A. Latar Belakang Klasifikasi Perkembangan Tafsir
Tafsir
merupakan suatu cabang ilmu yang diniscayakan akan terus berkembang. Dari zaman
ke zaman, umat muslim selalu meyakini salah satu diktum (proposisi) bahwa Al-Quran
shalih li kulli zaman wa makan (Al-Quran selalu sesuai bagi setiap waktu
dan tempat).[1]
Oleh karena itu para mufassir akan terus menampilkan eksistensinya untuk terus
mengungkap pesan-pesan illahi yang akan terus berkembang dari zaman ke
zaman.
Terkait
dengan klasifikasi perkembangan tafsir yang dilakukan oleh. Abdul Mustaqim,
tentunya bukan suatu hal yang mudah, dimana beliau pasti mencurahkan segala
pemikiran-pemikiran beliau sehingga beliau mampu mengklasifikasi perkembangan
tafsir tersebut.
Kajian
yang dilakukan oleh Abdul Mustaqim ini, menurut hemat penulis memberikan
sumbangsih besar, yakni dengan adanya pemetaan yang dilakukan beliau atas
kajian sejarah tafsir tersebut mempermudah orang-orang untuk mengetahui sejarah
perkembangan tafsir dengan sangat mudah.
Abdul
Mustaqim mengawali kajiannya terhadap sejarah tafsir ini, mulanya beliau
memotret sejarah perkembangan tafsir sejak era Nabi hingga era
modern-kotemporer dengan menggunakan perspektif the history of idea nya
Ignaz Goldziher. Dari hasil penelusuran beliau atas sejarah tafsir,
ditemukanlah fakta bahwa terjadi pergeseran paradigma dalam sejarah penafsiran
Al-Quran, yang dapat dipetakan menjadi tiga babakan atau periode penafsiran
Al-Quran dengan basis penalarannya masing-masing.[2]
Pertama,
periode formatif, yakni penafsiran Al-Quran yang terjadi atau berlangsung di
masa Nabi dan para Sahabat hingga era pasca sahabat. Pada periode ini, nalar
yang digunakan dalam menafsirkan Al-Quran adalah nalar quasi-kritis.[3]
Kedua,
periode afirmatif, yakni penafsiran yang terjadi pada abad pertengahan Islam,
yang mendasarkan penafsirannya pada nalar ideologis.[4]
Ketiga,
periode reformatif, yakni penafsiran Al-Quran yang terjadi pada abad
modern-kotemporer. Pada periode ini, nalar yang digunakan dalam menafsirkan
Al-Quran adalah nalar kritis.[5]
Melihat
daripada gambaran klasifikasi di atas, menurut hemat penulis sangat penting
untuk dikaji lebih mendalam. Yang pastinya akan memberikan wawasan yang sangat
luas terhadap pemahaman perkembangan sejarah tafsir Al-Quran yang telah
ditelusuri oleh Abdul Mustaqim ini.
Akan
tetapi, penulis disini akan memfokuskan pembahasan klasifikasi sejarah
perkembangan tafsir pada era Afirmatif, yang mana terjadi pada abad pertengahan
Islam yang menggunakan nalar ideologis.
B.
Perkembangan Tafsir Era Afirmatif
Seiring
dengan perkembangan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, tradisi penafsiran
Al-Quran terus berkembang. Hal ini terbukti dengan munculnya kitab-kitab tafsir
yang sangat beragam. Bahkan sejak abad ketiga hingga sekitar abad keempat
hijriah bidang tafsir menjadi disiplin ilmu yang mendapat perhatian khusus dari
para sarjana muslim. Setiap generasi muslim dari masa ke masa telah melakukan
interpretasi dan reinterpretasi terhadap Al-Quran.[6]
Dalam
peta sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan (antara abad III H/11 M/8 M-X
H/11 M atau ada yang berpendapat mulai III H/ VIII M hingga pertengahan abad
VIII H/XIV M) dikenal sebagai zaman keemasan ilmu pengetahuan, terutama di era
Harun ar-Rasyid (786-808 M) dan al-Makmun (813-830 M).[7]
Adapun pendapat Ali Hasan Al-Aridl dalam bukunya Sejarah dan Metodologi
Tafsir yang dikutip oleh Azmi dan Mahlan bahwasanya perkembangan karya
tafsir era pertengahan ini pada abad ke-12 sampai abad ke-18 Masehi.[8]
Tafsir
era afirmatif yaitu tafsir yang ada pada masa pertengahan, sedangkan nalar
Ideologis yaitu aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis tentang
kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang
memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.[9]
Era
afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis ini terjadi pada abad pertengahan
Islam. Kecenderungan tafsir era afirmatif pada awalnya berangkat dari
ketidakpuasan terhadap model tafsir bi al-matsur yang dipandang kurang memadai
dan tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran. Sejak saat itu, kemudian muncul
tafsir bi ar-rayi (rasio atau akal).[10]
Akan tetapi, tradisi penafsiran pada era ini kemudian banyak didominasi oleh
kepentingan-kepentingan politik, madzhab, atau ideologi keilmuan tertentu,
sehingga Al-Quran sering kali diperlakukan sekedar sebagai legitimasi bagi
kepentingan-kepentingan tersebut. Para mufassir pada era ini pada umumnya sudah
diselimuti “jaket ideologi” tertentu sebelum mereka menafsirkan Al-Quran.
Akibatnya, Al-Quran cenderung “diperkosa” menjadi objek kepentingan sesaat
untuk membela kepentingan subjek (penafsir dan penguasa).[11]
Pada
era afirmatif yang berbasis pada nalar ideologis ini, muncul fanatisme yang
berlebihan terhadap kelompoknya sendiri, yang kemudian mengarah pada sikap
taklid buta sehingga mereka nyaris tidak memiliki sikap toleransi terhadap yang
lain dan kurang kritis terhadap kelompoknya sendiri. Akibatnya , bagi generasi
ini, pendapat imam dan tokoh besar mereka sering kali menjadi pijakan dalam
menafsirkan teks Al-Quran yang seolah-olah tidak pernah salah, bahkan
diposisikan setara dengan posisi teks itu sendiri. Sebagai contoh adalah
pernyataan Al-Karakhi, salah seorang pendukung madzhab Hanafi, yang mengatakan,
Kullu ayah aw hadits yukhalifu ma ‘alaihi ash haabuna fahuwa mu’awwal aw
mansukh (setiap ayat atau hadits yang menyalahi pendapat madzhab kami maka
harus ditakwil atau di naskh (dihapus ketentuannya).[12]
Di
sisi lain, sikap fanatisme madzhab dan sektarianisme[13]
ini pada akhirnya melahirkan kelompok moderat yang berusaha mencari jalan
tengah. Dari pergulatan pemikiran yang diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan
dapat dibayangkan bagaimana implikasinya dalam penafsiran Al-Quran, apalagi
ketika ada campur tangan politik dalam setiap ketegangan tersebut.[14]
Sektarianisme
ini begitu kental mewarnai produk-produk tafsir. Kegiatan penafsiran Al-Quran
seolah seolah tidak dilandasi oleh tujuan bagaimana menjadikan Al-Quran sebagai
hidayah bagi manusia, melainkan sekadar sebagai alat legitimasi bagi disiplin
ilmu tertentu yang dikuasai mufassirnya, atau untuk mendukung kekuasaan dan
madzhab tertentu. Sebagai implikasinya, tolak ukur kebenaran penafsiran
tergantung pada siapa penguasanya. Hal ini persis seperti yang dinyatakan oleh
Hassan Hanadi: the validity of an interpretation lies in its power.[15]
C.
Metode Penafsiran
Tentunya
ketika seorang mufassir ingin menafsirkan Al-Quran, terlebih dahulu menentukan
sebuah metode yang ingin digunakan, dan bentuk apa yang digunakan dalam
penafsirannya tersebut agar memudahkan dalam menafsirkan Al-Quran.
Tafsir
era afirmatif, yakni pada era pertengahan ini, tentunya tidak akan lepas
seorang mufassir daripada metode dan bentuk atau corak yang ia gunakan dalam
menafsirkan Al-Quran.
Corak
tafsir yang dimaksud disini adalah sifat khusus yang memberikan warna
tersendiri pada tafsir. Sebagaimana sudah dimaklumi, bahwa tafsir merupakan
sebagai bentuk ekspresi intelektual seorang mufasir dalam menjelaskan
pengertian ajaran-ajaran Alquran sesuai dengan kemampuan manusianya, tentunya
akan menggambarkan minat pengetahuan mufasirnya.[16]
Pada
era afirmatif ini, sebagaimana yang ditulis oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya
yang berjudul Epistemologi Tafsir Kotemporer, bahwasanya sumber
penafsiran yang dilakukan pada abad atau era ini adalah akal lebih mendominasi
daripada Al-Quran dan Sunnah.[17]
Adapun
bentuk yang digunakan dalam tafsir era ini adalah berbentuk bi ar-ra’yi, yakni
berdasarkan pemikiran. Dan metode yang digunakan adalah metode tahlili, yakni
analisis kebahasaan dan cenderung mencocok-cocokkan dengan teori-teori dari
disiplin keilmuan atau madzhab sang mufassir.[18]
Validitas
penafsiran, kesesuaian antara hasil penafsiran dengan kepentingan penguasa,
madzhab, dan ilmu yang ditekuni oleh para mufassir.
Karakteristik
dan tujuan penafsiran, ideologis, sektarian, atornistik, repetitif, cenderung
subjektif, penafsiran bertujuan untuk kepentingan kelompok, mendukung kekuasaan,
madzhab atau ilmu yang ditekuni mufassir. Posisi mufassir sebagai subjek
sementara teks sebagai objek.[19]
D.
Kitab-Kitab yang Muncul Pada Era Afirmatif
Berbagai corak dan ragam penafsiran muncul,
terutama pada akhir masa Dinasti Umayyah dan awal Dinasti Abbasiyah. Terlebih
ketika penguasa pada masa khalifah kelima Dinasti Abbasiyah, yakni Khalifah
Harun Al-Rasyid (785-809 M.) memberikan perhatian khusus terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, yang kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Al-Makmun (813-830 M).
Dunia Islam ketika itu benar-benar memimpin peradaban dunia. Dalam sejarah peta
pemikiran Islam, periode ini dikenal sebagai zaman keemasan (the golden age
atau al-‘ashr adz-dzahabi). Kitab-kitab tafsir di era keemasan Islam ini
pun banyak bermunculan, antara lain: Tafsir Jami’ al-Bayan an Ta’wil Ay
Al-Qur’an karya Ibn Jarir ath-Thabari (w. 923 M); Al-Kasysyaf an Haqa’iq
Al-Qur’an karya Abu al-Qasim Mahmud ibn ‘Umar az Zamakhsyari (w. 1144 M.) Mafatih
al-Ghayb karya Fakhruddin ar-Razi (w. 1209 M.), dan Tafsir Jalalayn karya
Jalaluddin Al-Mahalli (w. 1459 M.) dan Jalaluddin As-Suyuthu (w. 1505 M.).[20]
Bersamaan dengan itu, muncul juga
tafsir-tafsir yang bercorak Syi’i, seperti Tafsir Al-Qur’an karya ‘Ali
Ibrahim Al-Qummi (w. 939 M.), At-Tibyan fi Tafsir Al-Qur’an karya
Muhammad ibn Al-Hasan Ath-Thusi (w. 1067 M.), Majma’ Al-Bayan li ‘Ulum
Al-Qur’an karya Abu Ali Fadl Ath-Thabarsi (w. 1153M.), dan Ash-Shafi fi
Tafsir Al-Qur’an karya Muhammad Murtadha Al-Kasyi (w. 1505 M).[21]
Selain itu, seiring dengan era penerjemahan
karya-karya filsafat Yunani di dunia Islam, muncul pula tafsir-tafsir
sufi-falsafi, seperti Tafsir Al-Qur’an karya Sahal Ibn Abdillah
At-Tustari (w. 283 H.). Namun sayangnya, tafsir ini dinilai tidak memuaskan
karena tidak lebih dari 200 halaman dan tidak lengkap mengapresiasi seluruh
kandungan Al-Qur’an. Selain itu, muncul pula tafsir Haqa’iq At-Tafsir karya
Abu Abdurrahman As-Sulami (w. 412 H.) akan tetapi, tafsir ini dinilai oleh Ibn
Shalah dan Az-Zahabi sebagai tafsir yang banyak cacat, bahkan dituduh banyak
bid’ah, berbau syiah, dan di dalamnya banyak terdapat hadits mawdhu’. Terkait
dengan hal ini, Ibn Shalah menyatakan, “Saya temukan pendapat dari Imam
Al-Wahidi bahwa Abdurrahman telah menulis kitab Haqaiq At-Tafsir, apabila
ia berkeyakinan bahwa kitabnya itu adalah tafsir maka ia benar-benar telah
kufur”. Komentar Ibn Shalah ini merupakan salah satu bukti bahwa klaim kufur
terhadap para penafsir yang berbeda dengan ideologi madzhabnya cukup mengemuka
di Abad pertengahan. Sementara Adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkirah Al-Huffaz yang
dikutip Abdul Mustaqim berkomentar: “kitab Haqa’iq At-Tafsir banyak
memuat ta’wil-ta’wil kaum bathini, kami memohon keselamatan kepada Allah
dari hal itu.[22]
Selain itu, muncul pula kitab tafsir Latha’if
Al-Isyarat karya Abdul Karim ibn Hawazan ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn
Muhammad Al-Qusyairi, yang populer dengan nama Zayn Al-Islam atau Al-Qusyairi
(374 H- 465 H.). kitab ini dinilai positif oleh para ulama karena penafsirannya
tidak menyimpang dan selalu berusaha mempertemukan antara dimensi syari’at dan
hakikat, antara makna lahir dan makna batin. Selain itu, tafsir tersebut juga
relatif steril dari pembelaan ideologi madzhab.[23]
Perkembangan berikutnya, masih dalam nalar
ideologi sufi-falsafi, muncul tafsir Ibn Arabi (abad kelima hijriyah). Tafsir
ini juga menuai banyak kritik dari para ulama, seperti dari Muhammad Abduh. Di
dalam tafsir tersebut dinilai terdapat kerancuan antara pendapat-pendapat
golongan batiniah dan kaum sufi. Pendapat-pendapat tersebut dinisbatkan kepada
Syaikhul Akbar Muhyiddin Ibn Arabi, padahal pendapat itu sebenarnya, adalah
pendapat Imam Al-Qasyani Al-Bathini Asy-Syahir. Selain itu juga banyak
penafsiran yang tidak sejalan dengan Al-Quran dan dipenuhi klaim pembelaan terhadap
ajaran wahdah al-wujud. Sebagai contoh adalah ayat Wadzkur rabbaka
watabattal ilaihi tabtiila yang terdapat dalam Q.S. Al-Muzammil. Ayat ini
ditafsirkan dengan Nahnu khalaqnaakum falaw la tushaddiqun ditafsirkan
dengan Nahnu khalaqnaa kum bi idzh-haarikum biwujudinaa, wazhuruurina fi
shuwaarikum. Tafsir seperti ini jelas merupakan hasil interpretasi yang
bias ideologi, yakni ideologi sufi tentang wahdat Al-Wujud.[24]
Berikutnya, muncul tafsir ‘Ara’is Al-Bayan
fi Haqa’iq Al-Quran karya Ibn Abu An-Nashr Al-Buqla Asy-Syairazi (w. 606
H.) dan Al-Ta’wilat An-Najmiyyah karya Najmuddin Dayah (w. 654 H.).
Sayangnya, Najmuddin Dayah meninggal sebelum menyelesaikan kitab tafsirnya.
Kitab tafsir tersebut kemudian disempurnakan oleh ‘Ala’ Ad-Dawlah As-Samnani
(w.732 H.).[25]
E.
Contoh Penafsiran
Penafsiran
di era afirmatif ini telah diketahui bahwasanya mayoritas penafsiran telah
dirasuki oleh roh-roh subjektif yang menghancurkan penafsiran dan menjadikan
Al-Quran itu bukanlah sebuah petunjuk yang selalu sesuai zaman dan tempat
Adapun
contohnya ialah:.
Terjemah:
1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan Sesungguhnya Dia akan binasa.
Kaum
rafidah (rafidhah ialah salah satu sekte syiah yang extrim). Rafidhah artinya
menolak. Mereka disebut demikian karena menolak dan tidak mau mengakui
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Merka berkeyakinan: Nabi telah menunjuk Ali
untuk menjadi khalifah untuk menggantikan beliau. Mereka menganggap sesat para
sahabat Nabi yang tidak mau tunduk dan patuh kepada Ali, Al-Ghurabi menafsirkan
dengan Abu Bakar dan Umar. Sehingga pengertian ini menurut mereka adalah,
“celakalah Abu Bakar dan Umar sebenar-benar celaka”. Melihat penafsiran
demikian, kelihatan bahwa subyektifitas demikian berawal dari fanatisme madzhab
yang terlalu mendalam.[26]
Contoh
lain, Mazdhab mu’tazilah misalnya, mereka adalah sekte yang terkenal di
kalangan kaum muslimin yang menafsirkan Al-Quran dengan melampaui batas
kewajaran. Mereka lebih senang menafsirkan ayat-ayat yang dapat diterima oleh
akal dan pikiran semata.
Terjemah:
164.
Dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang
mereka kepadamu dahulu, dan Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka
kepadamu. dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
Penafsiran mereka, yang berbeda dengan penafsiran-penafsiran ulama
lain, telah mengabaikan riwayat para tabi’in yang oleh kebanyakan mufasir telah
diterima sebagai pegangan. Sekte ini juga mengingkari sifat-sifat pembicaraan
Allah atau kalam dalam ayat ini. Penafsiran mereka disesuaikan dengan ideologi
yang mereka yakini. Penafsiran yang demikian dapat dianggap sebagai kekeliruan,
kepalsuan, dan makna yang dibuat-buat untuk mencapai tujuan mereka. Misalnya,
sebagian mereka memandang Musa lah yang berbicara dengan Allah SWT bukan Allah
yang berbicara kepada Musa. Dalam pernyataan Al-Quran ini, kata Allah dalam
bahasa Arab adalah sebagai subjek dan Musa adalah sebagai objek menurut
pandangan ahli tata bahasa dan para mufassir. Akan tetapi proposisi kaum
mu’tazilah menyebutkan bahwa terma Allah adalah objek dan Musa adalah subjek.
Penafsiran seperti ini tidak dapat diterima dan tidak diakui oleh kalangan ahl
sunnah wa al-jamaah.[27]
Terjemah:
55.
Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(kepada Allah). (Al-Maidah
ayat 55)
Dikatakan bahwa makna dari orang-orang yang beriman di sini
adalah para imam golongan syiah yang dua belas. Ada lagi yang menafsirkan yang tunduk dengan Sayyidina ‘Ali ra,
karenanya ayat ini dijadikan dalil naqli bahwasanya Sayyidina ‘Ali seoranglah
yang patut menjadi wali dari orang-orang Mukmin setelah Rasulullah.[28]
Sikap-sikap
sektarianisme inilah yang mendorong lahirnya kritik dari para pemikir dan
mufassir modern. Mereka berupaya mendekontruksi dan merekontruksi model
penafsiran yang di nilai telah terlalu jauh menyimpang dari tujuan Al-Quran.
Oleh karena itu, tradisi penafsiran era afirmatif ( era pertengahan) boleh
dikatakan telah terkontaminasi oleh fanatisme madzhab dan kepentingan politik
tertentu sehingga tampak sangan ideologis, subjektif..[29]
Menurut
hemat penulis, dalam tafsir era pertengahan ini atau yang disebut oleh Abdul
Mustaqim sebagai tafsir era afirmatif tidak semua tafsir di dalamnya yang
terkontaminasi dengan subjektivitas para mufassir yang cenderung melenceng
ketika menafsirkan Al-Quran.
Penulis
pribadi sendiripun mewajarkan akan penafsiran yang cenderung subjektif pada
masa ini, karena pada masa ini metode tafsir yang digunakan adalah metode
tahlili, yakni analisis, yang menafsirkan berdasarkan keilmuan yang digeluti
oleh mufassir sendiri. Dan bentuknya pun dengan bi ar-ra’yi yang lebih
mengutamakan akal.
[1] Yayan Rahtikawati dan Dadan Rusmana, Metodologi
Tafsir Al-Quran; Strukturalisme, Semantik, Semiotik, dan Hermeneutik, Bandung:
Pustaka Setia, 2013, hlm. 8
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir... hlm. vi
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 46
[7] ,
Madzahib At-Tafsir Era Afirmatif, https://iatbajigur.wordpress.com/2016/10/16/madzahib-at-tafsir-era-afirmatif/, Dikutip Pada 10 Maret 2017 Pukul
05:23 WIB.
[8] Azmi dan Mahlan, Ruang Lingkup
Kajian Sejarah Penafsiran Al-Qur’an, (Makalah Strata1: IAIN Palangkaraya,
2017, hlm. 12
[9] ,
Madzahib At-Tafsir Era Afirmatif, https://iatbajigur.wordpress.com/2016/10/16/madzahib-at-tafsir-era-afirmatif/, Dikutip Pada 10 Maret 2017 Pukul
05:23 WIB.
[10] Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir... hlm. 332
[11] Ibid., hlm. 45-46
[12] Ibid., hlm. 49
[13] Sektarianisme adalah bigotri,
diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu
kelompok.
[14] Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir... hlm. 49
[15] Ibid., hlm. 49-50
[16] ,
Madzahib At-Tafsir Era Afirmatif, https://iatbajigur.wordpress.com/2016/10/16/madzahib-at-tafsir-era-afirmatif/, Dikutip Pada 10 Maret 2017 Pukul
11:11 WIB.
[17] Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir... hlm. 51
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hlm. 46
[21] Ibid., hlm. 47
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 48
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 48-49
[26] Ali As-Sahbuny, Kamus Al-Qur’an: Quranic Explorer, Jakarta:
Shahih, 2016, hlm. 824
[27] Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an: Kajian
Kritis, Objektif &Komprehensif, terj. Hasan Basri dan Amroeni, Jakarta:
Riora Cipta, 2000, hlm. 49-50
[28] Miftah Faridl dan Agus Syihabudin, Al-Quran
Sumber Hukum Islam yang Pertama, Bandung: Pustaka, 1989, hlm. 303
[29] Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir... hlm. 50
No comments:
Post a Comment