Friday, May 20, 2016

Fikih tentang NIKAH-Fikih Munakahat



BAB I
PENDAHULUAN
  A.    Latar Belakang
Dalam pandangan islam pernikahan itu bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama. Oleh karena pernikahan itu dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah nabi SAW dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan petujuk nabi.[1]
Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur hukum.[2]
Maka dalam makalah ini akan ada penjelasan lebih detai tentang pernikahan.
  B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Nikah, Tujuan, Hikmah, Rukun, dan Syarat Sah?
2.      Apa Wali, Urutan, Jenis, dan Dalil Tentang Wali Hakim?
  C.    Batasan Masalah
1.      Pengertian Nikah, Tujuan, Hikmah, Rukun, dan Syarat Sah
2.      Wali, Urutan, Jenis, dan Dalil Tentang Wali Hakim
  D.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Nikah, Tujuan, Hikmah, Rukun, dan Syarat Sah
2.      Untuk Mengetahui Wali, Urutan, Jenis, dan Dalil Tentang Wali Hakim


BAB II
PEMBAHASAN
  A.    PengertianNikah
Menurut bahasa, nikah berarti penggabungan atau pencampuran. Sedangkan menurut istilah syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang karenanya hubungan badan menjadi halal.[3]
Kata nikah berasal dari bahasa Arab nikaahun yang merupakan masdar atau kata asal dari kata nakaha. Kemudian diterjemahkan kedalam bahasa indonesia sebagai perkawinan.[4]
Pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya, sehingga satu sama lain saling membutuhkan sehingga menjadi rumah tangga.[5]
Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu, nikah juga bisa diartikan sebagai bersetubuh.[6]
  B.     Tujuan Nikah
Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Namun demikian, ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagian dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.[7]
Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW menyinggung dalam hadis:
أَنْكِحُواالمَرْةَ لِاَرْبَعٍ لِمَا لِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَ لِدِيْنِهَا
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya:
“Nikahilah perempuan karena empat perkara, yaiu karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits di atas dinyatakan bahwasanya hendaklah pilihan utaman bagi yang ingin menikah untuk mengutamakan empat hal tersebut.[8]
Melalui hadits tersebut, nabi Muhammad SAW menganjurkan bahwa hendaklah tujuan dan pertimbangan agama serta akhlak yang menjadi tujuan utama dalam pernikahan. Hal ini karena kecantikan atau kegagahan, harta dan pangkat serta lainnya tidak menjamin tercapainya kebahagiaan tanpa didasari akhlak.[9]
Adapun tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Melaksanakan Libido Seksualis
Libido yakni dorongan nafsu seksual.[10] Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai insting seks. Dengan pernikahan, seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang perempuan dengan sah dan begitu pula sebaliknya.
Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 223:
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏds%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 ...
223. Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu...[11]

Dalam riwayat disebutkan bahwa Umar datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, celakalah saya!” Nabi bertanya: “Apa yang menyebabkan kamu celaka?” Ia menjawab: “Aku pindahkan sukdufku (berjimak dengan istri dari belakang) tadi malah.” Nabi SAW terdiam, dan turunlah ayat tersebut di atas yang kemudian beliau lanjutkan: “Berbuatlah dari muka ataupun dari belakang, tetapi hindarkanlah dubur (anus) dan bilamana (istri) sedang haid.”[12]
2.      Memperoleh Keturunan
Insting untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanat dari Allah SWT. Walaupun dalam kenyataannya ada seorang yang ditakdirkan untuk tidak mempunyai anak.
Allah SWT berfirman dalam surah Asy-Syura: 49-50:
49. Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki,
50. Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.[13]
3.      Memperoleh Keturunan yang Shaleh
Keturunan yang shaleh/shalehah bisa membahagiakan kedua orang tua, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dari anak yang diharapkan oleh orang tua hanyalah ketaatan, akhlak, ibadah dan sebagainya.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِذَامَاتَ ابْنُ اَدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيِةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.(رواه البخارى)
Artinya:
“Jika seseorang anak Adam telah meninggal, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga perkara, yaitu: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakannya.”
Menyikapi hadits tersebut, maka untuk mendapatkan keturunan yang shaleh kita dilarang menikahi perempuan dari keluarga dekat (mahram), ataupun perempuan yang buruk akhlaknya. Hanya anak yang shalehlah merupakan bagian dari amal seseorang yang akan bermanfaat setelah ia meninggal.[14]
4.      Memperoleh Kebahagiaan dan Ketenteraman
Dalam hidup berkeluarga perlu adanya ketenteraman, kebahagiaan dan ketenangan lahir batin. Dengan keluarga yang bahagia dan sejahtera akan dapat mengantarkannya pada ketenangan ibadah.
Allah SWT berfirman dalam surah Ar-Rum ayat 21:
21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[15]
5.      Mengikuti Sunnah Nabi
Nabi Muhammad SAW menyuruh kepada umatnya untuk menikah sebagaimana disebutkan dalam hadits.
اَنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِىْ فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِىْ فَلَيْسَ مِنِّىْ (رواه ابن ماجه)
                        Artinya:
                        “Nikah itu adalah sunahku, maka barangsiapa yang tidak mau  mengikuti sunnahku, dia bukan umatku.”[16]
6.      Menjalankan Perintah Allah SWT
Allah SWT menyuruh kita untuk menikah apabila telah mampu.
Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 3:

3. ...Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi...
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ لَنَارَسول اللهِ صلَّى اللهُ عليه و سلّم: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءِةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْ بَصَرِ وَاَحْضَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِاالصَوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءُ (متّفق عليه)
                        Artinya:
                        Dari Abdullah bin Mas’ud, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Wahai kaum muda! Barangsiapa yang sudah mempu memberi nafkah, maka nikahlah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan faraj. Barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasalah, karena puasa merupakan benteng baginya.”[17]

  C.    Hikmah Nikah
Adapun hikmah dari pernikahan adalah
1.      Nikah adalah jalan alami yang paling banyak dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan nikah badan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat yang haram.
2.      Nikah jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia.
3.      Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaaan-perasaan ramah, cinta, dan sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4.      Meyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguhdalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia akan banyak bekerja dan mencari penghasilan.[18]
5.      Nikah menghindari diri dari perzinaan.
6.      Nikah dapat menjaga kemurnian nasab. Mendapatkan keturunan yang sah hanya dapat diperoleh melalui perkawinan yang sah pula. Melalui perkawinan inilah dapat diharapkan lahirnya nasab yang sah pula sebab wanita yang mendapatkan benih dari saluran yang resmi, mampu memberikan keturunan yang dijamin orisinalitasnya.[19]
  D.    Rukun Nikah
Adapun rukun nikah adalah
1.      Mempelai Laki-laki
2.      Mempelai Perempuan
3.      Wali
4.      Dua orang saksi
5.      Shigat ijab kabul[20]
  E.     Syarat Sah Nikah
Syarat sah nikah adalah syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu syarat-syarat bagin calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.
Syarat-syarat Suami
1.      Bukan mahram dari calon istri
2.      Tidak terpaksa, atas kemauan sendiri
3.      Orangnya tertentu, jelas orangnya
4.      Tidak sedang ihram
Syarat-syarat Istri
1.      Tidak ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah
2.      Kemauan sendiri
3.      Jelas orangnya
4.      Tidak sedang beihram
Syarat-syarat Wali
1.      Laki-laki
2.      Baligh
3.      Waras akalnya
4.      Tidak dipaksa
5.      Adil
6.      Tidak sedang ihram
Syarat-syarat Saksi
1.      Laki-laki
2.      Baligh
3.      Waras akalnya
4.      Adil
5.      Dapat mendengar dan melihat
6.      Tidak dipaksa
7.      Tidak sedang ihram
8.      Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul[21]
Syarat Ijab
1.       Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
  1. Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
  2. Diucapkan oleh wali atau wakilnya
  3. Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(nikah kontrak)
  4. Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
Contoh bacaan Ijab: Wali/wakil Wali berkata kepada bakal suami:"Aku nikahkan/kahwinkan engkau dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai".
Syarat qabul
1.       Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
  1. Tiada perkataan sindiran
  2. Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
  3. Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
  4. Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
  5. Menyebut nama bakal isteri
  6. Tidak diselangi dengan perkataan lain
Contoh sebutan qabul (akan dilafazkan oleh bakal suami) "Aku terima nikah/perkahwinanku dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai isteriku".[22]
  F.     Wali
Secara epistemologi wali mempunyai arti pelindung, penolong, atau penguasa.[23] Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.[24]
Pengertian wali nikah adalah orang yang menikahkan seorang wanita dengan seorang pria. Karena wali nikah dalam Hukum perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya. hukum nikah tanpa wali nikah berarti pernikahannya tidak sah.[25]
Berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW:
قَالَتْ: قَالَ رسول اللهِ صلَّى اللهُ عليه و سلّم اَيُّمَاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرٍ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَا حُهَا بَاطِلٌ, ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, وَاِنْ دَخَلَ بِهَا قَا المَهْرُ لَهَ بِمَا اَصَابَ مِنْهَا, فَاِنِ اشْتَجْرُوا فَا السُّلْطَانُ وَلِيُ مَنْ لَا وَلِيَ لَهُ
Artinya:
”Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Siapa pun waniya yang kawin tanpa izin walinya, maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Kemudian apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.[26]
Adapun urutan-urutan wali nikah adalah
1.      Ayah
2.      Ayahnya ayah (kakek) terus ke atas
3.      Saudara laki-laki seayah seibu
4.      Saudara laki-laki seayah saja
5.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
6.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7.      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
8.      Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9.      Anak laki-laki no.7
10.  Anak laki-laki no.8
11.  Saudara laki-laki ayah, seayah seibu
12.  Saudara laki-laki ayah, seayah saja
13.  Anak laki-laki no. 11
14.  Anak laki-laki no. 12
15.  Anak laki-laki no. 13[27]
Adapun wali terbgai menjadi empat jeni, yaitu wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.
1.      Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali menurut urutan sebagai berikut:
1) Pria yang menurunkan calon mempelai wanita dari keturunan pria murni (yang berarti dalam garis keturunan itu tidak ada penghubung yang wanita) yaitu: ayah, kakek, dan seterusnya ke atas.
2) Pria keturunan dari ayah mempelai wanita dalam garis murni yaitu: saudara kandung, anaak dari saudara seayah, anak dari saudara kandung anak dari saudara seayah, dan seterusnya ke bawah.
3) Pria keturunan dari ayahnya ayah dalam garis pria murni yaitu: saudara kandung dari ayah, saudara sebapak dari ayah, anak saudara  kandung dari ayah, dan setrusnya ke bawah.
Apabila wali tersebut di atas tidak beragama Islam sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau wali-wali tersebut di atas belum baligh, atau tidak berakal, atau rusak pikiranya, atau bisu yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidak bisa menulis, maka hak menjadi wali pindah kepada wali berikutnya.
2.      Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi, Rasulullah SAW bersabda:
فَاالسُلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَّ وَلِيَّ لَهُ
"maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.”[28]
Adapun yang di maksud dengan wali hakim adalah  orang  yang  di angkat oleh pemerintah (Menteri Agama) untuk bertindak sebagai  sebagai wali dalam suatu pernikahan, yaitu apabila seorang calon mempelai wanita dalam kondisi:
1)      Tidak mempunyai wali nasab sama sekali, atau
2)      Walinya mafqud (hilang tidak diketahui keberadaanya). atau
3)      Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau
4)      Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul qosri (sejauh perjalan yang membolehkan sholat sholat qasar yaitu 92,5 km) 
5)      Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh di jumpai.
6)      Wali adhol, artinya tidak bersedia atau menolak untuk menikahkanya.
7)      Wali sedang melaksanakan ibadah (umrah) haji atau umroh atau.
Apabila kondisinya salah satu dari tujuh point di atas, maka yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim.  Tetapi di kecualikan bila, wali nasabnya telah mewakilakan kepada orang lain untuk bertindak sebagai wali, maka orang yang mewakilkan itu yang berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut.
Adapun dalil yang berkaitan dengan wali hakim, adalah hadis dari Aisyah ra:

أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن استجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه الأربعة و أحمد)

Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin walinya, nikahnya batal, maka dia menerima mahar sekedar untuk menghalalkan farjinya. Apabila walinya enggan atau menolakmenikahkanya, maka sultan (hakim)lah yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali.[29]
3.      Wali Tahkim
Wali tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun calon pengangkatannya  (cara tahkim) adalah calon suami mengucapkan tahkim, dengan calon istri dengan kalimat: “Saya angkat bapak/saudara untuk menikahkan saya pada si… (calon istri) dengan mahar…dan putusan bapak/saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu calon istri mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “saya terima tahkim ini.”
Wali tahkim ini terjadi apabila:
1)      Wali nasab tidak ada,
2)      Wali nasab ghaib, atau bepergian sejauh dua hari perjalanan, serta tidak ada wakilnya disitu.
3)      Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).[30]
4.      Wali Maula
Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan yang dimaksud terutama adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
Diceritakan dari Said bin Khalid, dari Ummu Qais binti Qaridh, ia berkata kepada Abdur Rahman bin Auf, “Lebih dari seorang yang datang meminang saya. Oleh karena itu, nikahkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai. Kemudian Abdur Rahman bertanya, “apakah berlaku juga bagi diri saya? Ia menjawab “ ya. “lalu kata Abdur Rahman, “Kalau begitu aku nikahkan diri saya dengan kamu.”
Ada sebuah hadis rasulullah yang diriwayatkan dari Anas yang artinya
”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memerdekakan Sofiyah lalu dijadikan istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya serta mengadakan walimahnya dengan seekor kambing.”
Allah SWT berfirman dalam surah An-Nur ayat 32
32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
Dengan demikian, Allah tidak melarang mereka yang menikahkan budak perempuan untuk dirinya sendiri atas dasar suka sama suka dan saling rela di antara keduanya.

 
BAB III
PENUTUP
  A.    Simpulan
Jadi, pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali menurut sifat dan syarat yang telah ditetapkan untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya. Rukunnya ada lima dan sayarat sahnya ialah syarat yang meliputi daripada rukunya yang lima. Tujuan menikah salah satunya menyalurkan nafsu seksual. Hikmah dari menikah salah satunya menyalurkan nafsu seksual ke tempat yang halal. Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki. Wali terbagi menjadi empat yakni, wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.
  B.     Saran
Semoga makalah ini bermanfaat begi pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.


[1] Rohai Yhati, Pernikahan Dalam Islam. http://yrohaii.blogspot.co.id/ dikutip 17 Mei 2016 pukul 02:07
[2] Ibid.
[3] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001, hal. 3
[4] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000, hal. 11
[5] Slamet Abiddin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hal.11-12
[6] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal. 7
[7] Slamet Abiddin & Aminuddin, Fiqih Munakahat... hal.12 
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Annas Syah Fatihahtu R. G. & A. Soenaryo, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: CV Cahaya Agency, Tt, hal. 330
[11] Slamet Abiddin & Aminuddin, Fiqih Munakahat... hal.13  
[12] Shaleh, Dahlan, dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran Edisi Kedua, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2000, hal. 75
[13]  Slamet Abiddin & Aminuddin, Fiqih Munakahat... hal.13-14 
[14] Ibid., hal. 14-15
[15] Ibid., hal. 15-16
[16] Ibid., hal. 16
[17] Ibid., hal. 17-18
[18] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat... hal. 19-20
[19] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan... hal. 27-28
[20] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat... hal. 12
[21] Ibid., hal. 13-14
[22] Unknown, Pernikahan Dalam Islam, http://inasukarno.blogspot.co.id/p/rukun-syarat-sah-nikah.html dikutip 16 Mei 2016 pukul 21:55
[23]  Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat... hal. 89
[24] Ibid.
[25] Serizawa, Hukum Nikah: Pengertian Wali Nikah dan Urutannya,
http://www.hukumsumberhukum.com/2014/08/hukum-islam-pengertian-wali-nikah-dan.html#_ dikutip 16 Mei 2016 pukul 22:48
[26] Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Jilid 2, Semarang: CV Asy-Syifa, 1990, hal. 367
[27] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat... hal. 95
[28]  Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat... hal. 97
[29] Hakam Abbas, Macam-Macam Wali Dalam Pernikahan,
[30] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat... hal. 98

No comments:

Post a Comment