Thursday, February 21, 2019

QIRA'AT AL-QUR'AN

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Latar Belakang Timbulnya Qira’at
Pada zaman Nabi SAW, sahabat dan umat beliau waktu itu memperoleh ayat-ayat Alquran dengan cara mendengarkan, membaca dan menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut. Barulah pada masa khalifah Abu Bakar Ash Siddiq r.a, Alquran mulai dibukukan dalam satu mushaf atas saran dari Umar bin Khattab r.a. Abu Bakar Ash Siddiq memerintahkan Zaid bin Sabit untuk mengumpulkan seluruh ayat Alquran dan ditulis dalam satu mushaf. Pembukuan Alquran ini berlangsung sampai khalifah Ustman bin Affan. Pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan r.a terdapat perselisihan sesama kaum muslimin mengenai bacaan Alquran yang hampir menimbulkan perang saudara sesama muslim. Perselisihan ini disebabkan mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Alquran karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang sesuai dengan dialek mereka masing-masing. Namun mereka tidak memahami maksud Nabi melakukan hal tersebut sehingga tiap suku/golongan menganggap bacaan mereka yang paling benar sedangkan yang lain salah. Untuk mengatasi perselisihan, khalifah Ustman bin Affan r.a memerintahkan untuk menyalin mushaf Alquran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq dan memperbanyaknya kemudian mengirimkan ke berbagai daerah. [1]
       Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok, Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.[2]
  1. Pengertian Qira’at
Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan. Menurut istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang cara membaca Al-qur’an.[3]
       Menurut Az-Zarkasyi qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-qur’an baik menyangkut huruf-hurufnya atau cuma pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan) dan yang lainnya.[4]
       Menurut Ash-Shobuni qira’at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.[5]
       Menurut Ibn Al-Jazari qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.[6]
  1. Macam-Macam Qira’at dan Contohnya
  2. Dari Segi Kuantitas
  3. Qira’at Sab’ah (Qira’at Tujuh). Maksud sab’ah adalah imam qira’at yang tujuh[7]. Mereka adalah:
  • Ibnu Katsir. Nama lengkapnya Abdullah bin Katsir bin Al-Muthallib. Ia lahir pada tahun 45 H dan wafat di Mekah pada tahun 120 H. Ibnu Katsir belajar qira’at dari salah seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Sa’ib.
Dua orang perawinya adalah Al-Bazzi dan Qumbul. Al-Bazzi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdillah bin Abi Bazzah, seorang muadzin di makkah. Wafat di makkah pada 250 H.
Sedang qombul adalah Muhammad bin Abdirrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said Al-makki Al-Makhzumi. Ia wafat di Makkah pada 291 H.[8]
  • Nafi Al-Madani. Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi bin Abdurrahman bin Abi Nu’aim Al-Laitsi. Nafi meninggal pada tahun 169 H. Ia belajar qira’at dari Abi Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa Al-Madani, ibnu Hurmuz Al-A’raj, dan muslim bin Jundub. Semua guru Nafi ini mempelajari qira’at dari sahabat seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairoh, Ubay, dan Az-Zubir bin Al-Awwam.
Dua orang perawinya adalah Qolun dan Warsy. Qolun adalah Isa bin Muniya Al-Madani. Ia adalah seorang guru bahasa arab di dijuluki Qolun. Ia wafat di Madinah pada 220 H. Adapun Warsy adalah Utsman bin Said Al-Mishri. Dia diberi julukan Warsy. Wafat di Mesir pada 198 H.[9]
  • Ibnu Amir Asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir Asy-Syami. Ia meninggal tahun 118 H. Ibnu Amir belajar qira’at dari Al-Mughirah dan Abu Darda.
Dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan. Hisyam adalah Hisyam bin Ammar bin Nushair, dan wafat pada 245 H. Sedang ibnu Dzakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, wafat di Damaskus pada 242 H.[10]
  • Abu Amr Al-Basri. Nama lengkapnya adalah Abu Amr Zaban bin Al-Ala’ At-Tamimi Al-Basri. Ia lahir di Mekah pada tahun 70 H dan meninggal di kufah tahun 154 H. Di antara gurunya adalah Abu Al-Hajjaj Mujahid, Abu Abdullah Sa’id bin Jubair, dan Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa.
Dua orang perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi. Ad-Duri adalah Abu Umar Hafsh bin Umar bin Abdil Aziz Ad-Duri An-Nahwi. Ia wafat pada 246 H. Sedang As-Susi adalah Abu Syuaib Shalih bin Ziyad bin Abdullah As-Susi, dan wafat pada 261 H.[11]
  • Asim Al-Kufi. Nama lengkapnya adalaah Abu Bakar Asim bin Abu Nujud Al-Asadi Al-Kufi. Ia meninggal pada tahun 127 H. Asim belajar qira’at dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Habib As-Salmi, Abi Maryam Zir bin Hubaysy Al-Asadi, dan lain sebagainya.
Dua orang perawinya adalah Syu’bah dan Hafsh. Syu’bah adalah Abu Bakar Syu’bah bin Abbas bin Salim Al-Kufi. Wafat pada tahun 193 H. Sedang Hafsh adalah Hafsh bin Sulaiman bin Al-Mughirah Al-Bazzaz Al-Kufi. Ia wafat pada 180 H.[12]
  • Hamzah Al-Kufi. Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az-Zayyat. Ia lahir pada tahun 80 H dan meninggal tahun 156 H. Hamzah belajar qira’at dari Abi Muhammad Sulaiman bin Mahran Al-A’masy dan Humran biin A’yan.
Dua orang perawinya adalah Khalaf dan Khallad. Khallaf ialah Khalaf bin Hisyam Al-Bazzaz, wafat di Baghdad pada 229 H. Sedang Khallad ialah Khallad bin Khalid wafat pada 220 H.[13]
  • Al-Kusa’i Al-Kufi. Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah Al-Kusa’i, ia meninggal 189 H. Al-Kusa’i belajar qira’at dari Abi Imarah dan Isma’il bin Ja’far.
  1. Qira’at Asyarah ( Qira’at Sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan diatas ditambah dengan tiga qira’at berikut:
  • Abu Ja’far. Nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qa’qa Al-Makhzuni Al-Madani. Ia memperoleh qira’at dari Abdullah bin Ayyasy bin Rabiah, Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah. Dua orang perawinya adalah Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz.
  • Ya’qub. Nama lengkaonya adalah Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdillah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Musa Al-Asy’ari dan Ibn Abbas, yang membacanya langsung dari Rasulullah SAW. Dua orang perawinya adalah Ruwais dan Rauh.
  • Khallaf bin Hisyam. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khallaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Baghdadi. Ia menerima qira’at dari sulaiman bin Isa bin Habib. Dua orang perawinya adalah Ishaq dan Idris.[14]
  1. Qira’at Arba’at Asyrah (qira’at empat belas). Yang dimaksud qira’at empat belas adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qira’at sebagai berikut:
  • Al-Hasan Al-Bashri. Salah seorang tabiin besar yang terkenal kezuhudannya.
  • Muhammad bin Abdirrahman, yang dikenal dengan nama Ibn Mahishan. Ia adalah guru Abi Amr.
  • Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi. Ia mengambil qira’at dari Abi Amr dan Hamzah
  • Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz.[15]

  1. Dari Segi Kualitas
  2. Qira’at mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.
  3. Qira’at masyhur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tulisan mushaf utsmani, masyhur dikalangan qurra, dan tidak termasuk qira’at yang keliru dan menyimpang.
  4. Qira’at ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyuhran, dan tidak dibaca sebagimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
  5. Qira’at Syadz (menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini. Di antara macam qira’at ini adalah:
مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ
Artinya:
“Yang menguasai hari pembalasan” (Q.S. Al-Fatihah [I]: 4)
Qira’at mushaf Utsmani:
ملِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
Contoh lainnya adalah:
اِيَّاكَ يُعْبَدُ
Qira’at mushaf Utsmani:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ
  1. Qira’at maudhu’i (palsu), yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.
  2. Qira’at mudarraj, yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya, qira’at Abi Waqqash yang:
وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ مِنْ اُمٍّ
Artinya:
“tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja).” (Q.S. An-Nisa’O[4]:12)

Qira’at mushaf Utsmani:
وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ
Juga seperti qira’at Ibn Abbas:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فِى مُوْسِمِ الحَجِّ.
Artinya:
“tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu pada musim haji.”(Q.S.Al-Baqarah[2]:198)
Qira’at mushaf Utsmani:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ[16]
PERBEDAAN BACAAN DALAM SURAT AL-FATIHAH
NoImam Qiraat & (Rawi)Bacaan
1Nafi’ (Qalun & Warasy) / Abu Amr (Ad-Duri & As-Susi) / Ibnu ‘Amir (Hisyam & Ibnu Dzakwan)صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لَا الضَّالِّيْنَ (7)
2Ibnu Katsir (Qunbul)سصِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهُمُ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهُمُ وَ لَا الضَّالِّيْنَ (7)
3‘Ashim (Syu’bah & Hafsh)صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لَا الضَّالِّيْنَ (7)
4Hamzah (Khallad & Khalaf)صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهُمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهُمْ وَ لَا الضَّالِّيْنَ (7)
PERBEDAAN BACAAN AKHIR SURAH AL-IKHLASH
NoImam Qiraat & (Rawi)Bacaan Ayat
1‘Ashim (Hafsh)وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا اَحَد
2‘Ashim (Syu’bah) / Nafi’ (Qalun & Warasy) / Ibnu Katsir (Qunbul) / Abu Amr (Ad-Duri & As-Susi) / Ibnu ‘Amir.وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُؤًا اَحَد
3Hamzah (Khallad & Khalaf)وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفْؤًا اَحَد
PERBEDAAN BACAAN PADA AWAL SURAT AL-MA’UN
NoImam Qiraat & (Rawi)Bacaan Ayat
1‘Ashim, Ibnu Katsir (Qunbul), Abu ‘Amr (Ad-Duri), Ibnu ‘Amr, Hamzahأَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ
2Nafi’ (Qalun)أَرَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ
3Nafi’ (Warasy)أَرَآيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ
4Abu ‘Amr (As-Susi)
“(meng-idghom-kan lafal yukadzdzibbiddiin)”
أَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّب بِّالدِّيْنِ
PERBEDAAN BACAAN PADA AWAL SURAT AL-FALAQ DAN AN-NAAS
NoImam Qiraat & PeriwayatBacaan Ayat
1‘Ashim, Nafi’ (Qalun), Ibnu Katsir (Qunbul), Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Hamzah (Khollad)قُلْ اَعُوْذُ ...
2Nafi’ (Warasy)قُلَ اَعُوْذُ ...
3Hamzah (Kholaf)
“(Qul ... a’uudzu) dengan meng-sakhtah-kan lafal qul<berhenti sejenak 2 harakat tanpa bernafas>a’uudzu.”
قُلْ سكتة اَعُوْذُ ...
PERBEDAAN BACAAN IMALAH PADA AWAL SURAT AN-NASHR
اِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ
NoImam Qiraat (Rawi)Bacaan Ayat
1‘Ashim, Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amr (Hisyam)idzaa jaa-a nashrullaahi wal fath
(karena bacaan mad wajib muttashil dibaca panjang 4-5 harakat)
2Hamzah, Ibnu ‘Amir (ibnu dzakwan)idzaa jee-a nashrullaahi wal fath
(karena bacaan mad wajib muttashil dibaca panjang 4-5 harakat)[17]

  1. Sebab-Sebab Perbedaan Qira’atul Qur’an
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang apa yang sebenarnya menyebabkan perbedaan qira’atul qur’an, sebagai berikut:
  1. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan qira’atul qur’an dilatarbelakangi oleh perbedaan qira’at Nabi SAW. Artinya, dalam menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at.
  2. Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan qira’atul qur’an dikarenakan adanya taqrir atau pengkuan Nabi SAW. terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut perbedaan lahjat atau dialek kebahasaan di antara mereka dalam mengucapkan lafaz-lafaz tertentu dari Al-Qur’an.
  3. Satu pendapat lain mengatakan bahwa ini terjadi karena berbedanya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi SAW.
  4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat bahwa ini karena adanya riwayat dari para sahabat Nabi SAW. menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
  5. Sebagian ulama berpendapat bahwa adanya perbedaan qira’atul qur’an dikarenakan adanya perbedaan lahjat atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada maa turunnya Al-Qur’an.
  6. Sementara itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa perbedaan qiraat Al-Qur’an merupakan hasil ijtihad para imam qira’at, bukan bersumber dari Nabi SAW.                                                                                                                                          Urgensi Mempelajari Qira’at
Diantara urgensi mempelajari qira’at adalah:
  1. Meringankan dan memudahkan bagi umat dalam membaca Al-Qur’an.
  2. Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam Qira’at Syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “Min Umm” Sehingga ayat itu menjadi:
وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ ) من ام ) فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. (Q.S. An-Nisa 4: 12). Dengan demikan, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqaash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
  1. Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi:
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ     مؤمنة.
“_maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak (Mukmin)”. (Q.S. 5: 89).
Tambahan kata “Mukminatin” berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu alternatif bentuk kifaratnya.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Buku
Yusuf, Kadar M. Studi Alquran, Jakarta: Amzah, 2014, Cetakan kedua.
Al-qathan, Manna. pengantar studi ilmu al-qur’an, Jakarta timur: pustaka al-kautsar cetakan keenam.
Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2010, Cetakan kedua.
  1. Internet
http://teloragen8.blogspot.co.id/2014/05/qiraat-tujuh-al-quran.html diakses rabu 25 Nov. 15 pada pukul 10:15 WIB
https://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/04/23/ulumul-quran-qiraatul-quran/     diakses rabu 25 Nov. 15 pada pukul 15:48 WIB
http://mukhlis11ahmad.blogspot.co.id/2014/11/pengaruh-perbedaan-qiraat  terhadap.html diakses rabu 25 Nov. 15 pada pukul 16:12 WIB
http://makalahtoher.blogspot.co.id/2011/12/makalah-qiraat.html diakses hari rabu pukul 15:34 WIB
https://pintania.wordpress.com/qiraatul-quran/ diakses hari Jum’at Pukul 12:46 WIB

No comments:

Post a Comment