BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam pandangan islam pernikahan itu
bukan hanya urusan perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan
budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama. Oleh karena pernikahan itu
dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah nabi SAW dan dilaksanakan
sesuai dengan petunjuk Allah dan petujuk nabi.[1]
Rukun dan syarat menentukan suatu
perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan
tersebut dari segi hukum. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti
syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu
berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur hukum.[2]
Maka dalam makalah ini akan ada
penjelasan lebih detai tentang pernikahan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
Pengertian Nikah, Tujuan, Hikmah, Rukun, dan Syarat Sah?
2.
Apa
Wali, Urutan, Jenis, dan Dalil Tentang Wali Hakim?
C.
Batasan Masalah
1.
Pengertian
Nikah, Tujuan, Hikmah, Rukun, dan Syarat Sah
2.
Wali,
Urutan, Jenis, dan Dalil Tentang Wali Hakim
D.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
Mengetahui Pengertian Nikah, Tujuan, Hikmah, Rukun, dan Syarat Sah
2.
Untuk
Mengetahui Wali, Urutan, Jenis, dan Dalil Tentang Wali Hakim
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PengertianNikah
Menurut
bahasa, nikah berarti penggabungan atau pencampuran. Sedangkan menurut istilah
syariat, nikah berarti akad antara pihak laki-laki dan wali perempuan yang
karenanya hubungan badan menjadi halal.[3]
Kata
nikah berasal dari bahasa Arab nikaahun yang merupakan masdar
atau kata asal dari kata nakaha. Kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa indonesia sebagai perkawinan.[4]
Pernikahan
adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas dasar kerelaan
dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali menurut sifat dan
syarat yang telah ditetapkan untuk menghalalkan pencampuran antara keduanya,
sehingga satu sama lain saling membutuhkan sehingga menjadi rumah tangga.[5]
Makna
nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat
ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan kabul (pernyataan
penerimaan dari pihak lelaki). Selain itu, nikah juga bisa diartikan sebagai
bersetubuh.[6]
B.
Tujuan Nikah
Tujuan
nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan
melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Namun demikian, ada juga tujuan
umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan,
yaitu untuk memperoleh kebahagian dan kesejahteraan lahir batin menuju
kebahagiaan dan kesejahteraan dunia akhirat.[7]
Dalam
hal ini Nabi Muhammad SAW menyinggung dalam hadis:
أَنْكِحُواالمَرْةَ لِاَرْبَعٍ لِمَا
لِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَ لِدِيْنِهَا
(رواه البخارى و مسلم)
Artinya:
“Nikahilah perempuan karena empat perkara, yaiu karena hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya.”
(H.R.
Bukhari dan Muslim)
Dalam
hadits di atas dinyatakan bahwasanya hendaklah pilihan utaman bagi yang ingin
menikah untuk mengutamakan empat hal tersebut.[8]
Melalui
hadits tersebut, nabi Muhammad SAW menganjurkan bahwa hendaklah tujuan dan
pertimbangan agama serta akhlak yang menjadi tujuan utama dalam pernikahan. Hal
ini karena kecantikan atau kegagahan, harta dan pangkat serta lainnya tidak
menjamin tercapainya kebahagiaan tanpa didasari akhlak.[9]
Adapun
tujuan pernikahan secara rinci dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Melaksanakan Libido Seksualis
Libido yakni dorongan nafsu seksual.[10]
Semua manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai insting seks. Dengan
pernikahan, seorang laki-laki dapat menyalurkan nafsu seksualnya kepada seorang
perempuan dengan sah dan begitu pula sebaliknya.
Firman Allah SWT dalam surah
Al-Baqarah ayat 223:
öNä.ät!$|¡ÎS Ó^öym öNä3©9 (#qè?ù'sù öNä3rOöym 4’¯Tr& ÷Läê÷¥Ï© ( (#qãBÏd‰s%ur ö/ä3Å¡àÿRL{ 4 ...
223. Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu
bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu...[11]
Dalam
riwayat disebutkan bahwa Umar datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata: “Ya
Rasulullah, celakalah saya!” Nabi bertanya: “Apa yang menyebabkan kamu celaka?”
Ia menjawab: “Aku pindahkan sukdufku (berjimak dengan istri dari belakang) tadi
malah.” Nabi SAW terdiam, dan turunlah ayat tersebut di atas yang kemudian
beliau lanjutkan: “Berbuatlah dari muka ataupun dari belakang, tetapi
hindarkanlah dubur (anus) dan bilamana (istri) sedang haid.”[12]
2. Memperoleh
Keturunan
Insting
untuk mendapatkan keturunan juga dimiliki oleh pria maupun wanita. Akan tetapi,
perlu diketahui bahwa mempunyai anak bukanlah suatu kewajiban melainkan amanat
dari Allah SWT. Walaupun dalam kenyataannya ada seorang yang ditakdirkan untuk
tidak mempunyai anak.
Allah SWT
berfirman dalam surah Asy-Syura: 49-50:
49. Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan
bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak
perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada
siapa yang Dia kehendaki,
50.
Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa)
yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.[13]
3. Memperoleh
Keturunan yang Shaleh
Keturunan
yang shaleh/shalehah bisa membahagiakan kedua orang tua, baik di dunia maupun
di akhirat kelak. Dari anak yang diharapkan oleh orang tua hanyalah ketaatan,
akhlak, ibadah dan sebagainya.
Nabi
Muhammad SAW bersabda:
إِذَامَاتَ ابْنُ اَدَمَ اِنْقَطَعَ
عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيِةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ
اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ.(رواه البخارى)
Artinya:
“Jika
seseorang anak Adam telah meninggal, maka putuslah semua amalnya kecuali tiga
perkara, yaitu: sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang
mendoakannya.”
Menyikapi
hadits tersebut, maka untuk mendapatkan keturunan yang shaleh kita dilarang
menikahi perempuan dari keluarga dekat (mahram), ataupun perempuan yang buruk
akhlaknya. Hanya anak yang shalehlah merupakan bagian dari amal seseorang yang
akan bermanfaat setelah ia meninggal.[14]
4. Memperoleh
Kebahagiaan dan Ketenteraman
Dalam hidup berkeluarga perlu adanya
ketenteraman, kebahagiaan dan ketenangan lahir batin. Dengan keluarga yang
bahagia dan sejahtera akan dapat mengantarkannya pada ketenangan ibadah.
Allah SWT berfirman dalam surah
Ar-Rum ayat 21:
21. Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[15]
5. Mengikuti
Sunnah Nabi
Nabi
Muhammad SAW menyuruh kepada umatnya untuk menikah sebagaimana disebutkan dalam
hadits.
اَنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِىْ فَمَنْ لَمْ
يَعْمَلْ بِسُنَّتِىْ فَلَيْسَ مِنِّىْ (رواه ابن ماجه)
Artinya:
“Nikah
itu adalah sunahku, maka barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku, dia bukan umatku.”[16]
6. Menjalankan
Perintah Allah SWT
Allah SWT menyuruh kita untuk menikah apabila telah mampu.
Allah SWT berfirman dalam surah An-Nisa ayat 3:
3. ...Maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi...
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ
لَنَارَسول اللهِ صلَّى اللهُ عليه و سلّم: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ
اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءِةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْ بَصَرِ
وَاَحْضَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِاالصَوْمِ فَاِنَّهُ
لَهُ وِجَاءُ (متّفق عليه)
Artinya:
Dari
Abdullah bin Mas’ud, “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda kepadaku, “Wahai
kaum muda! Barangsiapa yang sudah mempu memberi nafkah, maka nikahlah. Karena
sesungguhnya pernikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan faraj.
Barangsiapa yang tidak mampu, maka berpuasalah, karena puasa merupakan benteng
baginya.”[17]
C.
Hikmah Nikah
Adapun hikmah dari pernikahan adalah
1.
Nikah
adalah jalan alami yang paling banyak dan sesuai untuk menyalurkan dan
memuaskan naluri seks dengan nikah badan kawin badan jadi segar, jiwa jadi
tenang, mata terpelihara dari yang melihat yang haram.
2.
Nikah
jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan,
melestarikan hidup manusia.
3.
Naluri
kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup dengan
anak-anak dan akan tumbuh pula perasaaan-perasaan ramah, cinta, dan sayang yang
merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
4.
Meyadari
tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak menimbulkan sikap rajin dan
sungguh-sungguhdalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. Ia akan cekatan
bekerja, karena dorongan tanggung jawab dan memikul kewajibannya sehingga ia
akan banyak bekerja dan mencari penghasilan.[18]
5.
Nikah
menghindari diri dari perzinaan.
6.
Nikah
dapat menjaga kemurnian nasab. Mendapatkan keturunan yang sah hanya dapat
diperoleh melalui perkawinan yang sah pula. Melalui perkawinan inilah dapat
diharapkan lahirnya nasab yang sah pula sebab wanita yang mendapatkan benih
dari saluran yang resmi, mampu memberikan keturunan yang dijamin orisinalitasnya.[19]
D.
Rukun Nikah
Adapun
rukun nikah adalah
1.
Mempelai
Laki-laki
2.
Mempelai
Perempuan
3.
Wali
4.
Dua
orang saksi
5.
Shigat
ijab kabul[20]
E.
Syarat Sah Nikah
Syarat
sah nikah adalah syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun perkawinan, yaitu
syarat-syarat bagin calon mempelai, wali, saksi, dan ijab kabul.
Syarat-syarat
Suami
1.
Bukan
mahram dari calon istri
2.
Tidak
terpaksa, atas kemauan sendiri
3.
Orangnya
tertentu, jelas orangnya
4.
Tidak
sedang ihram
Syarat-syarat
Istri
1.
Tidak
ada halangan syarak, yaitu tidak bersuami, bukan mahram, tidak sedang dalam iddah
2.
Kemauan
sendiri
3.
Jelas
orangnya
4.
Tidak
sedang beihram
Syarat-syarat
Wali
1.
Laki-laki
2.
Baligh
3.
Waras
akalnya
4.
Tidak
dipaksa
5.
Adil
6.
Tidak
sedang ihram
Syarat-syarat
Saksi
1. Laki-laki
2. Baligh
3. Waras akalnya
4. Adil
5. Dapat mendengar dan melihat
6. Tidak dipaksa
7. Tidak sedang ihram
8. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab kabul[21]
Syarat Ijab
1.
Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
- Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
- Diucapkan oleh wali atau wakilnya
- Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(nikah kontrak)
- Tidak secara taklik (tiada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafazkan)
Contoh
bacaan Ijab: Wali/wakil Wali berkata kepada bakal suami:"Aku nikahkan/kahwinkan
engkau dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran perkahwinannya
sebanyak RM 3000 tunai".
Syarat qabul
1.
Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan
ijab
- Tiada perkataan sindiran
- Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
- Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak)
- Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
- Menyebut nama bakal isteri
- Tidak diselangi dengan perkataan lain
Contoh
sebutan qabul (akan dilafazkan oleh bakal suami) "Aku terima
nikah/perkahwinanku dengan Diana Binti Daniel dengan mas kahwinnya/bayaran
perkahwinannya sebanyak RM 3000 tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti
Daniel sebagai isteriku".[22]
F. Wali
Secara epistemologi wali mempunyai arti pelindung, penolong, atau penguasa.[23]
Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.[24]
Pengertian wali nikah adalah orang yang menikahkan seorang wanita
dengan seorang pria. Karena wali nikah dalam Hukum perkawinan merupakan rukun
yang harus dipenuhi oleh calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya. hukum
nikah tanpa wali nikah berarti pernikahannya tidak sah.[25]
Berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW:
قَالَتْ:
قَالَ رسول اللهِ صلَّى اللهُ عليه و سلّم اَيُّمَاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرٍ
اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَا حُهَا بَاطِلٌ, ثَلَاثَ مَرَّاتٍ, وَاِنْ دَخَلَ بِهَا
قَا المَهْرُ لَهَ بِمَا اَصَابَ مِنْهَا, فَاِنِ اشْتَجْرُوا فَا السُّلْطَانُ
وَلِيُ مَنْ لَا وَلِيَ لَهُ
Artinya:
”Aisyah berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Siapa pun waniya yang kawin
tanpa izin walinya, maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali). Jika
suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya (wanita) karena apa
yang telah diperoleh daripadanya. Kemudian apabila mereka bertengkar, maka
penguasa menjadi wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.[26]
Adapun urutan-urutan wali nikah adalah
1. Ayah
2. Ayahnya ayah (kakek) terus ke atas
3. Saudara laki-laki seayah seibu
4. Saudara laki-laki seayah saja
5. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9. Anak laki-laki no.7
10. Anak laki-laki no.8
11. Saudara laki-laki ayah, seayah seibu
12. Saudara laki-laki ayah, seayah saja
13. Anak laki-laki no. 11
14. Anak laki-laki no. 12
15. Anak laki-laki no. 13[27]
Adapun wali terbgai
menjadi empat jeni, yaitu wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.
1. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang
yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita yang berhak menjadi wali
menurut urutan sebagai berikut:
1) Pria yang menurunkan calon
mempelai wanita dari keturunan pria murni (yang berarti dalam garis keturunan
itu tidak ada penghubung yang wanita) yaitu: ayah, kakek, dan seterusnya ke
atas.
2) Pria keturunan dari ayah
mempelai wanita dalam garis murni yaitu: saudara kandung, anaak dari saudara
seayah, anak dari saudara kandung anak dari saudara seayah, dan seterusnya ke
bawah.
3) Pria keturunan dari ayahnya
ayah dalam garis pria murni yaitu: saudara kandung dari ayah, saudara sebapak
dari ayah, anak saudara kandung dari ayah, dan setrusnya ke bawah.
Apabila wali tersebut di atas
tidak beragama Islam sedangkan calon mempelai wanita beragama Islam atau
wali-wali tersebut di atas belum baligh, atau tidak berakal, atau rusak
pikiranya, atau bisu yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidak
bisa menulis, maka hak menjadi wali pindah kepada wali berikutnya.
2. Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi, Rasulullah SAW bersabda:
فَاالسُلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَّ وَلِيَّ لَهُ
"maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya.”[28]
Adapun yang di
maksud dengan wali hakim adalah orang yang di angkat oleh
pemerintah (Menteri Agama) untuk bertindak sebagai sebagai wali dalam
suatu pernikahan, yaitu apabila seorang calon mempelai wanita dalam
kondisi:
1)
Tidak mempunyai wali nasab sama
sekali, atau
2)
Walinya mafqud (hilang tidak
diketahui keberadaanya). atau
3)
Wali sendiri yang akan menjadi
mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, atau
4)
Wali berada di tempat yang sejauh masafaqotul
qosri (sejauh perjalan yang membolehkan sholat sholat qasar yaitu 92,5
km)
5)
Wali berada dalam penjara atau
tahanan yang tidak boleh di jumpai.
6)
Wali adhol, artinya tidak bersedia
atau menolak untuk menikahkanya.
7)
Wali sedang melaksanakan ibadah
(umrah) haji atau umroh atau.
Apabila kondisinya salah satu dari tujuh point di atas, maka yang
berhak menjadi wali dalam pernikahan tersebut adalah wali hakim. Tetapi
di kecualikan bila, wali nasabnya telah mewakilakan kepada orang lain untuk
bertindak sebagai wali, maka orang yang mewakilkan itu yang berhak menjadi wali
dalam pernikahan tersebut.
Adapun dalil yang
berkaitan dengan wali hakim, adalah hadis dari Aisyah ra:
أيما امرأة
نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن
استجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه الأربعة و أحمد)
Apabila seorang
perempuan menikah tanpa izin walinya, nikahnya batal, maka dia menerima mahar
sekedar untuk menghalalkan farjinya. Apabila walinya enggan atau
menolakmenikahkanya, maka sultan (hakim)lah yang berhak menjadi wali bagi
perempuan yang tidak memiliki wali.[29]
3. Wali Tahkim
Wali tahkim,
yaitu wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri. Adapun calon
pengangkatannya (cara tahkim) adalah
calon suami mengucapkan tahkim, dengan calon istri dengan kalimat: “Saya
angkat bapak/saudara untuk menikahkan saya pada si… (calon istri) dengan
mahar…dan putusan bapak/saudara saya terima dengan senang.” Setelah itu
calon istri mengucapkan hal yang sama. Kemudian calon hakim itu menjawab, “saya
terima tahkim ini.”
Wali tahkim
ini terjadi apabila:
1)
Wali nasab tidak ada,
2)
Wali nasab ghaib, atau bepergian
sejauh dua hari perjalanan, serta tidak ada wakilnya disitu.
3)
Tidak ada qadi atau pegawai pencatat
nikah, talak, dan rujuk (NTR).[30]
4.
Wali Maula
Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya
bilamana perempuan itu rela menerimanya. Perempuan yang dimaksud terutama
adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.
Diceritakan dari Said bin Khalid, dari Ummu Qais binti Qaridh, ia
berkata kepada Abdur Rahman bin Auf, “Lebih dari seorang yang datang meminang
saya. Oleh karena itu, nikahkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai.
Kemudian Abdur Rahman bertanya, “apakah berlaku juga bagi diri saya? Ia
menjawab “ ya. “lalu kata Abdur Rahman, “Kalau begitu aku nikahkan diri saya
dengan kamu.”
Ada sebuah hadis rasulullah yang diriwayatkan dari Anas yang
artinya
”Sesungguhnya Rasulullah SAW telah memerdekakan Sofiyah lalu
dijadikan istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya serta
mengadakan walimahnya dengan seekor kambing.”
Allah SWT berfirman dalam surah An-Nur ayat 32
32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)
lagi Maha mengetahui.
Dengan demikian, Allah tidak melarang mereka yang menikahkan budak
perempuan untuk dirinya sendiri atas dasar suka sama suka dan saling rela di
antara keduanya.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Jadi,
pernikahan adalah suatu akad antara seorang pria dengan seorang wanita atas
dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak, yang dilakukan oleh wali menurut
sifat dan syarat yang telah ditetapkan untuk menghalalkan pencampuran antara
keduanya. Rukunnya ada lima dan sayarat sahnya ialah syarat yang meliputi
daripada rukunya yang lima. Tujuan menikah salah satunya menyalurkan nafsu
seksual. Hikmah dari menikah salah satunya menyalurkan nafsu seksual ke tempat
yang halal. Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang
melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki. Wali terbagi menjadi empat
yakni, wali nasab, wali hakim, wali tahkim dan wali maula.
B.
Saran
Semoga makalah
ini bermanfaat begi pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri.
[1] Rohai Yhati, Pernikahan Dalam Islam. http://yrohaii.blogspot.co.id/ dikutip 17 Mei 2016 pukul 02:07
[2]
Ibid.
[3] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2001, hal. 3
[4] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2000, hal. 11
[5] Slamet Abiddin & Aminuddin, Fiqih Munakahat 1, Bandung:
CV Pustaka Setia, 1999, hal.11-12
[6] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat; Kajian
Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, hal. 7
[7] Slamet Abiddin & Aminuddin, Fiqih Munakahat...
hal.12
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Annas Syah Fatihahtu R. G. & A. Soenaryo, Kamus
Ilmiah Populer, Surabaya: CV Cahaya Agency, Tt, hal. 330
[11] Slamet Abiddin & Aminuddin, Fiqih Munakahat...
hal.13
[12] Shaleh, Dahlan, dkk., Asbabun Nuzul; Latar Belakang
Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Quran Edisi Kedua, Bandung: CV Penerbit
Diponegoro, 2000, hal. 75
[13] Slamet Abiddin
& Aminuddin, Fiqih Munakahat... hal.13-14
[14] Ibid., hal. 14-15
[15] Ibid., hal. 15-16
[16] Ibid., hal. 16
[17] Ibid., hal. 17-18
[18] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat... hal.
19-20
[19] Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan... hal. 27-28
[20] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat...
hal. 12
[21] Ibid., hal. 13-14
[22] Unknown, Pernikahan Dalam Islam, http://inasukarno.blogspot.co.id/p/rukun-syarat-sah-nikah.html dikutip 16 Mei 2016 pukul 21:55
[23] Tihami &
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat... hal. 89
[24] Ibid.
[25] Serizawa, Hukum Nikah: Pengertian Wali Nikah dan
Urutannya,
http://www.hukumsumberhukum.com/2014/08/hukum-islam-pengertian-wali-nikah-dan.html#_ dikutip 16 Mei 2016 pukul 22:48
[26] Ibnu Rusyd, Terjemah Bidayatul Mujtahid, Jilid 2,
Semarang: CV Asy-Syifa, 1990, hal. 367
[27] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat...
hal. 95
[28] Tihami &
Sohari Sahrani, Fikih Munakahat... hal. 97
[29] Hakam Abbas, Macam-Macam Wali Dalam Pernikahan,
http://hakamabbas.blogspot.co.id/2014/03/macam-macam-wali.html dikutip 17 Mei 2016 pukul 01:32
WIB
[30] Tihami & Sohari Sahrani, Fikih Munakahat...
hal. 98
No comments:
Post a Comment