya
paling baik (ahsanul turuq al-tafsir). Secara garis besar
langkah-langkah yang ditempuh Ibnu Kasir adalah; pertama, menyebutkan
ayat yang ditafsirkannya, kemudian ia tafsirkan dengan bahasa yang mudah dan
ringkas. Jika dimungkinkan, ia menjelaskan ayat tersebut dengan ayat lain.
Kemudian membandingkannya sehingga maksudnya menjadi jelas. Seperti halnya
ketika ia menafsirkan kalimat هدى للمتقين (al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa) ia menafsirkan ayat
ini dengan ayat 44 dari surat al-fushilat, ayat 82 dari surat
al-Isra’ dan ayat 85 dari surat Yunus. Kedua, mengemukakan berbagai hadits atau riwayat
yang disandarkan kepada Nabi SAW (marfu’) yang berhubungan dengan ayat
yang ia tafsirkan. Bukan sekedar mengemukakan haditsnya saja, melainkan ia juga
mengemukakan pendapat para sahabat, tabi’in dan para ulama’ salaf. Misalnya,
ketika ia menampilkan banyak hadits untuk menjelaskan kata ghibah dalam ayat ولا يعتب بعضكم بعضا , ia menegaskannya dengan
hadits Nabi yaitu ذكرك أخاك بما يكره (kamu membicarakan
saudaramu, dengan perkataan yang tidak disenanginya). Ketiga,
mengemukakan berbagai macam pendapat mufasir atau ulama’ sebelumnya. Terkadang
ia menentukan pendapat yang paling kuat diantara pendapat para ulama’ yang
dikutipnya, misalnya yang ia kutip dari berbagai pendapat yang menyangkut
berbagai aspek, seperti kebahasaan, teologi, hukum, kisah/sejarah. Namun, dari
sekian banyak pendapat ulama yang ia kutip, yang paling sering adalah pendapat
Ibn Jarir at-Thabari. Ia sangat banyak mengutip riwayat-riwayat dari
periwayatan al-Thabari lengkap dengan sanadnya. Ia pun sering mengkritik atau
menilai kualitas hadis yang dikutipnya itu. Dengan demikian, secra substansial
Ibnu Katsir telah melakukan perbandingan penafsiran.[5]
No comments:
Post a Comment