A.
Ketentuan Memahami Ayat Berdasarkan Makna Redaksi yang Umum, Bukan
Makna Khusus yang Menjadi Sebab Turunnya Ayat
العبرة
بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Ketentuan
memahami ayat berdasarkan makna redaksi yang umum, bukan makna khusus yang
menjadi sebab turunnya ayat.[1]
Apabila ditemukan ayat-ayat Al-Quran
yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu dan
berkaitan dengan suatu hukum, maka ketentuan itu tidak terbatas pada kasus itu
saja, tetapi berlaku secara umum. Ini ditujukan kepada setiap kasus yang
mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut.[2]
Dalam memahami kaidah di atas, yang
perlu diingat ialah asbab an-nuzul pada hakikatnya hanyalah satu alat bantu
berupa contoh untuk menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat Al-Quran, sedangkan
cakupannya tidak terbatas pada ruang lingkup sebab turunnya suatu ayat. Karena
itu, ungkapan di dalam kitab-kitab tafsir berbunyi, ayat ini turun tentang
peristiwa begini atau begitu. Misalnya menjelaskan bahwa peristiwa tersebut
termasuk salah satu pengertian ayat yang dimaksud, tetapi dalam pada itu, ayat
tersebut juga mencakup sejumlah makna yang dikandungnya. Dengan kata lain makna
ayat tersebut tidak dikhususkan hanya kepada pengertian yang terkait dengan
peristiwa turunnya ayat.[3]
Umat baru dapat membuktikan
pernyataan Al-Quran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi setiap generasi
sampai hari kiamat, di dalam setiap tempat dan situasi, apabila memahami
Al-Quran sebagaimana diuraikan di atas.[4]
Contoh-contoh:
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah
Termasuk orang-orang yang benar. (Q.S. An-Nuur ayat 6)
Ayat
ini turun berkaitan dengan tuduhan yang dijatuhkan Hilal bin Umayyah terhadap
istrinya. Akan tetapi, sebagaimana terlihat, bunyi ayat ini bersifat umum.
Ketentuan hukumnya bukan saja berlaku pada Hilal tetapi juga berlaku kepada
semua orang yang menuduh istrinya berbuat zina, saksi-saksi lain tidak ada
kecuali si suami sendiri.[5]
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang
lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah ayat 184)
Ayat
ini turun berkaitan dengan Qais bin as-Sa-ib yang memaksakan diri bershaum,
padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini, ia berbuka dan membayar
fidyah dengan memberi makan seorang miskin selama ia tidak bershaum itu.[6]
Bunyi ayat ini sama halnya dengan bunyi ayat yang di atas, yakni bersifat umum.
Ketentuan hukumnya tidak berlaku pada Qais saja, melainkan semua orang yang
memiliki kasus seperti itu.
Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik
hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran. (Q.S.
Al-Baqarah ayat 221)
Ayat
ini berkaitan dengan permohonan Ibnu Abi Murtsid al-Ghanawi yang meminta izin
kepada Nabi untuk menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan
terpandang.[7] Bunyi
ayat ini sama halnya dengan bunyi ayat yang di atas, yakni bersifat umum.
Ketentuan hukumnya tidak berlaku pada Ibnu Abi Murtsid al-Ghanawi saja,
melainkan semua orang yang memiliki kasus seperti itu.
B.
Memerintahkan Sesuatu berarti Melarang Kebalikannya
الأمرباالشيئ
يستزم النهى عن ضده
Memerintahkan
sesuatu berarti melarang kebalikannya.[8]
Apabila menemukan ayat-ayat Al-Quran
yang berisi perintah melakukan suatu perbuatan, berarti ayat tersebut sekaligus
melarang sesuatu yang sebaliknya. Jika suatu syat mengandung larangan terhadap
suatu perbuatan, berarti ayat tersebut pun memerintahkan melakukan hal yang
sebaliknya.
Contoh-contoh:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
mendengar lagi Maha melihat. (An-Nisaa ayat 58)
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa ayat 59)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah ayat 183)
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka
Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Maidah ayat 51)
Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih
atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,
dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah
kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Maidah ayat 3)
Dan janganlah
kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji.
dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al-Isra ayat 32)
Semua contoh di atas ialah
contoh-contoh daripada perintah Allah dan contoh-contoh daripada larangan-Nya.
[1]
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: Amzah, 2010, 79
[2]
Ibid.
[3]
Ibid., 79-80
[4]
Ibid. 80
[5]
Ibid.
[6]
Q. Shaleh, A.A. Dahlan dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya
Ayat-ayat Al-Quran, Bandung, Penerbit Diponegoro, 2000, 50
[7]
Ibid., 73
[8]
Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Quran: Disusun Berdasarkan
Al-Qawaid Al-Hisan Li Tafsir Al-Qur’an Karya Al-Sa’di, Bandung: Mizan,
1998, 10
No comments:
Post a Comment