Surah
Qaaf ayat 19-23:
Menurut
Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi:
Ayat 19 (Dan
datanglah sakaratul maut) yakni kesusahan dan rasa sakit yang memuncak
menjelang maut (dengan membawa kebenaran) yakni perkara akhirat, hingga
orang-orang yang ingkar kepada hari akhirat dapat melihatnya secara nyata, hal
ini termasuk pula hal yang menyakitkan (itulah) kematian itu (hal
yang kamu tidak dapat menghindar darinya) yakni tidak dapat melarikan diri
dari dirinya.[5]
Ayat 20 (Dan
ditiuplah sangkakala) untuk membangkitkan manusia (itulah) yakni
hari peniupan itu itu (hari terlaksananya ancaman) bagi orang-orang
kafir, yaitu mereka akan mengalami siksaan.[6]
Ayat 21 (Dan
datanglah) pada hari itu (tiap-tiap diri) ke tempat mereka
dikumpulkan yaitu padang mahsyar (bersama dengan dia penggiringnya)
yaitu malaikat yang menggiringnya ke padang mahsyar (dan pemberi saksi)
yang akan memberikan kesaksian tentang semua amal perbuatannya, yaitu tangan
dan kakinya serta anggota-anggota tubuhnya yang lain.[7]
Ayat 22 (Sesungguhnya
kamu) sewaktu di dunia (berada dalam keadaan lalai dari hal ini)
yang sekarang menimpa kamu (maka Kami singkapkan daripadamu tutupmu)
maksudnya, Kami lenyapkan kelalaianmu dengan apa yang kamu saksikan sekarang
ini (maka penglihatanmu pada hari ini tajam) yakni menjadi terang dan
dapat melihat apa yang kamu ingkari sewaaktu di dunia.[8]
Ayat 23 (Dan
yang meyertai dia berkata) yakni malaikat yang diserahi tugas mencatat amal
perbuatannya (inilah apa) yakni catatan amalmu (yang ada pada sisiku)
yakni catatan amalmu yang ada padaku.[9]
Menurut M.
Quraish Shihab:
Ayat 19 berbicara
tentang saat-saat menjelang kematian. Di sini dinyatakan bahwa ketika itu
datanglah sakaratul maut dengan haq. Dan saat itu juga dikatakan kepadanya,
yakni yang durhaka, atau seluruh manusia bahwa: “itu, yakni kedatangan
sakaratul, adalah sesuatu yang haq, pasti, lagi tidak dapat dihindari atau
tidak akan berhenti kecuali dengan kematian. Kematian itulah yang engkau, wahai
manusia, secar a naluriah selalu lari
menghindar darinya.[10]
Ayat 20 ayat-ayat
berikut menguraikan tentang kebangkitan dari kubur. Yaitu setelah semua manusia
mati dan setelah mereka melalui satu alam yang dinamai alam barzakh atau alam
kubur. Ayat 20 menyatakan bila tiba masa kebangkitan, ditiuplah oleh malaikat
Israfil sangkakala untuk membangkitkan manusia dari kubur. Itulah hari jatuhnya
ancaman serta hari terpenuhnya janji Allah SWT.[11]
Ayat 21 ketika itu
manusia bangkit dari kuburnya bagaikan belalang yang tersebar dan datanglah
tiap-tiap diri, yang taat dan yang durhaka, ke padang mahsyar bersama dengannya
satu penggiring, yakni pengantar atau penghalau dan satu penyaksi.[12]
Ayat 22 kembali
berbiacara tentang saat-saat menjelang ruh akan meninggalkan jasad pendurhaka.
Ketika itu dikatakan kepadanya: demi Allah, sungguh engkau ketika hidup di
dunia berada dalam keadaan lalai dari apa yang sedang engkau lihat ini, maka
kini Kami singkapkan darimu tabir yang menutupi matamu, maka penglihatanmu kini
amat tajam, yakni kini engkau dapat melihat dengan mata kepala apa yang engkau
tidak lihat ketika hidup di dunia.[13]
Ayat 23
melanjutkan apa yang akan dialami di hari kemudian. Di sini dinyatakan bahwa
yang menyertainya berkata: inilah, telah tersedia catatan amalnya disisiku.[14]
Menurut Sayyid
Quthb:
Ayat 19 kematian
merupakan sesuatu yang diupayakan manusia untuk dihindari atau dijauhkan dari
benaknya, namun, bagaimana mungkin hal itu bisa berhasil. Kematian senantiasa
mencari. Ia tidak bosannya mencari, tidak pernah terlambat melangkah, dan tidak
mengingkari janji. Sakaratul maut bagaikan rombongan kafilah yang merambat di
seluruh persendian. Sementara itu, pemandangan terbentang dan manusia
mendengar, “itulah yang kamu selalu lari daripadanya”.[15]
Perhatikanlah kata
al-Haq pada ungkapan di atas, kata itu mengisyaratkan bahwa diri manusia
melihat kebenaran yang utuh dalam sakaratul maut tanpa hijab. Dia memahami apa
yang semula tidak diketahuinya dan yang diingkarinya. Namun, pemahaman ini
diraih setelah hilangnya kesempatan, yaitu tatkala penglihatan tidak berguna,
pemahaman tidak bermanfaat, tobat tidak diterima, dan keimanan tidak
dipertimbangkan. Kebenaran itulah yang dahulu mereka dustakan, sehingga mereka
pun berakhir dalam perkara kacau balau. Tatkala mereka memahami dan
membenarkannya, pemahaman ini tidak lagi berguna dan bermanfaat sedikitpun.[16]
Ayat 20 itulah
pemandangan yang cukup dihadirkan dalam hati manusia agar dia menuntaskan
seluruh perjalanannya di muka bumi dengan cemas, hati-hati dan waspada.
Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Bagaimana aku merasakan
kenikmatan, padahal pemegang sangkakala telah memasukkan sangkakala itu ke
mulutnya, mencondongkan dahinya, dan tengah menanti intruksi?” Para sahabat
bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yeng mesti kami katakan?” Rasulullah
bersabda, “Katakanlah, cukuplah Allah bagi kami. Dia adalah sebaik-baik
wakil.” Para sahabat pun berkata, “cukuplah Allah bagi kami. Dia adalah
sebaik-baik wakil.”.[17]
Ayat 21 Datanglah
setiap diri yang dalam hal ini adalah diri yang dihisab, diri yang menerima
balasan. Dia digiring dan disaksikan oleh seorang malaikat yang dahulu ketika
ia di dunia menjadi pencatat dan penulis amalnya. Itulah pemandangan yang sangat mirip dengan seorang
yang digirng ke pengadilan, tetapi bedanya dia berada di hadapan YangMaha
Perkasa. Pada situasi yang sangat genting ini, dikatakan kepadanya ayat 22.[18]
Ayat 22
penglihatanmu menjadi sangat tajam dan kuat tanpa ada sesuatu pun yang
menghalanginya. Peristiwa inilah yang dilupakannya. Situasi inilah yang tidak
pernah diperhitungkannya. Inilah akhir yang tidak pernah diharapkannya.
Sekarang, lihatlah karena pada hari ini penglihatanmu sangat tajam.[19]
Di sanalah datang
teman malaikat itu. Pendapat yang paling shahih mengatakan bahwa teman ini
adalah malaikat yang dahulu menyaksikannya, yang membawa riwayat hidupnya.[20]
Ayat 23 dia
memberikan, menyampaikan, dan menyediakan catatan amal orang itu tanpa perlu
disiapkan terlebih dahulu. Langsung saja disampaikan perintah dari Yang
MahaTinggi lagi MahaMulia.[21]
Menurut Imam
Qurthubi:
Ayat 19
diriwayatkan bahwasanya kematian itu lebih sakit daripada tertusuk oleh pedang,
lebih sakit daripada teriris oleh gergaji, dan lebih sakit daripada terpotong
oleh gunting (itulah yang kamu selalu lari darinya) yakni, ketika
seseorang sedang dihadapi oleh kematian, maka akan dikatakan kepadanya: inilah
yang engkdau hindari dan melarikan diri darinya.[22]
Ayat 20 yakni,
tiupan terakhir yang ditiup ketika hari pembangkitan. Yakni, hari yang
dijanjikan Allah kepada orang-orang kafir untuk mengadzab mereka.[23]
Ayat 21 penjelasan
tentang (pengiring) dan (penyaksi) makna dari kata yang artinya (pengiring)
adalah seorang malaikat yang menggiring manusia ke hadapan Allah, sedangkan
makna dari kata yang artinya (penyaksi) adalah seorang malaikat yang
mempersaksikan perbuatan mereka.[24]
Ayat 22 maksud
dari pada yang lalai dalam ayat ini adalah kaum musyrikin yakni yang mereka
sebelumnya berada dalam keadaan lalai akan akibat dari perbuatan mereka. Dalam
hal ini jumhur ulama berbeda pendapat akan ayat ini ditujukan kepada siapa, ada
yang menyebutkan keadaan ini untuk orang islam dan juga ada yang berpendapat
bahwa keadaan ini ditujukan kepada kaum kafir. Pendapat tentang kafir tadi oleh
Adh-Dhahhak.[25]
Penjelasan tentang
firman Allah yang artinya (Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam) adalah
penglihatanmu yang mengarah kepada timbanganmu ketika segala amal perbuatan
yang baik ataupun yang buruk diperbandingkan.[26]
Ayat 23 firman
Allah yang artinya (Dan yang menyertai dia berkata) yakni, seorang
malaikat yang diwakilkan untuk menemaninya. Dan pada makna firman Allah yang artinya
(inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku) yakni, catatan
seluruh perbuatannya, yang baik dan yang buruk, yang aku jaga dan aku simpan
dengan baik, tanpa tersentuh oleh siapapun.[27]
Surah
Al-A’la ayat 14-17:
Menurut Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuthi:
Ayat 14
(sesungguhnya beruntunglah) atau mendapat keberuntungan (orang yang
membersihkan diri) dengan cara beriman.[28]
Ayat 15 (dan dia
ingat naman Tuhannya) seraya mengagungkan-Nya (lalu dia salat) meksudnya
mengerjakan salat lima waktu, hal ini merupakan perkara akhirat, tetapi
orang-orang kafir Mekah berpaling daripadanya.[29]
Ayat 16 (tetapi
kamu sekalian lebih memilih) dapat dibaca tu-si-ruuna dan yu-si-ruuna
(kehidupan duniawi) daripada kehidupan ukhrawi.[30]
Ayat 17 (sedangkan
kehidupan akhirat) yang di dalamnya terdapat surga (adalah lebih baik dan lebih
kekal).[31]
Menurut Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni:
Ayat 14 sangat
beruntung orang yang mensucikan dirinya dengan iman dan mengikhlaskan amal
perbuatannya karena Allah.[32]
Ayat 15 dia
berharap keagungan Tuhannya dan kebesaran-Nya, lalu dia salat dengan khusyu’
untuk mentaati-Nya.[33]
Ayat 16 namun
kalian hai umat manusia lebih mengutamakan hidup yang fana ini atas akhirat
yang baka. Sehingga kalian sibuk dengan urusan duniawi dan lupa akhirat.[34]
Ayat 17 padahal
akhirat lebih baik dan lebih kekal daripada dunia. Dunia ini fana dan akhirat
baka.[35]
Menurut
Muhammad Quraish Shihab:
Ayat 14 & 15
sungguh telah beruntung di dunia dan di akhirat orang yang bersungguh-sungguh
menyucikan diri dan mengingat dengan hati serta menyebeut nama Tuhan
pemeliharanya dengan lidah. Lalu dia salat.[36]
Ayat 16 kamu tidak
melakukan kegiatan yang membawa keberuntungan, bahkan kamu senantiasa
mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat, padahal menurut ayat
selanjutnya.[37]
Ayat 17 bahwasanya
akhirat lebih baik dengan aneka kenikmatannya yang tidak dapat terlukiskan dan
lebih kekal jika dibandingkan dengan kehidupan dunia ini.[38]
Menurut Al-Imam
Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani:
Ayat 14 yakni,
mensucikan diri dari kesyirikan, lalu beriman kepada Allah, bertauhid
dengan-Nya, dan mengamalkan syariat-syariatnya.[39]
Ayat 15 yakni, dia
ingat nama Tuhannya dengan rasa takut sehingga menyembah dan salat kepada-Nya.
Ada pendapat yang mengatakan ia menyebut nama Tuhannya dengan lisannya dan ia
salat, yakni melaksanakan salat lima waktu, karena salat itu tidak akan
terlaksana kecuali dengan menyebutnya, yaitu dengan ucapan “Allahu Akbar”.[40]
Ayat 16 yang
dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang kafir, dan yang dimaksud
mengutamakan kehidupan dunia adalah merasa senang dan tenang dengannya, serta
berpaling dari kehidupan akhirat secara total. Pendapat lain mengatakan yang
dimaksud adalah seluruh manusia, dari orang mukmin dan kafir, dan yang dimaksud
dengan memilih kehidupan dunia di sini lebih umum dari itu semua, dari sesuatu
yang tidak dapat dihindari oleh mayoritas manusia untuk lebih memilih kehidupan
dunia dibanding kehidupan akhirat, dan senantiasa berupaya mendapatkan
manfaat-manfaatnya serta memberikan perhatian lebih daripada perhatiannya
terhadap ketaatan-ketaatan.[41]
Ayat 17 keadaan
bahwa kehidupan akhirat, yaitu surga lebih utama dan kekal dibanding kehidupan
dunia.[42]
Surah Al-Hadiid ayat 20-21:
Menurut Jalaluddin
As-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli:
Ayat 20 (Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan) sebagai perhiasan (dan bermegah-megahan antara
kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak) artinya
menyibukkan diri di dalamnya. Adapun mengenai ketaatan dan hal-hal yang
membantu menuju kepadanya termasuk perkara-perkara akhirat (seperti) kehidupan dunia yang menyilaukan kalian dan
kepunahannya sesudah itu bagaikan (hujan) bagaikan air hujan (yang
membuat orang-orang bertani merasa kagum) merasa takjub (akan
tanaman-tanamannya) yang tumbuh disebabkan turunnya hujan itu (kemudian
tanaman itu menjadi kering) lapuk dan kering (dan kamu lihat warnanya
yang kuning itu, kemudian menjadi hancur) menjadi keropos dan berjatuhan
ditiup angin (dan di akhirat ada azab yang keras) bagi orang-orang yang
lebih memilih keduniawian (dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya)
bagi orang-orang yang lebih memilih akhirat daripada dunia (dan kehidupan
dunia ini tidak lain) maksudnya bersenang-senang dalam dunia ini tiada lain
(hanyalah kesenangan yang menipu).[43]
Ayat 21 (berlomba-lombalah
kalian kepada ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit
dan bumi) seandainya jarak di antara keduanya dapat diukur lafaz al-ard
artinya luas (yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar).[44]
Menurut Muhammad Quraish Shihab:
Ayat
20 mengingatkan mereka yang beriman, tetapi jiwanya masih diselubungi oleh
kekikiran, lebih-lebih yang lengah atau tertipu oleh gemerlap hiasan duniawi,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia dalam kegemerlapannya yang menggiurkan.
Dengan sikap mereka seperti selama ini, tidak lain hanyalah permainan, yakni
aktivitas yang sia-sia tanpa tujuan. Apa yang dihasilkannya hanyalah hal-hal
yang menyenangkan hati. Tetapi tidak atau kurang penting sehingga melengahkan
pelakunya dari hal-hal yang penting atau yang lebih penting. Serta ia juga
merupakan perhiasan dan bermegah-megah antar mereka yang mengantar kepada
dengki dan iri hati serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta yang mengakibatkan
persaingan tidak sehat dan juga berbangga tentang sukses anak-anak keturunan,
padahal itu semua hanya bersifat sementara dan tidak kekal. Kehidupan dunia
ibarat hujan yang tercurah ke tanah, di mana tanam-tanaman yang ditumbuhkannya
mengagumkan para petani, tetapi setelah berlalu sekian waktu tanaman itu
menjadi kering atau tumbuh tinggi dan menguat, lalu dengan segera engkau, siapa
pun engkau, akan menguning, lalau beberapa saat kemudian ia menjadi layu dan
hancur. Demikian itulah perumpamaan keadaan dunia dari segi keindahan dan
kecepatan kepunahannya sedangkan di akhirat nanti ada azab yang keras bagi
mereka yang menuntut dunia dengan mengabaikan akhirat dan ada juga ampunan dari
Allah serta keridhaan-Nya bagi mereka yang menjadikan dunia arena dan sarena
perolehan kebahagiaan akhirat.[45]
Ayat
21 mengajak hamba-hamba Allah untuk bersegara, bagaikan ketersegeraan seorang
yang ingin mendahului orang lain, emnuju ampunan Allah swt. Dengan menyadari
kesalahan dan berlomba mencapai surga yang sangat agung yang lebarnya selebar
langit dan bumi. Surga itu telah disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang
beriman dengan benar kepada-Nya dan membenarkan Rasul-rasul-Nya. Ampunan dan
surga itu adalah karunia Allah swt diberikan-Nya kepada siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah swt adalah
Pemilik dan Penganugerah karunia yang Agung. Yakni, karena itu jangan heran dengan genjaran yang demikian besar.[46]
Pemilik dan Penganugerah karunia yang Agung. Yakni, karena itu jangan heran dengan genjaran yang demikian besar.[46]
Menurut Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni:
Ayat
20 ketahuilah hai manusia, bahwa kehidupan dunia ini hanyalah permainan yang
meletihkan kalian sebagaimana anak kecil melelahkan dengan mainannya,
menyibukkan manusoa sehingga ia lupa akhirat dan taat kepada Allah. Perhiasan
yang digunakan oleh orang-orang bodoh untuk berhias, sebagaimana pakaian indah,
kendaraan yang mahal dan rumah yang
tinggi. Kalian saling membanggakan nasab, harta dan anak. Kalian saling
membanggakan banyakanya harta dan anak. Bagaikan hujan deras yang jatuh ke
bumi, lalu tumbuh-tumbuhan yang tumbuh dari hujan itu mengagumkan para petani.
Lalu tumbuh-tumvuhan itu mengering setelah hijau dan segar. Lali kamu lihat
warnanya kuning setelah bersinar kemudian hancur menjadi rusak setelah
mengering dan diterbangkan oleh angin. Demikan sifat dunia. Balasan di akhirat
adakalanya siksa yang berat bagi orang-orang durhaka dan atau ampunan dan ridha
dari Allah bagi orang-orang yang berbakti. Kehidupan dunia ini dalam hal hina
dan kecepatan sirnanya, hanyalah kesenangan yang cepat berlalu. Menipu orang
yang lupa dan memperdaya orang yang bodoh.[47]
Ayat
21 hai umat manusia, hendaklah kalian berlomba dan segera melakukan amal-amal
saleh yang mendatangkan ampunan Tuhan kalian. Dan segeralah kalian menuju surga
yang luas dan lapang. Luasnya seperti tujuh langit dan bumi bersatu. Penyebutan
luasnya surga ini untuk mengingatkan, bahwa luasnya berkali-kali lipat. Allah
menyiapkan dan menyediakan surga untuk orang-orang mukmin yang percaya kepada
Allah dan para Rasul-Nya. Janji yang berupa ampunan dan surga adalah karunia
Allah yang luas. Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki dari para
hamba-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar. Allah mempunyai pemberian
yang luas dan kebaikan yang besar.[48]
Menurut Sayyid
Quthb:
Ayat
20 dunia merupakan permainan, sesuatu
yang melalaikan, perhiasan, sarana bermegah-megah, dan sarana untuk
berbangga-bangga. Inilah hakikat yang ada dibalik kesungguhan yang menyita
perhatian dan kepentingan. Kemudian Al-Qur’an mengilustrasikan dunia dengan
contoh yang mengesankan bahwa dunia itu seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning karena telah dipanen. Tanaman
itu memiliki batas akhir, cepat berakhir, dan batas akhirnya itu dekat.
Kemudian ia hancur seluruh rangkaian kehidupan dunia berakhir dalam sosok
dinamis seperti itu, yang berasal dari pemandangan yang biasa dilihat manusia.
Dunia berakhir dalam pemandangan kehancuran.[49]
Adapun
persoalan akhirat sungguh berbeda dari persoalan dunuia. Suatu persoalan yang
layak diperhitungkan, dicermati, dan dipersiapkan.[50]
Akhirat
tidak berakhir dalam sekejap seperti halnya dunia. Akhirat tidak berakhir
dengan kehancuran. Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu. Kesenangan ini tidaklah memiliki subtansi karena topangnya berupa
tipuan. Di samping itu, dunia pun melenakan dan melupakan, sehingga membawa
pemiliknya kepada bayang-bayang yang menipu.[51]
Ayat
21 perlombaan itu bukanlah tentang sendau gurau, permainan, untuk saling
membanggakan diri, dan untuk saling mengungguli jumlah. Juga bukan perlombaan
yang membolehkan orang keluar dari arena, atau perlombaan yang mengizinkan
sendau gurau dan permainan seperti di kalangan anak-anak. Tetapi, itu
perlombaan yang mengarah ke kerajaan yang luas yaitu “surga yang seluas
lengit dan bumi”.[52]
Kerajaan
yang luas di surga tersebut dapat dicapai oleh setiap orang yang
menginginkannya, dan orang yang berminat dapat berlomba-lomba mencapainya.
Adapaun kendaraannya ialah keimanan kepada Allah dan para Rasul-Nya. Sehingga
Allah memberikan karunia kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Karunia Allah
itu tidak terbatas dan orang tidak dilarang mendapatkannya. Ia dibolehkan dan
dianguerahkan bagi yang ingin dan pemenang lomba. Untuk inilah, maka
orang-orang hendaknya berlomba-lomba, bukan untuk meraih sejengkal tanah yang
terbatas waktunya dan unsur-unsurnya.[53]
C.
Pokok Kandungan Ayat
Surah Qaaf Ayat 19-23
Pada ayat-ayat sebelumnya, al-Qur’an menjelaskan tentang anggapan
orang-orang kafir yang menyatakan bahwa kebangkitan untuk memperoleh balasan
tidaklah mungkin terjadi, maka Allah membantah anggapan mereka dengan
membuktikan kekuasaannya-Nya dan ilmu-Nya. Kemudian Allah memberitahukan pula
kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan kebenaran ketika datang maut dikala
terjadinya hari kiamat. وَجَاءَتْ
سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ Pada konteks ayat ini Allah berfirman: Dan datanglah sakaratul maut,
saat ruh akan meninggalkan badan, kedatangannya itu dengan haq (pasti
datang). Ini berarti setiap orang, bahkan setiap yang bernyawa akan mengalami
sakaratul maut. Dan penderitaan ketika mati itu menyingkapkan bagimu keyakinan
yang telah kamu dustakan bahwa kebangkitan adalah hal yang tidak mungkin
diragukan lagi. ذلِكَ
مَاكُنْتَ مِنْهُ تَحِيْدُ Kebenaran yang
kamu hindari itu benar-benar telah datang kepadamu, maka tidak ada tempat
berlari dan tidak ada tempat berpaling, tidak ada tempat menghindar dan tidak
ada tempat untuk menyelamatkan diri. Dijelaskan dalam al-Qur’an, bagaimana rasa
sakit yang dirasakan oleh seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut :
وَلَوْ تَرى إِذِ الظّلِمُوْنَ فِى غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلئِكَةُ
بَاسِطُوْا أَيْدِهِمْ [الأنعام : ٩٣]
Artinya : “Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu
orang-orang yang zhalim berada dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang
para malaikat memukul dengan tangannya” (QS. Al-An’am:93)[54]
Penyifatan kehadiran sakaratul maut dengan al-haq dipahami oleh
Sayyid Quthub sebagai isyarat tentang keadaan jiwa manusia pada saat terjadinya
sakaratul maut itu. Yakni ketika itu dia akan melihat kebenaran dengan
sangat sempurna. Dia melihatnya tanpa tirai penghalang dan dia mengetahui apa
yang tadinya dia tidak ketahui serta apa yang tadinya ia ingkari, hanya saja
itu semua setelah terlambat dan tidak bermafaat lagi.
Kemudian, Allah SWT berfirman :
وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ ذلِكَ يَوْمُ الْوَعِيْدِ[55]
Dan setelah tiba masa kebangkitan, ditiuplah
oleh malaikat Israfil sangkakala untuk membangkitkan manusia dari kubur.
Itulah hari ancaman serta hari terpenuhinya janji. Ayat ini menyifati hari
peniupan sangkakala dengan hari terlaksananya ancaman, dan hari
terpenuhinya janji. Ketika Allah SWT telah memberi izin untk menetapkan
kematian atas semua makhluk, dan menetapkan batas akhir bagi segala urusan
dunia, maka Dia akan memerintahkan malaikat Israfil untuk meniup sangkakala.
Pada saat malaikat israfil meniup sangkakala itu, maka matilah segala yang
hidup (baik yang di langit maupun yang di bumi), kecuali yang memang
dikehendaki oleh-Nya, kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka
tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). Namun, menurut
hemat penulis yang paling terpenting dan yang wajib diyakini oleh setiap muslim
adalah bahwa ada waktu yang telah ditentukan oleh Allah SWT yang tidak satu
makhluk pun mengetahui kapan datangnya dimana manusia akan dibangkitkan untuk
mempertanggungjawabkan amal masing-masing, lalu menerima balasan dan
ganjarannya. Selanjutnya Allah berfirman;
لَقَدْ كُنْتَ فِيْ غَفْلَةٍ مِنْ هذَا فَكَشَفْنَاعَنْكَ غِطَآءَكَ
فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيْدٌ[56]
Ketika kematian menjemput seseorang, dikatakan kepadanya: Demi Allah, sungguh,
kamu ketika hidup di dunia dahulu berada dalam keadaan lalai
tentang (peristiwa) yang sedang kamu lihat ini, maka sekarang Kami
singkapkan tutup (yang menutupi) matamu, sehingga penglihatanmu pada hari ini
sangat tajam. Dengan demikian kamu benar-benar yakin. Akan tampak oleh
manusia segala sesuatu yang tidak tampak olehnya dalam kehidupan dunia, ketika
segala kesibukan dunia itu telah lepas dari mereka, maka akan tampak olehnya seluruh
perbuatannya, sehingga ia tidak melihat satu keburukan pun, melainkan ia akan
merasakan penyesalan yang amat sangat, karena keburukannya itulah yang
menyeretnya tenggelam kedalam neraka.[57]
Pada saat itulah dikatakan kepada mereka; “wakafa binafsika al-yauma
hasiba” (cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu.)
Allah SWT menjadikan kelalaian bagai tutup yang menutupi seluruh jasad manusia
atau sebagai selaput yang menutupi kedua mata manusia, sehingga ia tidak dapat
melihat suatu apapun. Maka apabila
hari kiamat terjadi, sadarlah manusia dan hilanglah kelalaian yang menutupi
dirinya sehingga ia dapat melihat kebenaran yang dahulu ia tidak dapat
melihatnya. Ayat ini menunjukkan bahwa kelak di hari Kemudian akan nampak
hakikat-hakikat yang tersembunyi dalam kehidupan dunia ini. Kalau di dunia
seseorang belum melihat malaikat, maka disana ia akan dapat melihatnya. Kalau
disini banyak yang menduga sebab-sebab lahiriah adalah faktor yang menghasilkan
sesuatu, maka disana ia akan menyadari bahwa secara penuh bahwa Allah adalah
penyebab semua sebab. “Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat. Dan apa
yang kamu tidak lihat.” (QS. al-Haqqah:38-39).[58]
Surah Al-A’la Ayat 14-17
Kandungan
ayat ini adalah pahala Allah di akhirat lebih baik dan lebih kekal. Kehidupun dunia itu rendah dan fana, sementara akhirat
mulia dan langgeng. Bagaimana mungkin orang yang berakal lebih memilih yang
fana daripada yang kekal; mementingkan apa yang segera hilang daripada
kehidupan yang kekal dan langgeng?[59]
Oleh karena itu, ayat ini
memberikan dorongan kepada manusia agar lebih memilih dan mengutamakan akhirat
daripada dunia.[60]
Surah
Al-Hadiid Ayat 20-21
Pokok kandungan ayat ini adalah
sungguh beruntung orang yang membelanjakan harta kekayaannya dalam
bermacam-macam kebaikan sebelum ia meninggal dunia, memperbanyak amalan ukhrawi
untuk bekal di alam kubur dan akhirat nanti, dan menjalankan segala perintah
Allah serta menjauhi larangan-larangan-Nya sebelum ia mati. Semua yang telah
disebutkan di atas adalah menjadi dalil bahwa kehidupan dunia ini tidak
semuanya tercela.[61]
Oleh karena itu, bersegeralah menuju
kepada kebaikan dengan mengerjakan keta’atan dan meninggalkan berbagai larangan
yang dapat menghapuskan dosa dan kesalahan, dan mendapatkan pahala serta
derajat yang tinggi untuk bekal kita di alam selanjutnya (akhirat) karena
kehidupan dunia ini hanya bersifat sementara (fana) dan alam akhirat itu pasti
datang dan sudah dekat juga kekal adanya.[62]
No comments:
Post a Comment