Monday, March 4, 2019

Tafsir Era Afirmatif

 
A.    Latar Belakang Klasifikasi Perkembangan Tafsir
Tafsir merupakan suatu cabang ilmu yang diniscayakan akan terus berkembang. Dari zaman ke zaman, umat muslim selalu meyakini salah satu diktum (proposisi) bahwa Al-Quran shalih li kulli zaman wa makan (Al-Quran selalu sesuai bagi setiap waktu dan tempat).[1] Oleh karena itu para mufassir akan terus menampilkan eksistensinya untuk terus mengungkap pesan-pesan illahi yang akan terus berkembang dari zaman ke zaman.
Terkait dengan klasifikasi perkembangan tafsir yang dilakukan oleh. Abdul Mustaqim, tentunya bukan suatu hal yang mudah, dimana beliau pasti mencurahkan segala pemikiran-pemikiran beliau sehingga beliau mampu mengklasifikasi perkembangan tafsir tersebut.
Kajian yang dilakukan oleh Abdul Mustaqim ini, menurut hemat penulis memberikan sumbangsih besar, yakni dengan adanya pemetaan yang dilakukan beliau atas kajian sejarah tafsir tersebut mempermudah orang-orang untuk mengetahui sejarah perkembangan tafsir dengan sangat mudah.
Abdul Mustaqim mengawali kajiannya terhadap sejarah tafsir ini, mulanya beliau memotret sejarah perkembangan tafsir sejak era Nabi hingga era modern-kotemporer dengan menggunakan perspektif the history of idea nya Ignaz Goldziher. Dari hasil penelusuran beliau atas sejarah tafsir, ditemukanlah fakta bahwa terjadi pergeseran paradigma dalam sejarah penafsiran Al-Quran, yang dapat dipetakan menjadi tiga babakan atau periode penafsiran Al-Quran dengan basis penalarannya masing-masing.[2]
Pertama, periode formatif, yakni penafsiran Al-Quran yang terjadi atau berlangsung di masa Nabi dan para Sahabat hingga era pasca sahabat. Pada periode ini, nalar yang digunakan dalam menafsirkan Al-Quran adalah nalar quasi-kritis.[3]
Kedua, periode afirmatif, yakni penafsiran yang terjadi pada abad pertengahan Islam, yang mendasarkan penafsirannya pada nalar ideologis.[4]
Ketiga, periode reformatif, yakni penafsiran Al-Quran yang terjadi pada abad modern-kotemporer. Pada periode ini, nalar yang digunakan dalam menafsirkan Al-Quran adalah nalar kritis.[5]
Melihat daripada gambaran klasifikasi di atas, menurut hemat penulis sangat penting untuk dikaji lebih mendalam. Yang pastinya akan memberikan wawasan yang sangat luas terhadap pemahaman perkembangan sejarah tafsir Al-Quran yang telah ditelusuri oleh Abdul Mustaqim ini.
Akan tetapi, penulis disini akan memfokuskan pembahasan klasifikasi sejarah perkembangan tafsir pada era Afirmatif, yang mana terjadi pada abad pertengahan Islam yang menggunakan nalar ideologis.
B.     Perkembangan Tafsir Era Afirmatif
Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, tradisi penafsiran Al-Quran terus berkembang. Hal ini terbukti dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang sangat beragam. Bahkan sejak abad ketiga hingga sekitar abad keempat hijriah bidang tafsir menjadi disiplin ilmu yang mendapat perhatian khusus dari para sarjana muslim. Setiap generasi muslim dari masa ke masa telah melakukan interpretasi dan reinterpretasi terhadap Al-Quran.[6]
Dalam peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan (antara abad III H/11 M/8 M-X H/11 M atau ada yang berpendapat mulai III H/ VIII M hingga pertengahan abad VIII H/XIV M) dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan, terutama di era Harun ar-Rasyid (786-808 M) dan al-Makmun (813-830 M).[7] Adapun pendapat Ali Hasan Al-Aridl dalam bukunya Sejarah dan Metodologi Tafsir yang dikutip oleh Azmi dan Mahlan bahwasanya perkembangan karya tafsir era pertengahan ini pada abad ke-12 sampai abad ke-18 Masehi.[8]
Tafsir era afirmatif yaitu tafsir yang ada pada masa pertengahan, sedangkan nalar Ideologis yaitu aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis tentang kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.[9]
Era afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis ini terjadi pada abad pertengahan Islam. Kecenderungan tafsir era afirmatif pada awalnya berangkat dari ketidakpuasan terhadap model tafsir bi al-matsur yang dipandang kurang memadai dan tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran. Sejak saat itu, kemudian muncul tafsir bi ar-rayi (rasio atau akal).[10] Akan tetapi, tradisi penafsiran pada era ini kemudian banyak didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik, madzhab, atau ideologi keilmuan tertentu, sehingga Al-Quran sering kali diperlakukan sekedar sebagai legitimasi bagi kepentingan-kepentingan tersebut. Para mufassir pada era ini pada umumnya sudah diselimuti “jaket ideologi” tertentu sebelum mereka menafsirkan Al-Quran. Akibatnya, Al-Quran cenderung “diperkosa” menjadi objek kepentingan sesaat untuk membela kepentingan subjek (penafsir dan penguasa).[11]
Pada era afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis ini, muncul fanatisme yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri, yang kemudian mengarah pada sikap taklid buta sehingga mereka nyaris tidak memiliki sikap toleransi terhadap yang lain dan kurang kritis terhadap kelompoknya sendiri. Akibatnya , bagi generasi ini, pendapat imam dan tokoh besar mereka sering kali menjadi pijakan dalam menafsirkan teks Al-Quran yang seolah-olah tidak pernah salah, bahkan diposisikan setara dengan posisi teks itu sendiri. Sebagai contoh adalah pernyataan Al-Karakhi, salah seorang pendukung madzhab Hanafi, yang mengatakan, Kullu ayah aw hadits yukhalifu ma ‘alaihi ash haabuna fahuwa mu’awwal aw mansukh (setiap ayat atau hadits yang menyalahi pendapat madzhab kami maka harus ditakwil atau di naskh (dihapus ketentuannya).[12]
Di sisi lain, sikap fanatisme madzhab dan sektarianisme[13] ini pada akhirnya melahirkan kelompok moderat yang berusaha mencari jalan tengah. Dari pergulatan pemikiran yang diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan dapat dibayangkan bagaimana implikasinya dalam penafsiran Al-Quran, apalagi ketika ada campur tangan politik dalam setiap ketegangan tersebut.[14]
Sektarianisme ini begitu kental mewarnai produk-produk tafsir. Kegiatan penafsiran Al-Quran seolah seolah tidak dilandasi oleh tujuan bagaimana menjadikan Al-Quran sebagai hidayah bagi manusia, melainkan sekadar sebagai alat legitimasi bagi disiplin ilmu tertentu yang dikuasai mufassirnya, atau untuk mendukung kekuasaan dan madzhab tertentu. Sebagai implikasinya, tolak ukur kebenaran penafsiran tergantung pada siapa penguasanya. Hal ini persis seperti yang dinyatakan oleh Hassan Hanadi: the validity of an interpretation lies in its power.[15]
C.    Metode Penafsiran
Tentunya ketika seorang mufassir ingin menafsirkan Al-Quran, terlebih dahulu menentukan sebuah metode yang ingin digunakan, dan bentuk apa yang digunakan dalam penafsirannya tersebut agar memudahkan dalam menafsirkan Al-Quran.
Tafsir era afirmatif, yakni pada era pertengahan ini, tentunya tidak akan lepas seorang mufassir daripada metode dan bentuk atau corak yang ia gunakan dalam menafsirkan Al-Quran.
Corak tafsir yang dimaksud disini adalah sifat khusus yang memberikan warna tersendiri pada tafsir. Sebagaimana sudah dimaklumi, bahwa tafsir merupakan sebagai bentuk ekspresi intelektual seorang mufasir dalam menjelaskan pengertian ajaran-ajaran Alquran sesuai dengan kemampuan manusianya, tentunya akan menggambarkan minat pengetahuan mufasirnya.[16]
Pada era afirmatif ini, sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya yang berjudul Epistemologi Tafsir Kotemporer, bahwasanya sumber penafsiran yang dilakukan pada abad atau era ini adalah akal lebih mendominasi daripada Al-Quran dan Sunnah.[17]
Adapun bentuk yang digunakan dalam tafsir era ini adalah berbentuk bi ar-ra’yi, yakni berdasarkan pemikiran. Dan metode yang digunakan adalah metode tahlili, yakni analisis kebahasaan dan cenderung mencocok-cocokkan dengan teori-teori dari disiplin keilmuan atau madzhab sang mufassir.[18]
Validitas penafsiran, kesesuaian antara hasil penafsiran dengan kepentingan penguasa, madzhab, dan ilmu yang ditekuni oleh para mufassir.
Karakteristik dan tujuan penafsiran, ideologis, sektarian, atornistik, repetitif, cenderung subjektif, penafsiran bertujuan untuk kepentingan kelompok, mendukung kekuasaan, madzhab atau ilmu yang ditekuni mufassir. Posisi mufassir sebagai subjek sementara teks sebagai objek.[19]
D.    Kitab-Kitab yang Muncul Pada Era Afirmatif
Berbagai corak dan ragam penafsiran muncul, terutama pada akhir masa Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah. Terlebih ketika penguasa pada masa khalifah kelima Dinasti Abbasiyah, yakni Khalifah Harun Al-Rasyid (785-809 M.) memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, yang kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Al-Makmun (813-830 M). Dunia Islam ketika itu benar-benar memimpin peradaban dunia. Dalam sejarah peta pemikiran Islam, periode ini dikenal sebagai zaman keemasan (the golden age atau al-‘ashr adz-dzahabi). Kitab-kitab tafsir di era keemasan Islam ini pun banyak bermunculan, antara lain: Tafsir Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ay Al-Qur’an karya Ibn Jarir ath-Thabari (w. 923 M); Al-Kasysyaf an Haqa’iq Al-Qur’an karya Abu al-Qasim Mahmud ibn ‘Umar az Zamakhsyari (w. 1144 M.) Mafatih al-Ghayb karya Fakhruddin ar-Razi (w. 1209 M.), dan Tafsir Jalalayn karya Jalaluddin Al-Mahalli (w. 1459 M.) dan Jalaluddin As-Suyuthu (w. 1505 M.).[20]
Bersamaan dengan itu, muncul juga tafsir-tafsir yang bercorak Syi’i, seperti Tafsir Al-Qur’an karya ‘Ali Ibrahim Al-Qummi (w. 939 M.), At-Tibyan fi Tafsir Al-Qur’an karya Muhammad ibn Al-Hasan Ath-Thusi (w. 1067 M.), Majma’ Al-Bayan li ‘Ulum Al-Qur’an karya Abu Ali Fadl Ath-Thabarsi (w. 1153M.), dan Ash-Shafi fi Tafsir Al-Qur’an karya Muhammad Murtadha Al-Kasyi (w. 1505 M).[21]
Selain itu, seiring dengan era penerjemahan karya-karya filsafat Yunani di dunia Islam, muncul pula tafsir-tafsir sufi-falsafi, seperti Tafsir Al-Qur’an karya Sahal Ibn Abdillah At-Tustari (w. 283 H.). Namun sayangnya, tafsir ini dinilai tidak memuaskan karena tidak lebih dari 200 halaman dan tidak lengkap mengapresiasi seluruh kandungan Al-Qur’an. Selain itu, muncul pula tafsir Haqa’iq At-Tafsir karya Abu Abdurrahman As-Sulami (w. 412 H.) akan tetapi, tafsir ini dinilai oleh Ibn Shalah dan Az-Zahabi sebagai tafsir yang banyak cacat, bahkan dituduh banyak bid’ah, berbau syiah, dan di dalamnya banyak terdapat hadits mawdhu’. Terkait dengan hal ini, Ibn Shalah menyatakan, “Saya temukan pendapat dari Imam Al-Wahidi bahwa Abdurrahman telah menulis kitab Haqaiq At-Tafsir, apabila ia berkeyakinan bahwa kitabnya itu adalah tafsir maka ia benar-benar telah kufur”. Komentar Ibn Shalah ini merupakan salah satu bukti bahwa klaim kufur terhadap para penafsir yang berbeda dengan ideologi madzhabnya cukup mengemuka di Abad pertengahan. Sementara Adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah Al-Huffaz yang dikutip Abdul Mustaqim berkomentar: “kitab Haqa’iq At-Tafsir banyak memuat ta’wil-ta’wil kaum bathini, kami memohon keselamatan kepada Allah dari hal itu.[22]
Selain itu, muncul pula kitab tafsir Latha’if Al-Isyarat karya Abdul Karim ibn Hawazan ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad Al-Qusyairi, yang populer dengan nama Zayn Al-Islam atau Al-Qusyairi (374 H- 465 H.). kitab ini dinilai positif oleh para ulama karena penafsirannya tidak menyimpang dan selalu berusaha mempertemukan antara dimensi syari’at dan hakikat, antara makna lahir dan makna batin. Selain itu, tafsir tersebut juga relatif steril dari pembelaan ideologi madzhab.[23]
Perkembangan berikutnya, masih dalam nalar ideologi sufi-falsafi, muncul tafsir Ibn Arabi (abad kelima hijriyah). Tafsir ini juga menuai banyak kritik dari para ulama, seperti dari Muhammad Abduh. Di dalam tafsir tersebut dinilai terdapat kerancuan antara pendapat-pendapat golongan batiniah dan kaum sufi. Pendapat-pendapat tersebut dinisbatkan kepada Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibn Arabi, padahal pendapat itu sebenarnya, adalah pendapat Imam Al-Qasyani Al-Bathini Asy-Syahir. Selain itu juga banyak penafsiran yang tidak sejalan dengan Al-Quran dan dipenuhi klaim pembelaan terhadap ajaran wahdah al-wujud. Sebagai contoh adalah ayat Wadzkur rabbaka watabattal ilaihi tabtiila yang terdapat dalam Q.S. Al-Muzammil. Ayat ini ditafsirkan dengan Nahnu khalaqnaakum falaw la tushaddiqun ditafsirkan dengan Nahnu khalaqnaa kum bi idzh-haarikum biwujudinaa, wazhuruurina fi shuwaarikum. Tafsir seperti ini jelas merupakan hasil interpretasi yang bias ideologi, yakni ideologi sufi tentang wahdat Al-Wujud.[24]
Berikutnya, muncul tafsir ‘Ara’is Al-Bayan fi Haqa’iq Al-Quran karya Ibn Abu An-Nashr Al-Buqla Asy-Syairazi (w. 606 H.) dan Al-Ta’wilat An-Najmiyyah karya Najmuddin Dayah (w. 654 H.). Sayangnya, Najmuddin Dayah meninggal sebelum menyelesaikan kitab tafsirnya. Kitab tafsir tersebut kemudian disempurnakan oleh ‘Ala’ Ad-Dawlah As-Samnani (w.732 H.).[25]
E.     Contoh Penafsiran
Penafsiran di era afirmatif ini telah diketahui bahwasanya mayoritas penafsiran telah dirasuki oleh roh-roh subjektif yang menghancurkan penafsiran dan menjadikan Al-Quran itu bukanlah sebuah petunjuk yang selalu sesuai zaman dan tempat
Adapun contohnya ialah:.
Terjemah:
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa.
Kaum rafidah (rafidhah ialah salah satu sekte syiah yang extrim). Rafidhah artinya menolak. Mereka disebut demikian karena menolak dan tidak mau mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Merka berkeyakinan: Nabi telah menunjuk Ali untuk menjadi khalifah untuk menggantikan beliau. Mereka menganggap sesat para sahabat Nabi yang tidak mau tunduk dan patuh kepada Ali, Al-Ghurabi menafsirkan dengan Abu Bakar dan Umar. Sehingga pengertian ini menurut mereka adalah, “celakalah Abu Bakar dan Umar sebenar-benar celaka”. Melihat penafsiran demikian, kelihatan bahwa subyektifitas demikian berawal dari fanatisme madzhab yang terlalu mendalam.[26]
Contoh lain, Mazdhab mu’tazilah misalnya, mereka adalah sekte yang terkenal di kalangan kaum muslimin yang menafsirkan Al-Quran dengan melampaui batas kewajaran. Mereka lebih senang menafsirkan ayat-ayat yang dapat diterima oleh akal dan pikiran semata.
Terjemah:
164. Dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
Penafsiran mereka, yang berbeda dengan penafsiran-penafsiran ulama lain, telah mengabaikan riwayat para tabi’in yang oleh kebanyakan mufasir telah diterima sebagai pegangan. Sekte ini juga mengingkari sifat-sifat pembicaraan Allah atau kalam dalam ayat ini. Penafsiran mereka disesuaikan dengan ideologi yang mereka yakini. Penafsiran yang demikian dapat dianggap sebagai kekeliruan, kepalsuan, dan makna yang dibuat-buat untuk mencapai tujuan mereka. Misalnya, sebagian mereka memandang Musa lah yang berbicara dengan Allah SWT bukan Allah yang berbicara kepada Musa. Dalam pernyataan Al-Quran ini, kata Allah dalam bahasa Arab adalah sebagai subjek dan Musa adalah sebagai objek menurut pandangan ahli tata bahasa dan para mufassir. Akan tetapi proposisi kaum mu’tazilah menyebutkan bahwa terma Allah adalah objek dan Musa adalah subjek. Penafsiran seperti ini tidak dapat diterima dan tidak diakui oleh kalangan ahl sunnah wa al-jamaah.[27]
Terjemah:
55. Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). (Al-Maidah ayat 55)
Dikatakan bahwa makna dari orang-orang yang beriman di sini adalah para imam golongan syiah yang dua belas. Ada lagi yang menafsirkan  yang tunduk dengan Sayyidina ‘Ali ra, karenanya ayat ini dijadikan dalil naqli bahwasanya Sayyidina ‘Ali seoranglah yang patut menjadi wali dari orang-orang Mukmin setelah Rasulullah.[28]
Sikap-sikap sektarianisme inilah yang mendorong lahirnya kritik dari para pemikir dan mufassir modern. Mereka berupaya mendekontruksi dan merekontruksi model penafsiran yang di nilai telah terlalu jauh menyimpang dari tujuan Al-Quran. Oleh karena itu, tradisi penafsiran era afirmatif ( era pertengahan) boleh dikatakan telah terkontaminasi oleh fanatisme madzhab dan kepentingan politik tertentu sehingga tampak sangan ideologis, subjektif..[29]
Menurut hemat penulis, dalam tafsir era pertengahan ini atau yang disebut oleh Abdul Mustaqim sebagai tafsir era afirmatif tidak semua tafsir di dalamnya yang terkontaminasi dengan subjektivitas para mufassir yang cenderung melenceng ketika menafsirkan Al-Quran.
Penulis pribadi sendiripun mewajarkan akan penafsiran yang cenderung subjektif pada masa ini, karena pada masa ini metode tafsir yang digunakan adalah metode tahlili, yakni analisis, yang menafsirkan berdasarkan keilmuan yang digeluti oleh mufassir sendiri. Dan bentuknya pun dengan bi ar-ra’yi yang lebih mengutamakan akal.


[1] Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir Al-Quran; Strukturalisme, Semantik, Semiotik, dan Hermeneutik, Bandung: Pustaka Setia, 2013, hlm. 8
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir... hlm. vi
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 46
[7]               , Madzahib At-Tafsir Era Afirmatif, https://iatbajigur.wordpress.com/2016/10/16/madzahib-at-tafsir-era-afirmatif/, Dikutip Pada 10 Maret 2017 Pukul 05:23 WIB.
[8] Azmi dan Mahlan, Ruang Lingkup Kajian Sejarah Penafsiran Al-Qur’an, (Makalah Strata1: IAIN Palangkaraya, 2017, hlm. 12
[9]               , Madzahib At-Tafsir Era Afirmatif, https://iatbajigur.wordpress.com/2016/10/16/madzahib-at-tafsir-era-afirmatif/, Dikutip Pada 10 Maret 2017 Pukul 05:23 WIB.
[10] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir... hlm. 332
[11] Ibid., hlm. 45-46
[12] Ibid., hlm. 49
[13] Sektarianisme adalah bigotri, diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok.
[14] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir... hlm. 49
[15] Ibid., hlm. 49-50
[16]             , Madzahib At-Tafsir Era Afirmatif, https://iatbajigur.wordpress.com/2016/10/16/madzahib-at-tafsir-era-afirmatif/, Dikutip Pada 10 Maret 2017 Pukul 11:11 WIB.
[17] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir... hlm. 51
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hlm. 46
[21] Ibid., hlm. 47
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 48
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 48-49
[26] Ali As-Sahbuny, Kamus Al-Qur’an: Quranic Explorer, Jakarta: Shahih, 2016, hlm. 824 
[27] Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an: Kajian Kritis, Objektif &Komprehensif, terj. Hasan Basri dan Amroeni, Jakarta: Riora Cipta, 2000, hlm. 49-50
[28] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Quran Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Pustaka, 1989, hlm. 303
[29] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir... hlm. 50

No comments:

Post a Comment