Thursday, February 21, 2019

QIRA'AT AL-QUR'AN

BAB II
PEMBAHASAN
  1. Latar Belakang Timbulnya Qira’at
Pada zaman Nabi SAW, sahabat dan umat beliau waktu itu memperoleh ayat-ayat Alquran dengan cara mendengarkan, membaca dan menghafalkannya secara lisan dari mulut ke mulut. Barulah pada masa khalifah Abu Bakar Ash Siddiq r.a, Alquran mulai dibukukan dalam satu mushaf atas saran dari Umar bin Khattab r.a. Abu Bakar Ash Siddiq memerintahkan Zaid bin Sabit untuk mengumpulkan seluruh ayat Alquran dan ditulis dalam satu mushaf. Pembukuan Alquran ini berlangsung sampai khalifah Ustman bin Affan. Pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan r.a terdapat perselisihan sesama kaum muslimin mengenai bacaan Alquran yang hampir menimbulkan perang saudara sesama muslim. Perselisihan ini disebabkan mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Alquran karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang sesuai dengan dialek mereka masing-masing. Namun mereka tidak memahami maksud Nabi melakukan hal tersebut sehingga tiap suku/golongan menganggap bacaan mereka yang paling benar sedangkan yang lain salah. Untuk mengatasi perselisihan, khalifah Ustman bin Affan r.a memerintahkan untuk menyalin mushaf Alquran pada masa Abu Bakar Ash Siddiq dan memperbanyaknya kemudian mengirimkan ke berbagai daerah. [1]
       Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pad awal abad II H, tatkala para qari’ tersebar di berbagai pelosok, telah tersebar di berbagai pelosok, Mereka lebih suka mngemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan secara turun-menurun dari guru ke murid, sehingga sampai kepada imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.[2]
  1. Pengertian Qira’at
Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan. Menurut istilah, ilmu qira’at berarti suatu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang cara membaca Al-qur’an.[3]
       Menurut Az-Zarkasyi qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-qur’an baik menyangkut huruf-hurufnya atau cuma pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan) dan yang lainnya.[4]
       Menurut Ash-Shobuni qira’at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.[5]
       Menurut Ibn Al-Jazari qira’at adalah ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.[6]
  1. Macam-Macam Qira’at dan Contohnya
  2. Dari Segi Kuantitas
  3. Qira’at Sab’ah (Qira’at Tujuh). Maksud sab’ah adalah imam qira’at yang tujuh[7]. Mereka adalah:
  • Ibnu Katsir. Nama lengkapnya Abdullah bin Katsir bin Al-Muthallib. Ia lahir pada tahun 45 H dan wafat di Mekah pada tahun 120 H. Ibnu Katsir belajar qira’at dari salah seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Sa’ib.
Dua orang perawinya adalah Al-Bazzi dan Qumbul. Al-Bazzi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdillah bin Abi Bazzah, seorang muadzin di makkah. Wafat di makkah pada 250 H.
Sedang qombul adalah Muhammad bin Abdirrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said Al-makki Al-Makhzumi. Ia wafat di Makkah pada 291 H.[8]
  • Nafi Al-Madani. Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi bin Abdurrahman bin Abi Nu’aim Al-Laitsi. Nafi meninggal pada tahun 169 H. Ia belajar qira’at dari Abi Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa Al-Madani, ibnu Hurmuz Al-A’raj, dan muslim bin Jundub. Semua guru Nafi ini mempelajari qira’at dari sahabat seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairoh, Ubay, dan Az-Zubir bin Al-Awwam.
Dua orang perawinya adalah Qolun dan Warsy. Qolun adalah Isa bin Muniya Al-Madani. Ia adalah seorang guru bahasa arab di dijuluki Qolun. Ia wafat di Madinah pada 220 H. Adapun Warsy adalah Utsman bin Said Al-Mishri. Dia diberi julukan Warsy. Wafat di Mesir pada 198 H.[9]
  • Ibnu Amir Asy-Syami. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Amir Asy-Syami. Ia meninggal tahun 118 H. Ibnu Amir belajar qira’at dari Al-Mughirah dan Abu Darda.
Dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Dzakwan. Hisyam adalah Hisyam bin Ammar bin Nushair, dan wafat pada 245 H. Sedang ibnu Dzakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basyir bin Dzakwan Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, wafat di Damaskus pada 242 H.[10]
  • Abu Amr Al-Basri. Nama lengkapnya adalah Abu Amr Zaban bin Al-Ala’ At-Tamimi Al-Basri. Ia lahir di Mekah pada tahun 70 H dan meninggal di kufah tahun 154 H. Di antara gurunya adalah Abu Al-Hajjaj Mujahid, Abu Abdullah Sa’id bin Jubair, dan Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa.
Dua orang perawinya adalah Ad-Duri dan As-Susi. Ad-Duri adalah Abu Umar Hafsh bin Umar bin Abdil Aziz Ad-Duri An-Nahwi. Ia wafat pada 246 H. Sedang As-Susi adalah Abu Syuaib Shalih bin Ziyad bin Abdullah As-Susi, dan wafat pada 261 H.[11]
  • Asim Al-Kufi. Nama lengkapnya adalaah Abu Bakar Asim bin Abu Nujud Al-Asadi Al-Kufi. Ia meninggal pada tahun 127 H. Asim belajar qira’at dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Habib As-Salmi, Abi Maryam Zir bin Hubaysy Al-Asadi, dan lain sebagainya.
Dua orang perawinya adalah Syu’bah dan Hafsh. Syu’bah adalah Abu Bakar Syu’bah bin Abbas bin Salim Al-Kufi. Wafat pada tahun 193 H. Sedang Hafsh adalah Hafsh bin Sulaiman bin Al-Mughirah Al-Bazzaz Al-Kufi. Ia wafat pada 180 H.[12]
  • Hamzah Al-Kufi. Nama lengkapnya adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az-Zayyat. Ia lahir pada tahun 80 H dan meninggal tahun 156 H. Hamzah belajar qira’at dari Abi Muhammad Sulaiman bin Mahran Al-A’masy dan Humran biin A’yan.
Dua orang perawinya adalah Khalaf dan Khallad. Khallaf ialah Khalaf bin Hisyam Al-Bazzaz, wafat di Baghdad pada 229 H. Sedang Khallad ialah Khallad bin Khalid wafat pada 220 H.[13]
  • Al-Kusa’i Al-Kufi. Nama lengkapnya adalah Ali bin Hamzah Al-Kusa’i, ia meninggal 189 H. Al-Kusa’i belajar qira’at dari Abi Imarah dan Isma’il bin Ja’far.
  1. Qira’at Asyarah ( Qira’at Sepuluh). Yang dimaksud qira’at sepuluh adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan diatas ditambah dengan tiga qira’at berikut:
  • Abu Ja’far. Nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qa’qa Al-Makhzuni Al-Madani. Ia memperoleh qira’at dari Abdullah bin Ayyasy bin Rabiah, Abdullah bin Abbas, dan Abu Hurairah. Dua orang perawinya adalah Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz.
  • Ya’qub. Nama lengkaonya adalah Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdillah bin Abu Ishaq Al-Hadhrami Al-Bashri. Ia memperoleh qira’at dari banyak orang yang sanadnya bertemu pada Musa Al-Asy’ari dan Ibn Abbas, yang membacanya langsung dari Rasulullah SAW. Dua orang perawinya adalah Ruwais dan Rauh.
  • Khallaf bin Hisyam. Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khallaf bin Hisyam bin Tsa’lab Al-Bazzaz Al-Baghdadi. Ia menerima qira’at dari sulaiman bin Isa bin Habib. Dua orang perawinya adalah Ishaq dan Idris.[14]
  1. Qira’at Arba’at Asyrah (qira’at empat belas). Yang dimaksud qira’at empat belas adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qira’at sebagai berikut:
  • Al-Hasan Al-Bashri. Salah seorang tabiin besar yang terkenal kezuhudannya.
  • Muhammad bin Abdirrahman, yang dikenal dengan nama Ibn Mahishan. Ia adalah guru Abi Amr.
  • Yahya bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi. Ia mengambil qira’at dari Abi Amr dan Hamzah
  • Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz.[15]

  1. Dari Segi Kualitas
  2. Qira’at mutawatir, yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta.
  3. Qira’at masyhur, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan tulisan mushaf utsmani, masyhur dikalangan qurra, dan tidak termasuk qira’at yang keliru dan menyimpang.
  4. Qira’at ahad, yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan mushaf utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyuhran, dan tidak dibaca sebagimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari.
  5. Qira’at Syadz (menyimpang), yakni yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qira’at ini. Di antara macam qira’at ini adalah:
مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ
Artinya:
“Yang menguasai hari pembalasan” (Q.S. Al-Fatihah [I]: 4)
Qira’at mushaf Utsmani:
ملِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ
Contoh lainnya adalah:
اِيَّاكَ يُعْبَدُ
Qira’at mushaf Utsmani:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ
  1. Qira’at maudhu’i (palsu), yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.
  2. Qira’at mudarraj, yakni adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya, qira’at Abi Waqqash yang:
وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ مِنْ اُمٍّ
Artinya:
“tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja).” (Q.S. An-Nisa’O[4]:12)

Qira’at mushaf Utsmani:
وَلَهُ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ
Juga seperti qira’at Ibn Abbas:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ فِى مُوْسِمِ الحَجِّ.
Artinya:
“tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu pada musim haji.”(Q.S.Al-Baqarah[2]:198)
Qira’at mushaf Utsmani:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ[16]
PERBEDAAN BACAAN DALAM SURAT AL-FATIHAH
NoImam Qiraat & (Rawi)Bacaan
1Nafi’ (Qalun & Warasy) / Abu Amr (Ad-Duri & As-Susi) / Ibnu ‘Amir (Hisyam & Ibnu Dzakwan)صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ (6) غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لَا الضَّالِّيْنَ (7)
2Ibnu Katsir (Qunbul)سصِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهُمُ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهُمُ وَ لَا الضَّالِّيْنَ (7)
3‘Ashim (Syu’bah & Hafsh)صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لَا الضَّالِّيْنَ (7)
4Hamzah (Khallad & Khalaf)صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهُمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهُمْ وَ لَا الضَّالِّيْنَ (7)
PERBEDAAN BACAAN AKHIR SURAH AL-IKHLASH
NoImam Qiraat & (Rawi)Bacaan Ayat
1‘Ashim (Hafsh)وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا اَحَد
2‘Ashim (Syu’bah) / Nafi’ (Qalun & Warasy) / Ibnu Katsir (Qunbul) / Abu Amr (Ad-Duri & As-Susi) / Ibnu ‘Amir.وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُؤًا اَحَد
3Hamzah (Khallad & Khalaf)وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفْؤًا اَحَد
PERBEDAAN BACAAN PADA AWAL SURAT AL-MA’UN
NoImam Qiraat & (Rawi)Bacaan Ayat
1‘Ashim, Ibnu Katsir (Qunbul), Abu ‘Amr (Ad-Duri), Ibnu ‘Amr, Hamzahأَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ
2Nafi’ (Qalun)أَرَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ
3Nafi’ (Warasy)أَرَآيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِ
4Abu ‘Amr (As-Susi)
“(meng-idghom-kan lafal yukadzdzibbiddiin)”
أَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّب بِّالدِّيْنِ
PERBEDAAN BACAAN PADA AWAL SURAT AL-FALAQ DAN AN-NAAS
NoImam Qiraat & PeriwayatBacaan Ayat
1‘Ashim, Nafi’ (Qalun), Ibnu Katsir (Qunbul), Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amir, Hamzah (Khollad)قُلْ اَعُوْذُ ...
2Nafi’ (Warasy)قُلَ اَعُوْذُ ...
3Hamzah (Kholaf)
“(Qul ... a’uudzu) dengan meng-sakhtah-kan lafal qul<berhenti sejenak 2 harakat tanpa bernafas>a’uudzu.”
قُلْ سكتة اَعُوْذُ ...
PERBEDAAN BACAAN IMALAH PADA AWAL SURAT AN-NASHR
اِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ
NoImam Qiraat (Rawi)Bacaan Ayat
1‘Ashim, Nafi’, Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Amr (Hisyam)idzaa jaa-a nashrullaahi wal fath
(karena bacaan mad wajib muttashil dibaca panjang 4-5 harakat)
2Hamzah, Ibnu ‘Amir (ibnu dzakwan)idzaa jee-a nashrullaahi wal fath
(karena bacaan mad wajib muttashil dibaca panjang 4-5 harakat)[17]

  1. Sebab-Sebab Perbedaan Qira’atul Qur’an
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang apa yang sebenarnya menyebabkan perbedaan qira’atul qur’an, sebagai berikut:
  1. Sebagian ulama berpendapat bahwa perbedaan qira’atul qur’an dilatarbelakangi oleh perbedaan qira’at Nabi SAW. Artinya, dalam menyampaikan dan mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabatnya, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at.
  2. Pendapat lain mengatakan bahwa perbedaan qira’atul qur’an dikarenakan adanya taqrir atau pengkuan Nabi SAW. terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut perbedaan lahjat atau dialek kebahasaan di antara mereka dalam mengucapkan lafaz-lafaz tertentu dari Al-Qur’an.
  3. Satu pendapat lain mengatakan bahwa ini terjadi karena berbedanya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT. kepada Nabi SAW.
  4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat bahwa ini karena adanya riwayat dari para sahabat Nabi SAW. menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
  5. Sebagian ulama berpendapat bahwa adanya perbedaan qira’atul qur’an dikarenakan adanya perbedaan lahjat atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada maa turunnya Al-Qur’an.
  6. Sementara itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa perbedaan qiraat Al-Qur’an merupakan hasil ijtihad para imam qira’at, bukan bersumber dari Nabi SAW.                                                                                                                                          Urgensi Mempelajari Qira’at
Diantara urgensi mempelajari qira’at adalah:
  1. Meringankan dan memudahkan bagi umat dalam membaca Al-Qur’an.
  2. Dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa’ ayat 12, para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam Qira’at Syadz, Sa’ad bin Abi Waqqash memberi tambahan ungkapan “Min Umm” Sehingga ayat itu menjadi:
وَإِن كَانَ رَجُلٞ يُورَثُ كَلَٰلَةً أَوِ ٱمۡرَأَةٞ وَلَهُۥٓ أَخٌ أَوۡ أُخۡتٞ ) من ام ) فَلِكُلِّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا ٱلسُّدُسُۚ
Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. (Q.S. An-Nisa 4: 12). Dengan demikan, qira’at Sa’ad bin Abi Waqqaash dapat memperkuat dan mengukuhkan ketetapan hukum yang telah disepakati.
  1. Dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama. Misalnya, dalam surat al-Maidah ayat 89, disebutkan bahwa kifarat sumpah adalah berupa memerdekan budak. Namun, tidak disebutkan apakah budaknya itu muslim atau nonmuslim. Hal ini mengandung perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha. Dalam qira’at syadz, ayat itu memperoleh tambahan mu’minatin. Dengan demikian menjadi:
فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ     مؤمنة.
“_maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak (Mukmin)”. (Q.S. 5: 89).
Tambahan kata “Mukminatin” berfungsi men-tarjih pendapat sebagian ulama, antara lain As-Syafi’i, yang mewajibkan memerdekakan budak mukmin bagi orang yang melanggar sumpah, sebagai salah satu alternatif bentuk kifaratnya.
DAFTAR PUSTAKA
  1. Buku
Yusuf, Kadar M. Studi Alquran, Jakarta: Amzah, 2014, Cetakan kedua.
Al-qathan, Manna. pengantar studi ilmu al-qur’an, Jakarta timur: pustaka al-kautsar cetakan keenam.
Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2010, Cetakan kedua.
  1. Internet
http://teloragen8.blogspot.co.id/2014/05/qiraat-tujuh-al-quran.html diakses rabu 25 Nov. 15 pada pukul 10:15 WIB
https://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/04/23/ulumul-quran-qiraatul-quran/     diakses rabu 25 Nov. 15 pada pukul 15:48 WIB
http://mukhlis11ahmad.blogspot.co.id/2014/11/pengaruh-perbedaan-qiraat  terhadap.html diakses rabu 25 Nov. 15 pada pukul 16:12 WIB
http://makalahtoher.blogspot.co.id/2011/12/makalah-qiraat.html diakses hari rabu pukul 15:34 WIB
https://pintania.wordpress.com/qiraatul-quran/ diakses hari Jum’at Pukul 12:46 WIB

HIKMAH MENIKAH

Pernikahan akan amampu menghindari pandangan liar penuh syahwat pada seseorang yang tidak dihalalkan untuknya. Seseorang yang melakukan pandangan liar ini hanya akan memunculkan bahaya bagi kedua belah pihak, pihak yang dipandang dan pihak yang memandang. Hal inilah yang memancing tumbuhnya keburukan dan permusuhan di antara keduanya, khusunya pada seseorang yang merasa harga dirinya telah dilecehkan. Ini sering terjadi dalam kehidupan nyata, dan dengan pernikahanlah diharapkan hal ini bisa dikendalikan.
       Rasulullah bersabda,
(قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم من تزوّج فقد أحرز شطر دينه فاليتّق الله في الشّطر الاخر)
       “barang siapa yang menikah, maka sesungguhnya ia telah menjaga sebagian agamanya. Hendaknya ia bertaqwa kepada Allah dan menjaga sebagian lainnya.”(al-hadits)
(قل رسو ل الله صلّى الله عليه و سلم يا معشر الشّباب من استطاع البا ءة فليتزوّج فأِ نّه أغضّ للبصر وأحصن للفرج)
       “wahai para pemuda, brang siapa di antara kalian yang mempu melakukan hubungan seksual, maka menikahlah. Sesungguhnya pernikahan itu lebih baik dalam menjaga pandangan dan dalam membentengi kemaluan”.(H.R Bukhari)
(عن أبى هريرة قال قال رسول لله عليه وسلم أِذ أتاكم من ترضون خلقه ودينه فزوّجوه أِ لاّ تفعلوتكن فتنة في الأرض وفسادغريض)
       “bila datang kepadamu (para wali) seseorang yang kau sukai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah (anakmu) dengannya. Bila kau tidak melakukannya, maka hal itu akan menimbulkan fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”(H.R Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
       Dengan pernikahan pula, maka tali keturunan pun bisa diketahui dan hal ini sangat berdampak besar bagi perkembangan generasi selanjutnya. Salah satunya adalah menjaga hak mereka untuk bisa mendapatkan warisan dari penduhulu mereka. Seorang laki-laki yang tidak mengkhususkan dirinya pada salah satu wanita, maka ia tidak peduli akan anak yang dilahirkannya hingga anak pun terputus nasabnya dan ia pun mengetahui posisinya di antara masyarakat.
       Hikmah ditetapkannya pernikahan dalam hukum syariat, tidak terlepas dari usaha agar manusia mampu memperbaiki dan membangun bumi. Keberlangsungan generasi dan pemilihan wanita yang tepat untuk dijadikan mitra hidup adalah sebagian faktor untuk menyukseskan tujuan manusia dalam mereletasikan tujuannya tersebut.
       Kita bisa mengatakan bahwa tujuan dari ditetapkannya pernikahan pada umumnya adalah untuk menghindarkan manusia dari praktik perzinahan dan seks bebas. Dan juga hikmah menikah adalah bahwa setiap individu akan mengalami kematian dan pada saat itulah semua amal perbuatannya terputus. Semua rahmat dan pahala yang biasa diterimanya pun terhenti. Namun, bila ia telah menikah dan "dari pernikahannya ia memiliki anak, maka kelak anaknya lah yang akan melanjutkan perbuatan baiknya. Dengan demikian, pahala yang didapatkannya pun akan terus berkesinambungan. Keberadaan anak yang shaleh merupakan satu investasi abadi yang akan terus berbuah walaupun seorang individu telah menghadapi kematiannya.
       Rasulullah bersabda
عن أبى هريرة أن رسول لله صلى لله عليه و سلم قال أِذ مات لأِنسان انقطع عنه عمله أِلاّ من ثلاثة أِلاّ من صدقة جارية او علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له)
       “apabila seseorang individu telah meninggal, maka terputuslah semua amal perbuatanya kecual atas tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan kedua orang tua.”(H.R Muslim)
       Jadi, inti dari semua hikmah adalah ungkapan bahwa pernikahanlah akan membawa pelakunya kepada beragam jenis kebahagiaan dan kesenangan dalam kehidupan yang dilaluinya. Manfaatnya yang besar tidak akan terputus walaupun ia telah meninggal dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Jarjawi, Ali. Indahnya Syariat Islam.Depok:Gema Insani, 2006.

HIKMAH PUASA SUNNAH

Pada umumnya apabila seseorang telah menunaikan kewajibannya, mungkin saja dia melakukan hal-hal yang kurang layak. Hal tersebut memang tidak sampai membatalkan kewajiban itu, namun menyebabkannya tidak sempurna sebagaimana yang diinginkan oleh Allah yang Maha Bijaksana. Oleh karena itu, untuk mengembalikannya menjadi sempurna, melaksanakan sebagaimana yang diinginkan oleh Allah, dan mengantisipasi terjadinya kekurangan-kekurangan pada kewajiban tersebut, maka Allah mensyariatkan puasa sunah untuk beberapa hari lamanya, agar kewajiban yang telah dia lakukan menjadi murni tanpa dicampuri oleh apa pun.
       Sementara itu, di sana ada beberapa hal lain yang disunnahkan padanya melakukan puasa sunah karena suatu hikmah yang diinginkan oleh Allah. Di antaranya adalah puasa hari Arafah, yang disunnahkan agar orang yang berpuasa tenggang rasa memikirkan orang-orang yang pada hari itu sedang berada di Arafah, mereka memenuhi panggilan Allah dan meminta ampun serta rahmat dari-Nya. Sehingga, orang yang berpuasa itu menjadi rindu kepada tempat-tempat suci tersebut. Dengan demikian, dia pun dapat bersama-sama para jamaah haji mendapatkan pahala p rahmat dari Allah SWT.
       Diantaranya lagi adalah puasa Asyura, yaitu hari kemenangan Nabi Musa a.s yang atas kemenangan tersebut Nabi Musa mengucapkan syukur kepada Allah SWT. Jadi orang yang berpuasa pada hari itu, berarti ia bersama-sama Nabi Musa a.s mengucapkan syukur dan mendapatkan pahala yang sangat besar.
       Diantaranya lagi, puasa enam hari di bulan Syawwal. Karena berpuasa di hari tersebut memiliki keutamaan sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah, “barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, lalu dia lenjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka seakan-akan dia telah berpuasa selama satu tahun”.
       Puasa sunnah ini bagaikan sunnah rawatib bagi puasa wajib, yang mana puasa tersebut disyariatkan agar dapat memurnikan puasa ramadhan dari hal-hal yang dapat mengurangi nilainya disisi Allah. Adapun kenapa puasa bulan Ramadhan yang dilanjutkan dengan enam hari di bulan Syawwal disamakan dengan puasa satu tahun, karena jumlah semuanya adalah tiga puluh enam hari. Sedangkan Allah menjadikan satu kebaikan menjadi sepuluh kali lipat. Jadi apabila tiga puluh enam dikalikan sepuluh, maka menjadi tiga ratus enam puluh hari. Dan itulah jumlah selama satu tahun.
       Para nabi terdahulu senang memperbanyak puasa sunnah. Nabi Nuh a.s melaksanakan puasa sunnah sepanjang tahun. Nabi Daud a.s berpuasa satu hari dan berbuka di hari kemudiannya, begitulah seterusnya. Nabi Isa a.s berpuasa dua hari sekali (satu hari puasa lalu dua hari kemudian tidak berpuasa, dan seterusnya). Begitulah halnya kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah. Beliau berpuasa sampai-sampai orang mengatakan bahwa beliau tidak akan berbuka, dan beliau berbuka sampai-sampai orang mengatakan bahwa beliau tidak akan berpuasa.
       hikmah perbedaan puasa sunnah diantara nabi, karena dilatarbelakangi oleh perbedaan situasi dan kondisi. Di samping itu, puasa adalah tiryaaq (penawar) jiwa. Dan, tentunya penawar hanya digunakan berdasarkan kebutuhan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwasanya orang yang senang melakukan puasa sunnah, berarti senang mengikuti sunnahnya nabi dan rasul.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Jarjawi, Ali. Indahnya Syariat Islam.Depok:Gema Insani, 2006.

QOLQOLAH dan BAGIANNYA

A.    Pengertian
Qalqalah menurut bahasa adalah bergerak dan gemetar. [1]
Sedangkan  menurut istilah Qalqalah ialah Suara tambahan ( pantulan ) yang kuat dan jelas  yang terjadi pada huruf yang bersukun setelah menekan pada makhraj huruf tersebut.[2]
Huruf Qalqalah ada 5 yaitu: ق, ط, ب, ج, د, [3]
Qalqalah ialah goncangan di dalam makhraj ketika mengucapkan huruf karena mempunyai sifat syiddah dan jahr, yakni karena tertahannya suara dan nafas (memantul).[4]
  B.     Jenis Qalqalah
Adapun tingkatan Qalqalah ada 3 ( tiga ).
1.      Sukun karena di-Waqafkan yang asalnya huruf  ber-Tasydid, jenis  ini dinamakan Qalqalah Akbar
Contoh:
وَتَبَّ, بِاالحَقَّ,
2        Sukun karena  di- Waqafkan yang asalnya huruf tidak ber- Tasydid, jenis ini dinamakan Qalqalah Kabirah
Contoh:
وَمَا كَسَبْ, مُحِيْطٌ,
3        Sukun asli yang bukan karena di Waqafkan, jenis ini  biasa disebut Qalqalah  Sagriah.
Contoh:
يَجْمَعُ, يَقْدِرُ[5]
Qalqalah Shughra
Shughra artinya kecil. Qalqalah Shughra menurut istilah ialah
            Jika huruf qalqalah bertanda sukun ashli, maka ia dinamakan Qalqalah Shughra. Apabila huruf qalqalah tersebut bersukun  di tengah kalimat , maka dinamakan Qalqalah Shugra.
berdasarkan dua definisi  di atas, dapat  disimpulkan  bahwa Qalqalah Shughra terjadi pada dua kondisi , yaitu apabila huruf Qalqalah :
1.bersukun ashli.
2.bersukun di tengah  kalimat.[6]
Qalqalah kubra
Kubra artinya besar . Qalqalah kubra menurut istilah ialah:
Jika huruf Qalqalah bersukun aridli karena di- Waqafkan, maka ia dinamakan Qalqalah  kubra.
apabila  huruf qalqalah tersebut bersukun  di akhir kalimat, maka  ai dinamakan Qalqalah Kubra.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa Qalqalah kubra terjadi apabila huruf Qalqalah:
1.      Bersukun aridli karena di- Waqafkan dengan kata lain, huruf tersebut asalnya berharakat tetapi menjadi bersukun karena dibaca waqaf.
2.      Bersukun di akhir kalimat.[7]


  C.    Cara Baca Qalqalah
Adapun cara pengucapan Qalqalah
Para ulama berbeda di dalam cara mempraktikkannya.
Cara pertama adalah pantulan suara lebih dekat\condong ke huruf  Qalqalah yang berharakat fathah secara  mutlak ( ket: baik belum huruf Qalqalah  berupa harakat fathah, kasrah, maupun Dammah), dan cara ini cara membaca yang lebih unggul\terpilih (al-arjah).
Contoh:
كَسَبْتُمْ, أَجْنِحَتٍ,
Cara kedua adalah pantulan suaranya lebih dekat\condong mengikuti huruf Qalqalah sebelum nya berharakat fathah, maka pantulan suaranya lebih dekat\ condong kepada huruf Qalqalah yang berharakat fathah, apa bila huruf  Qalqalah  sebelum nya berharakat kasrah, maka  pantulan suaranya lebih dekat \condong kepada huruf Qalqalah yang berharakat Kasrah; dan apabila huruf Qalqalah sebelumnya berharakat Dommah, maka pantulan suaranya lebih dekat\condong kepada huruf Qalqalah yang berharakat Dommah.
Contoh:
كَسَبْتُمْ, أَجْنِحَتٍ, إِبْرَهِيْم, مُجْرِمِيْنَ, أُدْخِلَ[8]
Menurut Acep:
Cara pengucapan qalqalah ialah dengan menekan kuat makhraj huruf dari huruf qalqalah yang bersukun tersebut sehingga suaranya memantul dengan pantulan yang kuat dan jelas.[9]
Pengucapan Qalqalah Kubra sama dengan cara pengucapan qalqalah secara umum, namun lebih berkumandang dan lebih jelas dibandingkan dengan pengucapan Qalqalah Shughra.
Simpulan 
      Qalqalah menurut bahasa adalah bergerak dan gemetar. Sedangkan  menurut istilah Qalqalah ialah Suara tambahan ( pantulan ) yang kuat dan jelas  yang terjadi pada huruf yang bersukun setelah menekan pada makhraj huruf tersebut. Jenisnya terbagi menjadi 3 yaitu qalqalah kubra, shugra, dan akbar. Cara membacanya ada perbedaan pendapat ulama seperti di nyatakan di pembahasan di atas.
      Saran 
      Dengan kurang sempurnanya makalah ini, dapat memberi saran agar lebih banyak lagi mencari tentang referensi-referensi pembahasan yang telah dipaparkan di makalah ini. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca, khususnya penulis.


[1]  Acep Iim Abdurahim, Pedoman Ilmu Tajwid Lengkap, Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2003, hal. 129
[2] Ibid.
[3] Ahmad Fathoni, Petunjuk Praktis Tahsin Tartil Al-Qur’an Metode Maisura, Jakarta Selatan: Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta, 2016, hal. 238
[4] Ibid.
[5] Ibid., hal 238-239
[6] Acep Iim Abdurahim, Pedoman Ilmu... hal. 130
[7] Ibid., hal. 131
[8] Ahmad Fathoni, Petunjuk Praktis... hal. 239
[9] Acep Iim Abdurahim, Pedoman Ilmu... hal. 130

TAFSIR AL-ALUSI dan Biografinya



TAFSIR AL-ALUSI
  A.  Biografi Imam al-Alusi 
   Al- Alusi adalah sosok yang amat alim al-muhaqqiq. Syihabuddin Sayyid Mahmud al-Alusi, al-Baghdadi Mufti Baghdad. Tempat kelahirannya di kota Karh dekat Baghdad 1207 H.
         Ia mendapat  Ilmu dari para ulama yang mumpuni, dibawah  bimbingan ayahnya sendiri. Ia termasuk ulama besar ia juga belajar dari Syekh Khalid Naqsabandi. Semangatnyaq dalam menuntut Ilmu dan karunia yang diberikan Allah dari kemampuan menyerap Ilmunya, kemampuan pemahamannya, demikian juga kiatnya dalam menambah Ilmu termasuk perangkat yang menjadikannya seperti bumi yang subur yang layak untuk pertumbuhan. Dengan demikian, ia membuahkan Ilmu yang indah yang menjadikan Syekh bagian dari Ulama Irak dan pemilik Tafsir Jami al-Kabir.      
          Semangat keilmuannya yang luas berawal ketika ia berumur sekitar 13 tahun. Ia belajar dibeberapa Madrasah. Ia bersemangat dalam menyampaikan Ilmu sebagaimana ia juga bersemangat dalam menghimpunnya. Ia juga memberi spirit kepada para penuntut Ilmu dan membantu sekuatnya. Ia memberikan apa saja kepada mereka yang mampu diberikan seperti perantara kehidupan dan tuntutannya, agar berkonsentrasi pada penelitian dan pengkajian. 
          Imam al-Alusi banyak sekali berhubungan dengan kedudukan-kedudukan keilmuan, dan pekerjaan yang ada kaitannya dengan bidang keagamaan. Dia menjadi Mufti Mazhab Hanafi pada 1246 H. Sebelumnya dia memegang waqaf sekolah Marjaniah, lalu ia berhenti di bulan Sawal Tahun 1663 H setelah menyusun Tafsirnya hingga menyempurnakannya. Kemudian ia mengembara kekota Konstatntinopel pada 1267 H. Disana ia mengajukan Tafsirnya kepada Abdul Majid Khon, maka raja amat mengagumi dan merestuinya.[1] 
              Al-alusi mempunyai keistimewaan yaitu kemampuan cepat memahami, kuat hapalannya hingga ia mengutarakan sendiri dan bersyukur seraya berkata “Aku tuidak berjanji apapun pada hati ku lalu aku menghiyanatinya, dan aku tidak pernah mengajak fikiran ku kepermasalahan yang sulit kecuali aku menganggapinya.” Dia sungguh-sungguh dalam menghqasilkan Ilmu, tidak peduli musibah yang menimpanya dalam menempuhnya. Ia memiliki Moto yang amat populer : Begadang ku untuk Menghasilkan Ilmu ringan bagiku, untuk bertemu dengan yang Maha Kaya dan Indahnya pelukan-Nya.
 B.  Karya-karya Tafsirnya 
    Al-Alusi rahimahullah meninggalkan banyak karya yang berfaidah terutama Tafsirnya yang amat populer, diantaranya adalah, Hasyiah Alal Katar dibidang Nahwu, Ukallimuha Ilamaudiil hal, Syarh al-Muslim Fil mantiq, al-Ajwibah al-Irakiyah anil asilatil lahuriyah, al-Ajwibah al-Irakiyah ‘aqnil Asilatil Iraniyah, dan lainnya.
           Al-Alusi rahimahullah wafat pada hari Jum’at tanggal 25 Dzul Qa’idah 1270 H. Ia dimakamkan bersama keluarganya dipemakaman Syekh al-Karkhi, semoga Allah mengasihinya dan semoga bermanfaat Ilmunya.[2]
 C.  Metodelogi Tafsirnya 
    Al-Alusi memberi muqaddimah kitabnya dengan frame yang penting: mengenalkan metodeloginya, membatasi kronologi penusunannya, menggambarkan sebagian fenomena hidupnya, dan dari sisi kepribadiannya. Setelah memuji Allah ia berkata, amma ba’du  maka ia si hina dina berkata, yang bertumpuk dosa, orang yang paling fakir akan keagungan-Nya. Pengajar istana sultonah al-Aliyah mufti negeri Baghdad yang terlindung, Abu Tsana Syihabuddin as-Sayyid Mahmud al-Alusi, Al Baghdadi semoga Allah mengampuninya.
           Seungguhnya walaupun dasar-dasarnya telah dijelaskan, bab-baabnya telah ada di Barat dan di Timur, keadaannya berbeda-beda, tetapi sebenarnya ia mat penting. Kemudian ia menjelaskan bahwa derajat paling tinggi, dan paling mahal nilainya adalah ilmu tafsir, yaitu orang yang membahas dari apa yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya yang mulia; yang tidak datang kebatilan padanya, baik dari depan ataupun dari belakang.. yang turun dari hadirat Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.[3]

[1] Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2006), hal.204
[2]Ibid, hal.205
[3]Ibid, hal.206

Abu Yazid Al-Busthami, Karya, Guru, Murid, dan Ajaran Tasawufnya



   A.  PENDAHULUAN
Berbicara masalah tasawuf tentunya akan membahas tentang tokoh-tokoh dan ajaran-ajaran para sufi. Begitu banyak para sufi-sufi yang terkemuka, seperti Al-Ghazali, Al-Hallaj, Abu Yazid Al-Bustami dan masih banyak lagi sufi-sufi yang terkemuka lainnya. Akan tetapi kali ini penulis akan membahas tentang salah seorang tokoh tasawuf, yaitu Abu Yazid Al-Bustami.
      Abu Yazid ialah putra dari Isa bin Surusyan, Abu Yazid ialah salah seorang tokoh sufi yang terkemuka, yang memiliki ajaran tasawufnya, yaitu, fana, baqa, dan ittihad.
       Abu Yazid Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para mistikus, karena yang terlihat darinya adalah hal-hal yang berada diluar nalar manusia biasa.[1]
     Untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang biografi Abu Yazid dan ajaran-ajarannya, maka penulis telah memaparkan pembahasan tentang salah seorang tokoh sufi yang terkemuka, yaitu Abu Yazid Al-Bustami.
       Semoga dengan pemaparan makalah ini pembaca, khususnya lagi buat penulis dapat menambah wawasan tentang biografi, ajaran-ajaran, karyanya dari salah seorang tokoh sufi, yakni Abu Yazid Al-Bustami.
  
  B.     PEMBAHASAN

1.      Biografi Abu Yazid Al-Bustami
        Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur bin Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Pesia) tahun 874 dan wafat tahun 974 M.[2] Bustam ialah suatu kota kecil di wilayah Qumis, kawasan Timur Laut Persia.[3] Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya adalah pemuka masyarakat di Bustam, sedangkan ibunya dikenal sebagai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan).[4] Kakeknya benama Surusyan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk islam di Bustam. Keluaga Abu Yazid termasuk berada di daerahnya, tetapi ia lebih memilih hidup sederhana. Sejak dalam kandungan ibunya, Abu Yazid mempunyai kelainan. Menurut ibunya, bayi yang ada di dalam kandungannya akan memberontak sampai muntah kalau sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.[5]
       Abu Yazid dibesarkan dalam keluarga yang taat beragama, sejak kecil kehidupannya sudah dikenal saleh. Ibunya secara teratur mengirimnya ke mesjid untuk belajar ilmu-ilmu agama. setelah besar, ia melanjutkan  pendidikannya ke berbagai daerah. Ia belajar agama menurut madzhab  Hanafi.[6]
       Sewaktu menginjak usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari surah Luqman, ”Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudain berhenti belajar dan menuju rumah untuk menemui ibunya. Ini suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.[7]
       Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi membutuhkan waktu puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia telebih dahulu telah menjadi seorang faqih dari mazhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi, ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid.[8]
       Abu Yazid tidak meniggalkan karangan yang dapat dipelajari, namun demikian ajaran-ajarannya tersebar melalui lisan murid-muridya. Salah satu sumber penting adalah kitab yang berjudul Al-Nur Min Kalimat Abi Thaifur karangan Al-Sahlaji, tetapi sayang tidak sampai kepada kita.[9]
       Abu Yazid adalah seorang Zahid yang terkenal. Baginya zahid itu adalah seseorang yang telah menyediakan dirinya untuk hidup berdekatan dengan Allah. Hal ini berjalan melalui tiga fase, yaitu zuhud terhadap dunia, zuhud terhadap akhirat dan zuhud terhada selain Allah.dalam fase terakhir ini ia berada dalam kondisi mental yang menjadikan dirinya tidak mengingat apa-apa lagi selain Allah.[10]
       Dalam perjalanan kehidupan Zuhud, selama 13 tahun, Abu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, hanya dengan tidur, makan dan minum yang sedikit sekali.[11]
       Dalam buku Ajaran dan Taladan Para Sufi, menyatakan bahwa Abu Yazid menjalani selama 30 tahun ia berkelana di padang pasir Syria, hidup dengan zuhud, sedikit makan, sedikit minum, da sedikit tidur.[12]
       Abu yazid hidup dalam keluarga yang taat beragama, ibunya seorang yang taat dan zahidah, dua saudaranya Ali dan Adam termasuk sufi meskipun tidak terkenal sebagaimana Abu Yazid. Dalam sejarah perkembangan tasawuf, Abu yazid dianggap sebagai pembawa paham al-fana dan al-baqa dan sekaligus pencetus paham ittihad.[13]
       Abu Yazid meniggal dunia di Bustham pada tahun 974 M dan dimakamkan di sana.[14] Hingga kini makamnya masih ada dan banyak diziarahi orang. Di antara orang-orang yang pernah mengunjung makamnya adalah Al-Hujjwiri, penulis kitab Kasyf al-mahjub.[15]
2.      Guru-Guru Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid telah mencari ilmu ke berbagai pelosok negeri selama 30 tahun dan memiliki 113 guru.[16] Salah seorang gurunya yang terkenal ialah Abu Ali As-Sindi.[17]

3.      Karya-Karya Abu Yazid Al-Bustami
Abu Yazid tidak meninggalkan karya tulis, tetapi ia mewariskan sejumlah ucapan dan ungkapan mengenai pemahaman tasawwufnya yang disampaikan oleh murid-muridnya dan tercatat dalam beberapa kitab tasawwuf klasik, seperti ar-Risalah al-Qusyairiyyah (Risalah Qusyairiyah), Tabaqat as-Sufiyyah (tingkatan-tingkatan sufi), Kasyf al-Mahjub (menyingkap tabir), Tazkirah al-Auliya (peringatan para wali), dan al-Luma (yang cemerlang). Di antara ungkapannya disebut oleh kalangan sufi dengan istilah satahat, yaitu ungkapan sufi ketika berada di pintu gerbang ittihad (kesatuan dengan Allah SWT).[18]

4.      Ajaran Tasawuf Abu Yazid Al-Bustami
a.       Fana & Baqa
Ajaran tasawuf terpenting  Abu Yazid adalah fana dan baqa. Dari segi bahasa,  fana berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana  adakalnya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Abu Bakar Al-Kalabdzi (w.378 H/988 M) mendefinisikan fana sebagai, hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.[19]
       Adapun baqa  berasal dari kata baqiya, dari segi bahasa adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa tidak dapat dipisahkan dengan paham fana. Keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang sufi sedang mengalami fana, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa.
       Adapun menurut pendapat lain bahwasanya fana adalah hilang, hancur. Sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan.[20]
       Baqa artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah.[21]
        Dalam menerangkan kaitan antara fana dan baqa, Al-Qusyairi menyatakan,
      ”barang siapa meninggalkan perbuatan-perbuatan tercela, maka ia sedang fana dari syahwatnya. Tatkala fana dari syahwatnya, ia baqa dalam niat dan keikhlasan ibadah;... Barang siapa yang hatinya zuhud dari keduniaan, maka ia sedang fana dari keinginannya, berarti pula sedang baqa dalam ketulusan inabahnya...”[22]
       Pencapaian Abu Yazid ke tahap fana terjadi setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada Allah, seperti tampak dalam ceritanya,
         “Setelah Allah menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar puas dari-Nya. Maka, diriku dicap dengan keridaan-Nya.  Mintalah kepada-Ku semua yang kau inginkan, kata-Nya. “Engkaulah yang aku inginkan,” jawabku, “karena engkau lebih utama daripada anugerah, lebih besar daripada kemurahan, dan melalui Engkau, aku mendapat kepuasan dalam diri-Mu.”[23]
       Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya, “Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu?” Tuhan menjawab, “Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid sendiri sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya.
       Melalui konsep fana dan baqa, seorang sufi meningkat dalam tajrid fana fit tauhid dan tidak ada lagi kecuali al-wahidul ahad, tenggelam dan sirna dalam keesaan ilahi. Dalam keadaan demikian, Abu Yazid berkata: “Menjadilah sifatku sifat rububiyah, lidahku adalah lisan tauhid dan isyaratku adalah isyarat keabadian”. Abu Yazid semakin jauh dan mendalam ke dalam lautan fana, hingga menyatu dengan Tuhan (Ittihad) dengan kalimat-kalimat bersayap yang belum dikenal sebelumnya (syathatat). Ucapan-ucapan yang bersifat syathatat diucapkan oleh Abu Yazid: “Tidak ada Tuhan selain Aku. Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”.[24] Syathatat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.[25]
       Keadaan Abu Yazid dan ucapan-ucapannya itu menimbulkan berbagai tanggapan. Zunnu Al-Mishri mengutus sahabatnya untuk menemui Abu Yazid. Ketika utusa itu sampai, diketuklah pitu rumah Abu Yazid. Terjadilah percakapan antara tamu dengan Abu Yazid:
          Abu Yazid: Siapa di luar?
          Tamu         : Kami hendak berjumpa dengan Abu Yazid
         Abu Yazid: Abu Yazid siapa? Di mana dia? Saya pun mencari Abu                                Yazid.[26]
       Rombongan tamu itu pun pulang dan memberitahukan kepada Zunnun. Mendengar keterangan itu Zunnu berkata: “Sahabatku Abu Yazid telah pergi kepada Allah dan dia sedang fana”.[27]
         Kalangan sufi berbeda pendapat, ada yang berusaha untuk memberi penafsiran hingga sesuai dengan tasawuf yang lazim seperti Abdul Qodir Jailani, Al-Sarraj Al-Thusi dan Junaid Al-Baghdadi, yang menolak dan tidak membenarkannya seperti Ibnu Jauzi dan Ibnu Salim. Kalagan sufi ada juga yag tidak yakin ajaran-ajaran itu berasal dari Abu Yazid, seperti Syaihul Islam Abdullah Al-Ashari dan Imam Zahabi. Al Sahlaji memperingatkan agar orang berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan antara pendapat Abu Yazid dan pendapat yang lain yang merupakan pendapat sendiri tetapi dinisbahkan kepadanya. Adapun Al-Jurjani berusaha membiarkan apa yang dikemukakan oleh Abu Yazid dan melarang membicarakannya kecuali bagi mereka yang sudah berada setara dengan maqam Abu Yazid.[28]

b.      Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana dan baqa.[29] Jika tahap baqa telah tercapai, maka dengan sendirinya tercapai pula tahap ittihad.[30] Ittihad artinya bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Kemudian salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan: Hai aku.[31] Dalam keadaan demikian, maka penunjukan antara ia dengan yang lain adalah sama. Lebih lanjut disebutkan, bahwa segala sesuatu yang ada ini dilihat sebagai wujud yang satu itu sendiri. Pada saat itu, maka yang dilihat bahwa wujud hamba adalah wujud Tuhan itu sendiri, demikian pula sebaliknya.[32]
       A. R. Al-Badawi berpendapat bahwa di dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Walaupun sebenarnya ada dua wujud yang berpisah satu dari yang lain. Hal ini terjadi karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud. Sehingga akan terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai dan yang dicintai (sufi dan Tuhan). Dalam ittihad “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Hal ini bisa terjadi karena sufi telah memasuki fana yang tidak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.[33]
       A. Nicholson mendefinisikan ittihad sebagai “identiknya sifat manusia dengan sifat Tuhan”. Apabila seorang sufi telah mencapai tingkatan ini, maka ada kemungkinan dia akan mengeluarkan ucapan-ucapan yang ganjil (syathatat), dan biasanya tidak dapat diterima oleh kaum muslimin biasa.[34]

          Dari ucapannya yang ganjil adalah :
سُبْحَانِى سُبْحَانِى مَااَعْظَمَ شَأْنِى
Artinya: “Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku.”[35]
أِنِّي أَنَااللهُ لاَأِلَهَ أِلاَّ أَنَا فَاعْبُدْنِيْ
Artinya: “Tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku”.[36]
فَأَنْتَ وَ أَأَنَاأَنْتَ : يَأأَبَأيَزِيْدَ أِنَّهُمْ كُلُّهُمْ خَلْقِيْ غَيْرَكَ فَقُلْتُ
Artinya: “Tuhan Berkata, “Semua mereka kecuali engkau adalah makhluk.” Aku pun berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”[37]
            Abu Yazid oun berkata lagi, yang artinya: “Konvensasi pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun-dengan perantaraan-Nya menjawab, “Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engkau adalah Engkau.” Aku balik menjawab, “Aku adalah Aku.”[38]           
       Ucapan-ucapan Abu Yazid di atas kalau diperhatikan secara sepintas memberikan kesan bahwa ia syirik kepada Allah. Sebenarnya apa yang dikatakan oleh Abu Yazid ialah bukan berarti bahwa Abu Yazid sebagai Tuhan, akan tetapi kata-kata itu adalah suara tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana’an nafs. Abu Yazid tidak mengkaui dirinya sebagai Tuhan seperti Fir’aun. Proses ittihad di sisi Abu Yazid adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Allah, bukan melalui reinkarnasi, sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya yang disadari dan dilihat hanya hakikat yang satu yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan menyadari dirinya sendiri, karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.[39]          
       Dalam ittihad, identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan, karena fananya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.[40]
  
   C.    PENUTUP
            Jadi, Abu Yazid Al-Bustami ialah salah seorang tokoh sufi yang memiliki tiga ajaran tasawuf, yakni: fana, baqa, dan ittihad. fana merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Tuhan. Baqa artinya tetap, terus hidup. Jadi baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah. Ittihad artinya bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Beliau tidak meninggalkan karya. Abu Yazid mempunyai 113 orang guru, salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi.




DAFTAR PUSTAKA
  A.    Buku

As, Asmaran, pengantar studi tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002.

Rifa’i, Bachrun & Mud’is, Hasan,  Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2010.

Sholihin, M. & Anwar, Rosihon, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Mansur, H. M. Laily,  Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002.

Mustofa, H. A, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999.

Nasution, H. Ahmad Bangun & Siregar, Hj. Royani Hanum, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 185

Rusli, Ris’an, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi,            Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

   B.     Internet

http://filsafatcoy.blogspot.co.id/2013/05/abu-yazid-al-bustami-dan-al-hallaj.html.
http://farhanfuadi19.blogspot.co.id/2013/01/biografi-imam-al-ghazali-dan-abu-       yazid.html.
                                                                                                                                                          



[2]               M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 159
[3]               Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 87
[4]               H. Ahmad Bangun Nasution & Hj. Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 178
[5]               M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 159
[6]               Bachrun Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hal. 98
[7]               M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 159
[8]               Ibid.
[9]               H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 85
[10]             Asmaran, As, pengantar studi tasawuf, Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002, hal. 296
[11]             Bachrun Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hal. 98
[12]             H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 85
[13]             Bachrun Rifa’i & Hasan Mud’is, Filsafat Tasawuf, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hal. 98
[14]             H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 88
[15]             Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 99
[17]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 159
[18]             H. Ahmad Bangun Nasution & Hj. Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 186
[19]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, ilmu tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 160
[20]             H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 259
[21]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, ilmu tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 160
[22]             Ibid., hal. 161
[23]             Ibid.
[24]             H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 87
[25]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 162
[26]             H. M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo, 2002, hal. 87
[27]             Ibid.
[28]             Ibid., hal.87-88
[29]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 161
[30]             Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 96
[31]             H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 269
[32]             Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 96
[33]             H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 269
[34]             Ris’an Rusli, Tasawuf dan Tarekat: Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, hal. 96
[35]             H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1999, hal. 272
[36]             M. Sholihin & Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hal. 163-164
[37]             H. Ahmad Bangun Nasution & Hj. Royani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf: Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 185
[38]             Ibid.
[39]             Ibid., hal. 186
[40]             Ibid., hal. 183