Friday, May 20, 2016

AKHLAK TERCELA / TINGKAH LAKU TERCELA




BAB II
PEMBAHASAN
A.                Buruk Sangka
 حَدِيْثُ أَبِي هُرَيْرَةَ ر.ض : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص.م قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالظَّنِّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ. وَلاَ تَحَسَّسُوْا، وَلاَ تَجَسَّسُوْا، وَلاَ تَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا.
Artinya:
Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah SAW, bersabda, ”Jauhilah oleh kalian berprasangka, karena prasangka itu perkataan yang paling dusta, janganlah kalian mencari-cari berita, keburukan, menambah-nambahkan barang yang tidak ingin dibelinya, hasud, membenci, membelakangi, tetapi jadilah hamba Allah yang bersaudara”.(Riwayat Bukhari Muslim).[1]
            Buruk sangka di dalam agama Islam disebut suuzan. Kebalikannya adalah Husnuzan artinya baik sangka. Buruk sangka akan mendapatkan dosa, karena akan merusak keharmonisan rumah tangga, keluarga, maupun keharmonisan kehidupan masyarakat.[2]
            Hadits tersebut memberi peringatan dan pelajaran kepada kita semua,  banyak terjadi persengketaan dalam bermasyarakat karena sikap buruk sangka. Kadang-kadang masalah kecil bisa menjadi besar sehingga timbul rasa dengki dan dendam yang berkepanjangan. Oleh sebab itu, setiap orang yang ingin mendapat ridha Allah hendaklah selalu berprasangka baik (husnuzon).[3]
            Allah SWT menyerukan kepada orang-orang yang beriman agar menjauhi prasangka, karena prasangka itu termasuk dosa dan kesombongan.[4]
            Allah SWT berfirman dalam Suah Al-Hujurat ayat 12 :
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
            Dikatakan dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salman Al-Farisi yang bila selesai makan, suka terus dan mendengkur. Pada waktu itu ada orang yang mempergunjingkan perbuatannya. Maka turunlah ayat ini yang melarang seseorang untuk mengumpat dan menceritakan keaiban orang lain.[5]
B.                 Ghibah dan Buhtan
1.      Ghibah
            حدّ ثنا يحيى بن أيّوب وقتيبة وابن حجر قالوا: حدّثنا أسماعيل عن العلاء, عن أبيه, عن أبى هريرة أنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: أتدرون ماالغيبة؟ قالوا: الله ورسوله أعلم. قال ذكرك أخاك بمايكره. قيل: أفرأيت أن كان فى أخى ما أقول؟ قال: أن كان فيه ما تقول فقد اغتبته, وأن لم يكن فيه فقد بهته.
Yahya bin Ayyub, Qutaibah dan ibnu Hujr menceritakan kepada kami, mereka berkata: Isma’il menceritakan kepada kami dari Al Ala’, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tahukah kalian apa itu Ghibah (menggunjing)?” Para sahabt menjawab, “Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tau. “Beliau bersabda, “Yaitu penuturanmu terhadap saudaramu tentang sesuatu yang tidak dia sukai.” Ditanyakan: “Bagaimana pendapat anda jika yang aku katakan memang benar ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab, “Jika padanya memang terdapat apa yang engkau sebut-sebut itu, maka sesungguhnya engkau telah menggunjingnya. Tapi jika itu tidak ada pada dirinya, maka sesungguhnya sengkau telah menfitnahnya.[6]
            Tentang penjelasan hadits di atas yang dimaksud Ghibah disitu adalah kamu menyebut-nyebut seseorang ketika orang itu tidak ada, tentang sesuatu yang tidak di sukainya.[7]
كلّ المسلم على المسلم حرام دمه وماله وعرضه
“Setiap muslim terhadap muslim lainnya itu haram darahnya, hartanya, dan kehormatanny”. [HR. Muslim][8]
أيّاكم  والغيبة فانّ الغيبة اشدّ من الزّنافانّ الرّجل قد يزنى و يتوب فيتوب الله سبحانه عليه وأنّ صاحب الغيبة لايغفر له حتّى يغفر له صاحبه
“Hindarilah mengumpat! Sesungguhnya mengumpat itu lebih berat daripada zina. Sesungguhnya kadangkala seseorang berzina tetapi bertaubat. Dan sesungguhnya pengumpat itu tidak akan di ampuni dosanya hingga ia diampuni oleh orang yang di umpat [HR. Ibnu Abid Dun-ya dan Ibnu Habibah][9]

Allah SWT berfirman Al-Hujurat ayat 12:
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Ghibah adalah menyebut sesuatu tentang orang lain yang akan membuatnya (orang lain itu) marah bila mendengarnya, baik itu berhubungan dengan kekurangan jasmani, keturunan, sifat, perbuatan, agama, atau dunianya, bahkan yang berkaitan dengan pakaian, rumah, atau ternaknya.[10]
            Contoh kekurangan jasmani adalah menyebutnya juling, rabun, terlalu pendek, terlalu tinggi, dan cacat jasmani lainnya. Yang berkaitan dengan garis keturunan, misalnya dengan mengatakan bahwa ayahnya fasik, tukang sepatu, tukang sampah, dan semacamnya. Yang berkaitan dengan sifat, misalnya dengan mengatakan dia pelit, sombong, suka pamer, pengecut, dan sifat-sifat sejenis. Yang berkaitan dengan perbuatan yang berhubungan dengan agama, misalnya dengan mengatakan dia pencuri, pembohong, peminum khamr, pengkhianat, orang yang tidak berbakti kepada orang tua, dan sebagainya. Yang berkaitan dengan perbuatan yang berhubungan dengan dunia, misalnya dengan mengatakan dia tidak sopan, egois, cerewet, banyak tidur, dan lain-lain. Yang berkaitan dengan pakaian, misalnya dengan mengatakan pakaiannya kotor, sorbannya kebesaran, dan sejenisnya. Semua ini termasuk dalam kategori ghibah.[11]
            Termasuk mengumpat adalah jika engkau mengatakan, “sebagian orang telah lewat di sini hari ini. “ lalu orang yang engkau ajak bicara itu mengetahui apa yang kau maksudkan (orang yang kau bicarakan), maka hal itu termasuk mengumpat. Namun jika orang yang kau ajak bicara tidak memahami siapa orang yang kau bicarakan, maka bukanlah termasuk mengumpat.[12]
            Termasuk mengumpat ialah jika engkau kagum apabila mendengarkan kata-kata yang bernada umpatan. Karena engkau menampakkan kekagumanmu, maka orang yang mengumpat itu semakin bersemangat dalam melakukan kekjiannya. Ia merasa terdorog untuk meningkatkan umpatannya. Misalnya engkau mnanggapi, “aku juga heran, mengapa si Fulan itu demikian. Padahal selama ini kukena dia adalah orang yang baik. Aku tidak menduga sama sekali. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari bencananya.[13]
            Sesungguhnya semua itu merupakan ungkapan yang membenarkan dan mendukuung orang mengumpat. Padahal jika engkau mendukung dan membenarkan orang mengumpat, maka engkau termasuk ikut mengumpat pula. Bahkan jika engkau diam sekalipun di hadapan pengumpat, masih saja dirimu dianggap ikut mengumpat.[14]
            Allah SWT berfirman Al-An’am:
  
68. Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).
            Rasulullah Saw bersabda:
المستمع احد المغتابين
“orang yang mendengarkan umpatan adalah salah seorang dari dua orang yang mengumpat. [HR. Abul Abbas Ad Daghuli].[15]
            Ada beberapa factor yang menyebabkan seseorang untuk melakukan ghibah, diantaranya adalah:
            Melampiaskan amarah, dimana bila sesorang marah karena suatu sebab, dia akan melampiaskan amarahnya dengan menyabut keburukan orang yang membuatnya marah.[16]
            Membela diri, dimana bila seseorang merasa bahwa orang lain akan menjelekkan dirinya atau member kesaksian yang memberatkan dirinya, maka dia mendahului dengan menyebut aib orang tersebut demi meemahkannya.[17]
            Membanggakan diri, dimana bila seseorang hendak mengunggukan diri dengan merendahkan orang lain. Misalnya dia berkata, si Fulan bodoh dan pendapatnya lemah. Dengan tujuan menunjukkan diri sebagai yang ebih unggul ketimbang orang itu.[18]
            Iri dan dengki, dimana ketika seseorang merasa iri terhadap orang lain yang dipuji dan disukai. Salah satu cara untuk melenyapkannya ialah dengan memburukkan citranya, sebab dia tidak tahan mendengar pujian atas orang itu.[19]
            Rasa heran dan takjub, kadangkala, rasa heran karena seseorang melakukan sesuatu malah mengakibatkan seseorang terjerumus kedalam ghibah. Misalnya dia berkata “sungguh mengherankan apa yang dilakukan si Fulan” boleh jadi, dia benar bena heran, namun semestinya dia tidak perlu menyebut nama pelaku dosa itu. Akan tetapi, setan telah memperdaya dan membuatnya menyebut nama orang itu sehingga secara tidak sadar telah menggunjingnya.[20]
            Rasa iba terhadap orang lain, adakalanya seseorang merasa kasihan atas sesuatu yang menimpa orang lain. Mungkin saja dia benar benar kasihan, tetapi rasa ini membuatnya menyebut nama orang itu sehingga dia telah menggunjingnya.[21]
Selain Ghibah itu di Haramkan, ghibah juga ada yang diperbolehkan, seperti:
1.      Jika seseorang merasa terdzalimi. Boleh baginya mengadukan kedzaliman yang dia terima kepada aparat, hakim atau pihak lain yang mempunyai wewenang untuk mencegah orang yang mendzaliminya. Dia boleh mengatakan “Si Fulan telah menzhalimiku,” atau “Si Fulan telah melakukan anu padaku.”
2.      Untuk meminta bantuan dalam merubah kemungkaran, dan mengarahkan pelaku maksiat untuk kembali berbuat benar. Misalnya dengan mengatakan kepada orang yang dianggap mampu mencegah kemungkaran “seseorang melakukan perbuatan ini, tolong anda cegah”
3.      Untuk meminta fatwa atau nasihat. Misalnya mengatakan “temanku telah berbuat ini pada saya, bagaimana cara untuk melepasnya”
4.      Telah Untuk mengingatkan umat Islam dari perbuatan buruk. Salah satu contohnya di dalam ilmu hadits dikenal istilah Jarh, sifat negatif yang dimiliki seorang perawi hadits. Sifat ini wajib dikemukakan untuk mengamankan mata rantai hadits Rasulullah.
5.      Menceritakan seseorang yang melakukan kefasikan atau perbuatan bidah secara terang-terangan.
6.      Mengenalkan seseorang dengan suatu sifat atau cirri fisik dengan syarat kalau tidak dijelaskan dengan cara tersebut orang yang kita maksud tidak dikenali. Misalnya, si tuli, si bisu, si pendek, si buta.[22]

2.      Buhtan
Buhtan adalah ucapan yang keluar dari mulut kita tentang keburukan seseorang tetapi tidak benar adanya ataupun berlawanan dengan kenyataan yang ada. Buhtan bisa disebut juga bohong atau mengada-ada.[23]
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hujurat ayat 6:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ  
6. Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
            Dalam suatu riwayat dikemukan bahwa al-Harits menghadap Rasulullah SAW..beliau mengajaknya untuk masuk Islam. Ia pun ikrar menyatakan diri masuk Islam. Rasulullah mengajaknya untuk mengeluarkan zakat, ia pun menyanggupi kewajiban itu, dan berkata: “Ya Rasulullah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak mereka masuk Islam dan menunaikan zakat. Orang-orang yang mengikuti ajaranku, akan aku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah kukumpulkan itu.[24]
            Ketika al-Harits telah banyak mengumpulkan zakat, dan waktu yang sudah ditetapkan pun telah tiba, tak seorang pun utusan yang menemuinya. Al-Harits mengira telah terjadi sesuatu yang menyebabkan Rasulullah SAW marah kepadanya. Ia pun memanggil para hartawan kaumnya dan berkata: “Sesungguhnya Rasulullah telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tidak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rasulullah SAW”.[25]
            Rasulullah SAW, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, mengutud al-Walid bin Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada al-Harits. Ketika al-Walid berangkat, di perjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia pun pulang sebelum sampai ke tempat yang dituju. Ia melaporkan (laporan palsu) kepada Rasulullah bahwa al-Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mengancam akan membunuhnya.[26]
            Kemudian Rasulullah mengirim utusan berikutnya kepada al-Harits di tengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan al-Harits dan sahabat-sahabatnya yang tengah menuju ke tempat Rasulullah. Setelah berhadap-hadapan, al-Harits menanyai utusan itu: “Kepada siapa engkau diutus? Utusan itu menjawab: “Kami diutus kepadamu” Dia bertanya: “Mengapa?” Mereka menjawab: sesungguhnya Rasulullah telah mengutus al-Walid bin Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya. Al-Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada yang datang kepadaku.”[27]
            Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullah SAW, bertanyalah beliau “mengapa engkau menahan zakat dan akaan membunuh utusanku? Al-Harits menjawab: “Demi Allah yang telah mengutus engkau dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka turunlah ayat ini sebagai peringatan kepada kaum mukminin agar tidak hanya menerima keterangan dari sebilah pihak saja.[28]


            Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: عَلَيْكُمْ بِالصّدْقِ فَاِنَّ الصّدْقَ يَهْدِى اِلىَ اْلبِرّ وَ اِنَّ اْلبِرَّ يَهْدِى اِلىَ اْلجَنَّةِ. وَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَ يَتَحَرَّى الصّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدّيْقًا. وَ اِيَّاكُمْ وَ اْلكَذِبَ فَاِنَّ اْلكَذِبَ يَهْدِى اِلىَ اْلفُجُوْرِ وَ اِنَّ اْلفُجُوْرَ يَهْدِى اِلىَ النَّارِ. وَ مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَ يَتَحَرَّى اْلكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا. مسلم
Dari ‘Abdullah (bin Mas’ud), ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Wajib atasmu berlaku jujur, karena sesungguhnya jujur itu membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu membawa ke surga. Dan terus-menerus seseorang berlaku jujur dan memilih kejujuran sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan, dan sesungguhnya durhaka itu membawa ke neraka. Dan terus menerus seseorang berdusta dan memilih yang dusta sehingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta”. [HR. Muslim][29]
            Adapun beberapa pendapat para sahabt tentang bahaya dusta adalah sebagai berikut:
            Ali ra. Berkata: kesalahan terbesar di sisi Allah adalah lisan yang suka berbohong. Sedangkan penyesalan yang paling jelek adalah penyesalan pada hari kiamat.[30]
            Umar ra. Berkata: orang yang paling kami cintai sebelum kami mengenalnya adalah adalah orang yang paling baik namanya. Apabila kami telah mengenalnya, maka yang kami paling cintai adalah orang yang paling baik akhlaknya. Jika kami telah berbicara dengannya, maka yang paling kami cintai adalah yang paling jujur perkataannya dan paling besar amanatnya.[31]
           


C.                Larangan Boros
Kata boros dalam bahasa arab sering disebut dengan “Israf”, yang berarti hidup berlebih-lebihan, atau dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan, ucapan atau tingkah laku manusia yang melebihi batas kewajaran atau keperluan.[32]
Allah SWT berfirman dalam surah al-Isra ayat 26-27:
 
26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.

27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
            Dalam suatu riwayat dikemukakan, ketika turun ayat 26 ini, Rasulullah memberikan tanah di Fadak keapada Fatimah.[33]
            Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
Sesungguhnya Allah meridlai tiga hal bagi kalian dan murka apabila kalian melakukan tiga hal. Allah ridha jika kalian menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, dan (Allah ridla) jika kalian berpegang pada tali Allah seluruhnya dan kalian saling menasehati terhadap para penguasa yang mengatur urusan kalian. Allah murka jika kalian sibuk dengan desas-desus, banyak mengemukakan pertanyaan yang tidak berguna serta membuang-buang harta.” (HR. Muslim no.1715)[34]
Artinya : Dari Jabir r.a bahwasanya Rosulullah saw bersabda : “Apabila suapan salah seorang diantara kamu sekalian itu terjatuh maka ambillah dan bersihkan kotoran yang melekat padanya serta makanlah dan janganlah ia mengusap tangannya dengan sapu tangan (mencuci tangan) sebelum ia membersihkan sisa-sisa makanan yang menempel pada jari-jarinya karena sesungguhnya ia tidak mengetahui bagian manakah itu yang mengandung berkah”. (HR Muslim).[35]                                                                                                        Hadis diatas memberikan isyarat bahwa sesuatu yang masih dapat memberikan manfaat dalam hidup ini tidak boleh disia-siakan suatu contoh makanan yang menempel pada jari-jari sebelum dicuci tangan itu harus diusahakan dimakan sisa-sisanya.[36]                                                                     Pemboros artinya membelanjakan harta, atau membeli sesuatu tanpa dipikirkan kegunaanya. Orang yang boros akan membeli apa saja menurut selera yang muncul pada waktu itu. Kadang-kadang barang yang dibeli itu tidak sebenarnya sudah ada dan masih bisa digunakan. Namun barang-barang yang sudah lama itu tidak dipakai lagi bahkan dibuang begitu saja. Demikianlah keinginana itu selalu muncul dan akan dipenuhinya., selama masih ada uang. Kalau uangnya habis ia akan berusaha sekuat tenaga walau apapun yang terjadi. Dia mudah tergoda oleh setan sehingga berat untuk meninggalkanya.[37]                  Sifat boros bukan hanya terdapat pada harta, tetapi dapat juga terjadi dalam hal yang lain. Misalnya boros dalam penggunaan tenaga, boros dalam penggunaan listrik, boros dalam memakai air, melakukan suatu hal yang tidak bermanfaat, membuang-buang waktu dan banyak lagi contoh-contoh lain yang termasuk boros.[38]                                                                                                  Allah tidak menyukai orang-orang yang boros. Pemboros-pemboros sudah dicap oleh Allah sebagai teman setan. Jadi orang-orang yang boros kelakuannya sama dengan setan dan cocok menjadi teman setan.          [39]                                    Rosulullah telah memberikan contoh kepada kita untuk tidak boros. Mulai dari pakaian yang dipakainya, hartanya dan lain sebagainya. Nabi Muhammad saw tidak pernah boros bahkan memanfaatkan apa-apa yang masih bisa digunakan.[40]                                                                                                                        Cara mengatasi sifat boros ini adalah dengan berhemat dan yang lebih penting lagi kita harus menyadari bahwa harta, kekayaan (dunia) tidak dapat kita bawa ke akhirat nanti, yang akan kita bawa adalah amalan dan perbuatan yang telah kita lakukan di dunia. Untuk itu mulai dari sekarang kita harus bisa berhematdan membiaskannya. Berhemat tidak sama dengan kikir. Orang yang berhemat tidak menghambur-hamburkan harta untuk keperluan yang tidak penting. Orang yang kikir bakhil adalah orang yang susah mengeluarkan uangnya kecuali terpaksa.[41]                                                                                                       Nabi Muhammad saw bukan hanya mencontohkan kepada makanan saja tetapi juga pada waktu. Didalam hadis ini nabi muhammad saw sangat menghargai makanan walau hanya sisa-sisa makanan yang menempel dijari dan makanan yang telah jatuh juga diambil kembali karena nabi muhammad saw begitu menghargai nikmat.[42]                                                                                   Perbuatan boros adalah gaya hidup gemar berlebih-lebihan dalam menggunakan harta, uang maupun sumber daya yang ada demi kesenangan saja. Dengan terbiasa berbuat boros seseorang bisa menjadi buta terhadap orang-orang membutuhkan di sekitarnya,sulit membedakan antara yang halal dan yang haram,mana boleh mana tidak boleh dilakukan, dan lain sebagainya. Alloh SWT menyuruh kita untuk hidup sederhana dan hemat, karena jika semua orang menjadi boros maka suatu bangsa bisa rusak/hancur.[43]
BAB III
PENUTUP
  A.    Simpulan
Buruk sangka di dalam agama Islam disebut suuzan. Kebalikannya adalah Husnuzan artinya baik sangka. Buruk sangka akan mendapatkan dosa, karena akan merusak keharmonisan rumah tangga, keluarga, maupun keharmonisan kehidupan masyarakat.
Ghibah adalah menyebut sesuatu tentang orang lain yang akan membuatnya (orang lain itu) marah bila mendengarnya, baik itu berhubungan dengan kekurangan jasmani, keturunan, sifat, perbuatan, agama, atau dunianya, bahkan yang berkaitan dengan pakaian, rumah, atau ternaknya.
Buhtan adalah ucapan yang keluar dari mulut kita tentang keburukan seseorang tetapi tidak benar adanya ataupun berlawanan dengan kenyataan yang ada. Buhtan bisa disebut juga bohong atau mengada-ada.
Kata boros dalam bahasa arab sering disebut dengan “Israf”, yang berarti hidup berlebih-lebihan, atau dapat didefinisikan sebagai suatu perbuatan, ucapan atau tingkah laku manusia yang melebihi batas kewajaran atau keperluan.
  B.     Saran
Hendaklah kita semua menjauhi semua perbuatan yang di atas. Dan bertkwalah kepada Allah agar Allah selalu membantu kita menjauhi larangan tersebut.


[1]              Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al LU’LU WAL MARJAN, Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2008, hal. 610
[3]              Ibid.
[4]              Ibid.
[5]              K. H. Q. Shaleh, H. A. A. Dahlan, dkk., Asbaabun Nuzuul,  Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2011, hal. 517
[6]        Imam An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim Jilid 16, Jakarta: Pustaka Azzam, 2011, hal. 525-526
[7]        Ibid., hal. 526
    [8]      Muhammad Nuh, Mencegah dan Mengatasi Bahaya Lisan, T.KT, Mitrapress, T.T, hal 152

[9]        Ibid., hal. 153
[10]           Fidha Kasyani, Mengobati Penyakit Lisan, Jakarta Selatan: Cahaya, 2008, hal. 57
[11]           Ibid., hal. 57-58
[12]           Muhammad Nuh, Mencegah dan Mengatasi...  hal 166
[13]           Ibid., hal. 168
[14]           Ibid., hal. 169
[15]           Ibid.
[16]           Fidha Kasyani, Mengobati Penyakit hal. 61
[17]           Ibid., hal. 62
[18]           Ibid.
[19]           Ibid.
[20]           Ibid., hal. 63
[21]           Ibid.
[22]           Imam An-Nawawi, Syarah Sahih... hal. 523-524
[23]             http://doauntukbunda.blogspot.co.id/2011/12/akhlak-tercela-mazmumah.html dikutip selasa 26 april 2016 pukul 23:55 Wib
[24]            K. H. Q. Shaleh, H. A. A. Dahlan, dkk., Asbaabun Nuzuul... hal. 512-523
[25]             Ibid., hal. 513
[26]             Ibid.
[27]            Ibid.
[28]            Ibid.
[29]             http://ahmadsudardi.blogspot.co.id/2013/04/tentang-larangan-berdusta.html dikutip selasa 26 april 2016 pukul 00:42 Wib.
[30]             Muhammad Nuh, Mencegah dan Mengatasi...  hal 132-133
[31]             Ibid., hal. 133
[32]             http://radiotanpasuara.blogspot.co.id/2010/06/larangan-boros.html dikutip rabu 27 april 2016 pukul 01:48 wib
[33]             K. H. Q. Shaleh, H. A. A. Dahlan, dkk., Asbaabun Nuzuul... hal. 319
[34]              https://rumaysho.com/1813-hidup-boros-temannya-setan.html dikutip rabu 27 april 2016 pukul 02:05 wib
[35]             http://fadhildarmawi.blogspot.co.id/2014/06/larangan-kikir-dan-boros.html dikutip rabu 27 april 2016 pukul 02:12 wib
[36]            Ibid.
[37]            Ibid.
[38]             Ibid.
[39]             Ibid.
[40]             Ibid.
[41]             Ibid.
[42]             Bid.
[43]             Ibid.

No comments:

Post a Comment