Monday, March 4, 2019

Kaidah Ketentuan Memahami Ayat Berdasarkan Makna Redaksi yang Umum, bukan Makna Khusus yang Menjadi Sebab Turunnya Ayat dan Kaidah Memerintahkan Sesuatu berarti Melarang Kebalikannya



A.    Ketentuan Memahami Ayat Berdasarkan Makna Redaksi yang Umum, Bukan Makna Khusus yang Menjadi Sebab Turunnya Ayat
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
            Ketentuan memahami ayat berdasarkan makna redaksi yang umum, bukan makna khusus yang menjadi sebab turunnya ayat.[1]
            Apabila ditemukan ayat-ayat Al-Quran yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu dan berkaitan dengan suatu hukum, maka ketentuan itu tidak terbatas pada kasus itu saja, tetapi berlaku secara umum. Ini ditujukan kepada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut.[2]
            Dalam memahami kaidah di atas, yang perlu diingat ialah asbab an-nuzul pada hakikatnya hanyalah satu alat bantu berupa contoh untuk menjelaskan makna redaksi-redaksi ayat Al-Quran, sedangkan cakupannya tidak terbatas pada ruang lingkup sebab turunnya suatu ayat. Karena itu, ungkapan di dalam kitab-kitab tafsir berbunyi, ayat ini turun tentang peristiwa begini atau begitu. Misalnya menjelaskan bahwa peristiwa tersebut termasuk salah satu pengertian ayat yang dimaksud, tetapi dalam pada itu, ayat tersebut juga mencakup sejumlah makna yang dikandungnya. Dengan kata lain makna ayat tersebut tidak dikhususkan hanya kepada pengertian yang terkait dengan peristiwa turunnya ayat.[3]
            Umat baru dapat membuktikan pernyataan Al-Quran diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi setiap generasi sampai hari kiamat, di dalam setiap tempat dan situasi, apabila memahami Al-Quran sebagaimana diuraikan di atas.[4]
Contoh-contoh: 
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. (Q.S. An-Nuur ayat 6)
            Ayat ini turun berkaitan dengan tuduhan yang dijatuhkan Hilal bin Umayyah terhadap istrinya. Akan tetapi, sebagaimana terlihat, bunyi ayat ini bersifat umum. Ketentuan hukumnya bukan saja berlaku pada Hilal tetapi juga berlaku kepada semua orang yang menuduh istrinya berbuat zina, saksi-saksi lain tidak ada kecuali si suami sendiri.[5]  
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah ayat 184)
            Ayat ini turun berkaitan dengan Qais bin as-Sa-ib yang memaksakan diri bershaum, padahal ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini, ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin selama ia tidak bershaum itu.[6] Bunyi ayat ini sama halnya dengan bunyi ayat yang di atas, yakni bersifat umum. Ketentuan hukumnya tidak berlaku pada Qais saja, melainkan semua orang yang memiliki kasus seperti itu. 
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Q.S. Al-Baqarah ayat 221)
            Ayat ini berkaitan dengan permohonan Ibnu Abi Murtsid al-Ghanawi yang meminta izin kepada Nabi untuk menikah dengan seorang wanita musyrik yang cantik dan terpandang.[7] Bunyi ayat ini sama halnya dengan bunyi ayat yang di atas, yakni bersifat umum. Ketentuan hukumnya tidak berlaku pada Ibnu Abi Murtsid al-Ghanawi saja, melainkan semua orang yang memiliki kasus seperti itu.

B.     Memerintahkan Sesuatu berarti Melarang Kebalikannya
الأمرباالشيئ يستزم النهى عن ضده
            Memerintahkan sesuatu berarti melarang kebalikannya.[8]
            Apabila menemukan ayat-ayat Al-Quran yang berisi perintah melakukan suatu perbuatan, berarti ayat tersebut sekaligus melarang sesuatu yang sebaliknya. Jika suatu syat mengandung larangan terhadap suatu perbuatan, berarti ayat tersebut pun memerintahkan melakukan hal yang sebaliknya.
            Contoh-contoh:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. (An-Nisaa ayat 58)  

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa ayat 59)

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah ayat 183)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. Al-Maidah ayat 51)

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Maidah ayat 3)
           
Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk. (Q.S. Al-Isra ayat 32)
                Semua contoh di atas ialah contoh-contoh daripada perintah Allah dan contoh-contoh daripada larangan-Nya.



[1] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, Jakarta: Amzah, 2010, 79
[2] Ibid.
[3] Ibid., 79-80
[4] Ibid. 80
[5] Ibid.
[6] Q. Shaleh, A.A. Dahlan dkk., Asbabun Nuzul: Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran, Bandung, Penerbit Diponegoro, 2000, 50
[7] Ibid., 73
[8] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Penafsiran Al-Quran: Disusun Berdasarkan Al-Qawaid Al-Hisan Li Tafsir Al-Qur’an Karya Al-Sa’di, Bandung: Mizan, 1998, 10

No comments:

Post a Comment